Selasa, 07 Oktober 2014

Mahkota Cinta oleh Habiburrahman El Shirazy (Bag.VIII)

Zul mondar-mandir di ruang tamu. Penghuni flat itu
semua telah tidur. Namun Zul tidak bisa tidur. Malam
itu setelah kejadian di rumah Mari, Zul selalu terbayang
wajah Mari. Ia kembali merasakan apa yang dulu pernah
ia rasakan saat remaja. Sejak pertama bertemu dengan
Mari, ia sebetulnya telah terpikat oleh kehalusan tutur
katanya. Juga perhatian, kepekaan dan jiwa sosialnya.

Namun itu semua tidak berpengaruh apa-apa dalam
hatinya. Mari masih ia anggap sebagai perempuan biasa yang
ia kenal di jalan. Tapi setelah kejadian siang itu.

Setelah apa yang ia alami, ia lihat dan ia ketahui rasa
sayangnya pada Mari merasuk begitu saja ke dalam
hatinya. Rasa sayang yang lebih dari biasa.

Bahwa Mari begitu teguh menjaga kesuciannya
itulah yang paling membekas di dalam hatinya. Ia sudah
banyak mendengar cerita tentang tenaga kerja wanita
Indonesia di Malaysia yang tidak lagi menjaga kehormatannya.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa tidak
sedikit tenaga kerja wanita yang bekerja di kilangkilang12
juga berprofesi menjajakan tubuhnya selepas
bekerja. Tapi Mari tetap menjaga kehormatan dan
kesuciannya. Dengan label janda yang dilekatkan pada
dirinya, dan parasnya yang tidak bisa dikatakan jelek,
tentulah itu perjuangan yang luar biasa. Ia sangat yakin,
bahkan haqqul yakin, kalau Mari tidaklah berkata dusta.
Dalam kondisi shock seperti itu kejujuranlah yang lazim
keluar dari diri anak manusia. Ia merasa Mari adalah
perempuan yang berkarakter, dan sanggup menjadi
perempuan yang luar biasa. Itulah yang membuat
hatinya condong pada Mari.

Ia bingung harus berbuat apa? Ia sudah dewasa. Dan
Mari juga sudah dewasa. Tidak mungkin lagi ia hanya
mengutarakan bahwa hatinya condong pada Mari.
Mengutarakan itu artinya siap berumah tangga. Ia sudah
tahu hukum bermain hati pada perempuan yang tidak
halal dari Yahya. Itu dosa.

"Hati pun, kata Nabi, bisa berzina." Kata-kata Yahya
itu seolah berdengung-dengung dalam pikirannya.

Tapi bayangan Mari, juga suaranya, seolah terus
menghampirinya. Sempat terbersit dalam pikirannya
untuk berterus terang pada Mari dan mengajaknya
menikah. Lalu hidup sederhana apa adanya di Kuala
Lumpur sambil kuliah. Toh, banyak mahasiswa yang
berkeluarga dan hidup apa adanya di Kuala Lumpur.

Tapi tiba-tiba ada semacam keraguan dalam hatinya.
Ia kuatir jika ia menikah akhirnya kuliahnya tidak selesai.
Ia jadi sibuk memikirkan hidup keluarga. Apalagi kalau
nanti punya anak. Ia bisa hidup nekat. Makan sehari pun
bisa, tapi anak yang masih bayi apa bisa? Sementara ia
masih hidup sangat pas-pasan untuk makan, membayar
sewa aparteman dan kuliah. Padahal jika berkeluarga
ialah yang harus menanggung sepenuhnya sewa
rumahnya. Sekarang ia yang menyewa bersama
temantemannya
saja, masih terasa berat membayarnya.
Hutangnya pada Pak Muslim untuk membeli sepeda
motor juga belum lunas.

Ia sempat berpikir bahwa Mari juga bekerja dan bisa
meringankan beban. Ia langsung menjawab sendiri
bahwa tugas memberi nafkah adalah tugas suami. Andai
pun Mari bekerja ia tidak tahu berapa gajinya. Ia juga
tidak tahu sanggupkah Mari tetap bekerja jika misalnya
hamil. Ia sampai sudah begitu jauhnya memikirkan jika
Mari hamil segala. Ia menegaskan pada dirinya jika ia
menikahi Mari ia tidak bisa menggantungkan nasibnya
pada Mari. Alangkah jahatnya dia jika menikahi Mari
karena merasa aman, sebab Mari juga bekerja. Apakah
itu namanya bukan eksploitasi? Mari nanti bekerja.
Mengerjakan pekerjaan rumah tangga lazimnya
perempuan di Indonesia. Mengurus anak. Jika itu yang
terjadi ia merasa tidak menjadi seorang suami yang
benar.

Ia juga sempatberpikir untuk mengajak Mari pulang
ke Indonesia dan hidup apa adanya di Indonesia. Buat
apa hidup lama-lama di negeri orang. Tapi akal logikanya
seolah mencercanya habis-habisan: "Buat apa susah
payah datang ke negeri orang? Katanya mau mengubah
takdir? Menyiapkan masa depan yang gemilang? Kalau
kau pulang hanya dengan berhasil menikahi perempuan
seperti Mari, tidak harus jauh-jauh ke Malaysia. Tidak
harus berdarah-darah melewati
pergulatan hidup di
Semarang, Jakarta, Batam dan Kuala Lumpur. Perempuan
seperti Mari di desamu juga banyak! Kalau kau
pulang dengan belum meraih kegemilangan yang
dicitakan, maka kelak kau akan ditertawakan oleh anak
turunmu. Mereka akan mengingatmu dengan sinis;

'Kakek kita gagal menyelesaikan studinya karena
tergoda oleh seorang tenaga kerja wanita di Malaysia.
Inilah yang membuat kita tetap sengsara! Coba kalau
kakek kita dulu orang yang teguh, tekun dan tidak
mudah digoda wanita, mungkin kita akan bernasib lebih
baik! "

Zul termenung. Dialog batinnya tidak membuat
bayang-bayang Mari hilang. Wajah sayu yang memancarkan
aura ketulusan itu, cerita hidupnya, ucapan terima
kasih kepadanya yang diulang berkali-kali dari hati yang
dalam. Itu semua sangat membekas di dalam hatinya.
Jarum jam dinding di ruang tamu menunjukkan
pukul dua. Zul tidak tahan. Malam itu ia mem
bangunkan Rizal, ingin meminjam hand phonenya. Ia
ingin menelpon Mari. Ia tidak kuasa membendung bara
cinta yang membuncah di dalam dadanya.

Rizal bangun sambil mengucek-ucek kedua matanya.

"Ada apa Zul?"

"Hand phone-mu mana? Aku mau pinjam?"

"Aduh Zul, hand phone-ku hilang tadi siang."

"Hilang?"

"Iya. Mungkin jatuh atau dicopet orang di Pur
duraya. Pinjam Mas Yahya saja."


"Segan."

"Ya udah kalau begitu menelpon di wartel saja besok
pagi."

"Iya dah."

Zul kecewa berat. Ia harus menunggu pagi untuk
bisa menghubungi Mari. Malam itu ia hanya mondarmandir
di ruang tamu. Sesekali membuka koran usang
yang sudah berkali-kali ia baca. Atau membaca-baca
Majalah I, majalah Islam terbitan Malaysia yang sudah
lusuh, yang ia hampir hafal isinya. Itulah yang
dilakukannya malam itu sampai Subuh tiba.

* * *

Setelah shalat Subuh Zul langsung mencari wartel
yang buka. Semua masih tutup. Di flatnya selain Rizal
dan Yahya, Pak Muslim juga punya hand phone. Tapi ia
segan meminjamnya. Selama ini jika ia ingin nelpon ke
mana saja ia selalu menggunakan wartel. Ia sudah
merencanakan untuk membeli hand phone tapi belum juga
kesampaian. Dengan langkah gontai Zul kembali
ke flat. Wajahnya pucat. Auranya sayu. la tampak seperti
orang yang sedang sakit. Yahya yang sangat peka bisa
menangkap perubahan yang terjadi pada teman satu
kamarnya. Dengan ketulusan seorang sahabat ia mengajak Zul
bicara.

"Sepertinya kau sedang ada masalah atau kau
sedang sakit Zul?"

"Tidak ada apa-apa kok Mas?"

"Kalau kau tidak menganggapku sebagai orang lain
bicaralah padaku. Tapi kalau kau masih menganggapku
orang lain, orang asing bagimu, ya berpura-puralah tidak
ada masalah padaku." Yahya langsung terus terang.
Akhirnya Zul berterus terang bahwa ia sedang
merasakan rasa rindu dan cinta pada seorang perempuan.

"Siapa perempuan itu? Mahasiswi UM kah?"

"Namanya Mar. Siti Martini. Dia bukan mahasiswi
tapi seorang karyawati sebuah perusahaan."

"TKW maksudmu?" Yahya berusaha memperjelas.
Pertanyaan itu agak menyinggung Zul. Ia seperti tidak
rela Mari dilabeli TKW. Tapi memang itu kenyataan yang
ia tahu. Jadi ia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali
mengiyakan.

"Iya Mas."

"O, Siti Martini yang pernah kauceritakan dulu itu.

Yang satu bus dari Larkin ke Purduraya itu?"

"IyaMas."

"Di sini mahasiswi banyak lho Zul, kenapa kaupilih
TKW?"

Pertanyaan Yahya itu kembali menggores hatinya.
Ia ingin menjelaskan semuanya, tapi tidak sampai. Ia
tidak bisa menjelaskan detil apa yang ia alami dengan
Mari pada sahabatnya yang paling dekat itu. Ia tidak
sampai hati untuk membuka kejadian kemarin siang di
rumah Mari. Ia juga tidak bisa menjelaskan pesona dan
aura yang dimiliki Mari. Ia akhirnya menjawab dengan
jawaban yang klasik,

"Tidak tahu Mas. Namanya juga jatuh cinta. Aku
melihat diabaik. Dan menurutku mahasiswi tidak secara
otomatis lebih baik dari TKW. Banyak yang sekarang
TKW, mungkin kelak jadi orang yang memberi
penghidupan pada mahasiswa atau mahasiswi. Dan
banyak mahasiswi yang akhirnya jadi TKW. Itu kan
cuma label-label saja Mas."

Yahya tersenyum,

"Kau memang sedang jatuh cinta. Dari jawabanmu
aku tahu kau sangat membela dia. Ya sah-sah saja kau
mencintai dia. Siapapun dia. Asal menurutmu cocok dan
baik ya sah-sah saja. Memang benar manusia tidak bisa
dinilai dari label atau julukan yang disandangnya. Yang
menentukan manusia itu ini lho. Ininya!" Kata Yahya
sambil menunjuk dadanya.

"Iman dan takwanya. Agamanya." Lanjut Yahya.

"Itu tukang sapu di jalan yang setiap hari bergelut
dengan sampah bisa jadi ia lebih baik di mata Allah
daripada Guru Besar Tafsir jebolan universitas terkenal
di Timur Tengah. Di mata Allah belum tentu. Keikhlasan
seseorang hanya Allah yang tahu. Bisa jadi tukang sapu
itu sangat tahu diri kedhaifan dirinya sebagai makhluk Allah
maka tidak ada rasa sombong dalam hatinya. Dan
Guru Besar Tafsir bisa jadi karena merasa hebat, ada satu
zarrah rasa sombong dalam hatinya. Ketika ketemu
tukang sapu Guru Besar itu merasa lebih terhormat dari
tukang sapu. Itu kan sombong. Sebaliknya tukang sapu
justru menghormati Guru Besar itu karena tahu dirinya
tidak berilmu dan Guru Besar itu punya ilmu. Berarti
tukang sapu itu tahu kadar dirinya. Tidak sombong. Jika
seperti itu bisajadi tukang sapu lebih mulia di mata Allah
daripada Guru Besar Tafsir itu." Terang Yahya panjang
lebar.

"Jadi tidak salah saya jatuh cinta pada TKW itu
Mas?"

"Jatuh cinta tidak salah. Kau mau memilih siapa pun
tidak salah. Asalkan tetap menjaga diri di jalan yang
diridhai Allah. Apa kau sudah benar-benar siap untuk
menikah Zul?

Zul diam mendengar pertanyaan itu. la tidak bisa
menjawab mantap. Akhirnya Zul menjelaskan kebimbangan
hatinya. Antara mantap dan tidak mantap. Halhal
yang berkelebat dalam hati dan pikirannya ia
sampaikan kepada Yahya.

"Jadi kemarin kau ke rumah Siti Martini itu?"

"Iya, mengambil barang-barang saya yang masih
tertinggal di sana?"

"Kau bertemu dia dan setelah itu kau merasa jatuh
cinta?"

Zul mengangguk malu. Ia seperti sedang dihakimi.

Yahya malah tersenyum.

"Kau sedang terkena sihir Zul."

"Terkena sihir apa Mas?"

"Kau sedang terkena sihir nafsu syahwatmu. Aku
bisa memastikan kau agak berlama-lama berbicara
dengan dia. Aku yakin itu."

"Benar."

"Wajar."

"Maksudnya wajar, wajar bagaimana?"

"Setan telah menghiasi perempuan itu sehingga
tampak olehmu pesonanya, keindahannya, auranya,
kebaikannya dan lain sebagainya yang membuatmu
cenderung kepadanya. Tahukah kau Zul, saya pun bisa
lebih parah darimu. Bahkan seseorang yang kuat
imannya jika berduaan dengan perempuan yang ia tahu
perempuan ia berpenyakit sekalipun bisa luntur
imannya. Bahkan bisa melakukan perbuatan nista
dengan perempuan itu. Karena apa? Karena perempuan
itu dirias dan dihiasi oleh setan. Ditambah nafsu yang
ada dalam diri lelaki itu. Maka terjadilah apa yang
seharusnya tidak terjadi."

"Jadi apa yang aku rasakan ini nafsu syahwat?"

"Betul. Jujurlah pada dirimu. Kau pasti telah melihat
hal yang semestinya tidak kau lihat pada perempuan itu,
iya kan?"

Zul malu mengakuinya.

"Ingat Zul seluruh tubuh perempuan yang sudah akil
balig itu aurat kecuali muka dan tepak tangannya. Jika
ia perempuan yang cantik, yang kecantikannya itu
menarik lawan jenisnya maka mukanya juga jadi aurat yang
harus ditutupi. Artinya tidak boleh dilihat. Jikalau
engkau mencintai wanita karena melihat yang seharusny a
ditutupi maka berarti kau ada nafsu dengannya. Yang
bergerak dalam aliran darahmu dan syaraf-syarafmu itu
adalah nafsu dan syahwat. Jika seperti itu, kau tidak jauh
berbeda dengan ayam jago yang langsung mengejar
ayam betina setelah melihat keelokan ayam betina."

"Tapi bukankah manusia hampir semuanya begitu
Mas?"

"Ya benar. Maka tidak berlebihan jika para filosof
menyebut manusia sebagai hayawanun nathiqun.
Binatang yang berbicara. Manusia itu binatang, hanya
saja ia bisa bicara. Bisa berkata-kata. Itulah definisi
manusia yang hanya mengutamakan nafsunya saja.
Nafsu jadi panglimanya. Nafsu jadi timbangannya. Dan
nafsu itu tidak hanya nafsu pada perempuan saja.
Termasuk juga nafsu pada kemewahan dunia. Al-Quran
menjuluki manusia yang seperti itu dengan kalimat:
'Mereka seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi.
Mereka itulah orang-orang yang lengah.'13 Orang-orang
yang dikendalikan oleh nafsunya adalah orang yang
lengah. Orang yang tidak memiliki rusyd, atau kesadaran
penuh. Orang seperti itu yang akan rugi di mana pun
dia berada. Ia akan mudah dicocok hidungnya oleh setan
untuk dijerumuskan ke dalam jurang kebinasaan dan
kenestapaan."

"Terus bagaimana cara mencintai lawan jenis yang
benar menurut Sampeyan?"

"Mencintai dengan timbangan fithrah dan bashirah.
Mencintai dengan kesucian dan mata hati. Fithrah dan
bashirah yang jadi timbangannya. Yaitu, jika kau
mencintai wanita bukan karena tertipu oleh kecantikan
paras wajahnya dan keelokan benruk tubuhnya. Bukan
karena tersihir oleh matanya yang berkilat-kilat indah
seperti bintang kejora. Bukan pula terpikat karena
bibirnya yang ranum segar seperti mawar merekah. Juga
bukan karena keindahan suaranya yang susah dilupakan.
Bukan karena hartanya yang melimpah ruah.
Bukan karena kehormatannya, yang kau akan jadi ikut
terhormat karena menikahinya. Jika bukan karena itu
semua kau mencintainya. Tapi kau mencintai dengan
memakai timbangan fitrahmu, dan matabatinmu. Kau
mencintai dia karena merasakan kesucian jiwanya dan
agamanya, dan mata batinmu condong karena kecantikan

akhlak dan wataknya. Hatimu terpikat karena
harumnya kalimat-kalimat yang keluar dari lidahnya.
Saat itu kau telah mencintai lawan jenis dengan benar."

"Tapi sulit rasanya Mas aku memakai timbangan
fithrah dan bashirah. Hati ini sepertinya telah tertawan
dan terbelenggu oleh sihir Mari."

"Ya aku tahu. Memang sangat susah membebaskan
diri dari belenggu cinta syahwati. Aku bukannya tidak
pernah mengalaminya, aku pernah mengalaminya. Dan
aku nyaris binasa karenanya. Jika bukan karena rahmat
Allah aku mungkin saat ini sudah hancur berbaur tanah
di kubur."

"Bagaimana ceritanya Mas. Mungkin bisa jadi
cambuk bagiku."

"Malu aku mengingatnya."

"Apa Sampeyan tidak kasihan padaku. Apa Sampeyan
ingin aku binasa Mas?"

"Singkat saja ya. Saat itu aku masih kelas tiga SMA
Al Islam Batu, Malang. Ayahku seorang lurah. Tahun itu
ada rombongan KKN dari Unibraw, berjumlah sepuluh
orang. Empat mahasiswa, enam mahasiswi. Tiga
mahasiswi menginap di rumahku. Tiga lain di tempat Pak
Carik. Dan empat mahasiswa menginap di Balai Desa. Di
antara tiga mahasiswi yang menginap di rumahku itu ada
yang membuatku tergila-gila. Sebut saja namanya F Aku
benar-benar jatuh cinta padanya. Aku coba tahan untuk
menyimpannya dalam hati diam-diam. Aku tidak tahan.
Akhirnya aku ungkapkan padanya. Ternyata dia
menanggapi. Aku kirim surat cinta padanya. Dia
membalasnya dengan surat cinta yang lebih romantis.

Sebab dia sudah mahasiswi. Sudah jauh lebih berpengalaman.
Aku seperti buta. Aku sudah merasa dia
adalah segalanya. Sampai tiba saat perpisahan, karena
masa KKN-nya habis. Sebelum pergi ia berterus terang
padaku, bahwa selama ini cuma main-main. Sebenarnya
dia sudah punya tunangan di Surabaya. Hatiku seperti
dibetot dan kepalaku seperti dihantam palu godam. Aku
langsung jatuh sakit. Dua bulan aku dirawat di rumah
sakit. Aku bahkan sempat mencoba bunuh diri. Orang-
orang menganggap aku sakit terkena santet. Aku seperti
orang gila Zul. Itulah ceritanya Zul."

"Terus sembuhnya bagaimana Mas?"

"Akhirnya orangtuaku tahu juga masalahnya. Saat
orangtuaku tahu gadis itu sudah menikah dan bekerja di
Jakarta. Kakak perempuankulah yang dengan sabar
menemaniku dan menguatkan aku. Karena sakit itu aku
tidak bisa ikut ujian akhir. Aku benar-benar sembuh
setelah aku dibawa ke sebuah pesantren. Di pesantren
itulah karena disibukkan dengan ibadah, zikir, olah raga
dan lain sebagainya lambat laun, ingatanku akan F
hilang. Dan sekarang aku baru menyesal, kenapa dulu
aku bisa begitu bodoh dan tolol. Itulah Zul cinta yang
semu sangat menyiksa dan menyakitkan."

Mendengar cerita Yahya, Zul merasa mendapat
sedikit pencerahan. Namun cerita itu tidak juga bisa
mengusir kuatnya pesona Mari yang menempel di
dinding-dinding hatinya. Tapi dari pembicaraannya
dengan Yahya ia memiliki seberkas cahaya yang
menerangi gulitanya akal pikirannya karena diselimuti
bayangan Mari.

***
Nun jauh di Subang Jaya sana. Mari merasakan hal
yang tidak jauh berbeda dengan Zul. Bahkan lebih parah.
Jika Zul didampingi Yahya, maka Mari tidak punya
pendamping dan tempat untuk mengungkapkan
gelisahnya. Teman-teman satu rumahnya sibuk bekerja
dan ia pandang tidak bisa dijadikan tempat berbagi
perasaan. Mari telah berulang kali menelpon nomor yang
pemah diberikan oleh Zul kepadanya. Nomor itu adalah
nomor Rizal. Karena hp Rizal hilang, maka usaha Mari
menelpon Zul jadi sia-sia.

Mari hanya bisa berharap Zul datang lagi ke sana
dan ia akan mengungkapkan perasaan cintanya kepada
Zul. Ia sudah siap menerima apapun keputusan Zul.
Menerimanya ataukah menolaknya. Jika Zul menerimanya,
ia berjanji akan menjadi abdi bagi Zul selama
hidupnya. Ia merasa hanya Zul-lah yang paling berhak
mendapatkan pengabdiannya.

Mari selalu mengingat perkataan Zul saat menanggapi
ucapannya, "Mintalah apa saja padaku Zul,
selama itu tidak dosa dan aku mampu memenuhinya."
Zul saat itu berkata, "Aku tidak minta apa-apa Mbak.
Cukuplah Mbak terus menjaga diri Mbak, kesucian
Mbak, dan Mbak terus mendekatkan diri kepada Allah
serta berusaha menjadi wanita salehah selamanya, itu
akan membuat apa yang aku lakukan hari ini bermakna
dan tidak sia-sia."

Kata-kata Zul itu seolah ia jadikan pedoman hidup.
Ia berjanji pada diri sendiri untuk terus mendekatkan diri
kepada Allah dan menjadi wanita salehah yang
sebenarnya. Ia mengawali dengan menutup rambutnya
dengan jilbab. Jilbabnya modis. Cara berpakaiannya pun
masih modis. Masih memakai celana jeans dan kaos ketat.
Tapi ia terus berusaha. Ia rajin datang ke majelis taklim
yang ia ketahui. Setiap ia mendapatkan tambahan ilmu
agama, ia berusaha mengamalkan sebaik-baiknya.

Berminggu-minggu setelah itu, ia masih terus
berusaha menelpon nomor yang ia terima dari Zul, tapi
tidak juga berhasil. Dan Zul tidak juga muncul, tidak
pula menelpon. Ia tetap bertahan dan sabar. Ia tetap
berusaha untuk sedekat mungkin dengan Allah. Sesuai
dengan pesan Zul yang telah terpahat kuat dalam relung
hatinya.



BERSAMBUNG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar