Dua hari pertama di Pantai Dalam Kuala Lumpur,Zul sibuk mengurus berkas-berkas pendaf tarannya ke
Universiti Malaya. Dengan sabar Sugeng menemani dan
mengantar ke sana kemari. Sugeng juga yang mengusahakan
rekomendasi dari dua orang guru besar di
Universiti Malaya (UM). Dan di hari ketiga berkas itu
berhasil dimasukkan ke Institute Postgraduate Program
(IPS). Zul mengambil program kerja kursus dan tesis di
Fakultas Pendidikan Jurusan Sosiologi Pendidikan.
"Kita tinggal menunggu surat panggilan dari UM.
Jika diterima nanti pihak IPS UM akan mengirim offer letter ke
alamat kita. Dengan offer letter itulah nanti kamu
mengurus registrasi dan lain sebagainya." Jelas Sugeng
pada Zul setelah berhasil memasukkan berkas ke IPS.
"Berapa lama kita menunggu offer letter Mas?"
"Mungkin dua bulan lagi sudah kita terima. Sekarang
yang paling penting kamu mempersiapkan biaya untuk
registrasi jika diterima nanti. Jika ditotal paling tidak nanti
kamu harus keluar uang tiga ribu ringgit lebih."
"Besar sekali ya Mas."
"Ini untuk pertama kali saja. Setelah itu tiap semester
biaya SPP-nya terus turun. Kalau ditotal biaya kuliah di
sini dengan di Indonesia kurang lebih sama. Namun jika
kita bandingkan fasilitasnya, rasanya di sini lebih murah.
Hanya saja biaya hidupnya di sini cukup tinggi. Tetapi
dengan menyempatkan diri sambil bekerja, semua biaya
bisa ditutupi. Sekali lagi yang agak berat itu memang
biaya masuk awalnya."
"Saya harus menyiapkan tiga ribu ringgit lebih ya
Mas."
"Iya."
Zul mengerutkan keningnya. Dalam waktu sekitar
tiga bulan ia harus mencari uang sebanyak itu. Ia agak
gamang, apakah ia bisa.
"Jangan kuatir, yang penting Zul berusaha dulu. Jika
nanti masih kurang, saya akan bantu mencarikan
pinjaman dulu. Yang penting, Zul bisa mulai kuliah untuk
sesi Juli yang akan datang."
"Iya Mas, terima kasih atas segalanya. Saya akan
berusaha keras. Tadi pagi setelah shalat Subuh Mas Rizal
mengajak saya untuk kerja lembur di restoran sebuah
hotel nanti malam."
"Kalau begitu ayo kita pulang sekarang Zul. Kau
perlu istirahat untuk persiapan nanti malam. Sementara
nanti pukul dua saya ada jadwal mengajar budak-budak8
Malaysia di Damansara."
"Ayo Mas, berarti kita shalat Zuhur di surau di bawah
flat kita."
"Iya."
* * *
Sore itu menjelang Maghrib, Zul telah siap-siap untuk
mulai kerja pertama kalinya di negeri Jiran. Ia begitu
bersemangat. Sebab ia punya tujuan yang jelas untuk
apa bekerja. Rizal senang melihat Zul bersemangat. Ia
senang, sebab malam itu ada yang menemaninya.
Selama ini ia biasanya sendirian saja.
"Kita harus sampai di Hotel Grand Season sebelum
pukul setengah delapan. Pesta ulang tahun selebriti
Malaysia ini akan berlangsung dari pukul delapan sampai
pukul sebelas malam. Kita mungkin akan pulang sekitar
pukul satu malam. Sebab selain kita bertugas menjadi
pelayan yang menghidangkan makanan. Kita juga
bertugas membersihkan peralatan setelah acara itu.
Bagaimana kau siap Zul?"
"Siap Mas."
"Ayo kita berangkat."
Mereka berdua lalu turun dari flat. Lalu dengan
sepeda Honda tua tahun tujuh puluhan mereka meluncur
menyisiri jalan raya Kuala Lumpur.
"Kenapa tadi tidak memakai motornya Pak Muslim
saja Mas? Lebih cepat." Kata Zul saat melihat Rizal
berkali-kali melihat jam tangannya sambil mengendari
sepeda motor tuanya.
"Memakai milik sendiri meskipun tua seperti ini
rasanya lebih nyaman. Insya Allah tidak terlambat kok."
Jawab Rizal.
"Semoga Mas."
Mereka berdua akhirnya sampai di
Hotel Grand
Season yang berada di kawasan Chow Kit tepat pukul
19.15. Mereka langsung shalat Maghrib. Selesai shalat
Maghrib mereka mendapat briefing dari penanggung
jawab restoran. Dan malam itu Zul bekerja dengan penuh
hati-hati dan dedikasi. Ia begitu semangat, seolah tidak
terasa lelah.
Dalam acara yang serba mewah dan glamour itu ia
bisa melihat dari dekat selebritis-selebritis papan
Malaysia. Termasuk diva pop Malaysia yang sangat
terkenal di Indonesia. Hanya saja ia tidak berani kenalan,
minta tanda tangan atau minta foto bersama. Dalam hati
kecil ada juga sebenarnya keinginan untuk sekadar
menyapa bahkan minta tanda tangan. Ia hanya
membayangkan jika bisa foto bersama artis paling
populer di Malaysia dan Indonesia itu, lalu bisa memasang
foto itu di kamarnya, atau mengirim foto itu pada
temantemannya
di Batam, pastilah ia akan merasa bahagia.
Namun ia tak memiliki keberanian untuk melakukan itu semua.
la juga merasa, sebagai pelayan, sangat tidak etis
jika sampai berani melakukan hal itu.
Di akhir acara, ia sempat diajak bicara oleh seorang
wartawati sebuah stasiun televisi Malaysia. Cantik. Ia
sangat tersanjung. Wartawati itu, entah iseng entah serius
menanyakan ia berasal dari mana? Lulusan apa? Dan
apa motivasinya kerja di restoran hotel itu? Ia menjawab
semuanya dengan jujur. Bahwa ia berasal dari Indonesia.
Lulus S.l dari sebuah universitas di Semarang. Dan kerja
di situ karena harus survive dan harus bisa membayar
biaya SPP-nya di UM. Wartawati itu agak terkejut.
"Jadi awak sekarang sedang buat master di UM?"
"Iya."
"Dan awak ini bekerja untuk bayar studi awak?"
"Iya."
"Wah boleh. Awak boleh dikata seorang wira9 sejati.
Saya takjub sama awak. Kalau boleh tahu ambil fakulti
apa?"
"Fakulti Pendidikan, spesialisasi Sosiologi Pendidikan."
"Terima kasih. Saya sangat kagum dengan awak.
Semoga berjaya. Ini kad nama saya. Suatu masa nanti
kita lanjutkan pembualan kita ya? O ya lupa lagi, siapa
nama awak tadi?"
"ZulHadi."
"Zul Hadi. Ada number yang bisa dikontak tidak?"
"Wah tak ada. Tapi saya ada alamat email mau?"
"A...boleh,boleh."
Zul lalu menyebutkan alamat emailnya. Wartawati
itu mencatatnya di note book-nya. Lalu wartawati itu
pergi sambil menganggukkan kepala dan melempar
senyum kepadanya. Zul balas mengangguk dan
tersenyum.
Pengalaman pertamanya kerja di Kuala Lumpur
malam itu sangat mengesankan. Malam itu, ia pulang
pukul setengah dua malam. Di tengah perjalanan hujan
deras turun. Rizal nekat menerobos hujan itu. Dan
malangnya, rantai sepeda motor tua itu putus. Jadilah
mereka berdua jalan kaki sepanjang empat kilometer
sambil menunrun motor. Mereka sampai di Pantai Dalam
pukul lima. Rizal minta maaf kepada Zul,
"Sorry Zul ya. Jika pakai sepeda Pak Muslim,
mungkin kita tidak perlu jalan kaki sejauh itu."
"Tak apa-apa Mas. Malah jadi kenangan indah tak
terlupakan."
"Ya. Nanti bisa kita ceritakan ini pada anak cucu kita
hahaha."
"Hahaha."
Begitulah. Sejak itu Zul larut dalam dunia kerjanya.
Ia benar-benar mati-matian bekerja. Siang dan malam.
Demi bertahan hidup dan demi bisa membayar uang
kuliahnya. Selain bekerja insidentil di hotel-hotel kalau
ada acara-acara besar, secara rutin siang hari Zul bekerja
di pom bensin selama enam jam. Rizal jugalah yang
mencarikan kerja di pom bensin itu. Dan malam hari ia
ikut Arif bekerja sebagai pelayan Jamaliah Cafe di daerah
Taman Seputeh. Biasanya ia berangkat pukul tujuh
malam dan pulang pukul tiga pagi. Nyaris ia hanya
istirahat beberapa jam saja setiap hari. Karena kesibukannya
itu, ia belum juga sempat mengambil barangbarangnya
yang ia tinggal di rumah Mari, di Subang
Jaya. Ia bahkan nyaris melupakannya.
Suatu hari ia hanya bisa mengirim SMS kepada Mari:
"Assalamu'alaikum Mbak Mari. Maaf ya, sy blm bs ke
tmpt Mbak. Juga maaf pada wkt itu tdk smpt pamitan.
Alhamdulillah sy sdh dpt kerja. Dan sdh dpt tmpt tnggl
yg nyaman. Trs trng sy sdng sngt sibuk. Nnti jk sdh agak
longgar sy k tmpt mbak untk ambil barang insya Allah.
Terima kasih atas sgl kebaikannya ya. Dari adikmu: Zul."
Dalam SMS itu ia mengatakan sebagai adik Mari.
Karena ia merasa Mari memang tepat dijadikan
kakaknya. Dan saat bertemu untuk pertama kali ia
merasakan Mari begitu baik. Dan seolah Mari menganggap
dirinya sebagai adiknya.
Smsnya itu langsung dibalas oleh Mari,
"Wassalamu'alaikum wr wb. Alhdulillah kau ternyata
masih hidup :) Aku smpat khwtir krn kau pergi dan dua
bulan tdk ada kbrnya. Ya, smg sehat dan sukses.
Barang-barangmu
masih terjaga dgn baik di sini. Oh ya skdr
informasi, jk nnti ke sini mngkn tak akan bertm Mbak Iin
lagi. Dia sdh pulang ke Indonesia tiga hari yang lalu.
Dan kemngkinan besar tidak akan kembali lagi ke sini.
Terima kasih telah menganggapku sebagai kakak.
Selamat bekerja. O ya apakah ini nomor hpmu? Salam
sayang dari kakakmu: Mari."
Ia bahagia sekali membaca SMS itu. Ia merasakan
bahwa Mari memang orang yang tulus. Menolong
dirinya tanpa pamrih apapun. Terkadang terbersit dalam
pikirannya andai saja Mari masih gadis dan umurnya lebih
muda darinya. la merasa bisa jatuh cinta padanya.
Cepat-cepat ia menepis pikiran yang tidak-tidak itu. la
lalu menjawab pertanyaan Mari,
"Mbak ini bukan nomor hp saya. Tapi nomor teman
saya. Tapi saya punya alamat email. Jika ingin
mengabarkan sesuatu kpd sy, ini alamatnya:
zoel_guanteng@okaymail.com
. Terima kasih."
Ia lalu menerima jawaban singkat dari Mari,
"Ya. Baik."
* * *
Zul terus berjuang dan bekerja. Suatu hari datanglah
surat dari Universiti Malaya. Zul benar-benar diterima
di perguruan tinggi tertua di Malaysia itu. Dan setelah
mati-matian bekerja siang dan malam selama tiga bulan,
ia bisa membayar registrasi pascasarjananya. Namun
uangnya habis untuk registrasi dan mengurus student
pass. Padahal ia harus segera aktif kuliah. Ia tidak bisa
lagi kerja full time seperti dulu. Tapi pemasukannya harus
tetap seperti dulu. Ia agak bingung menyikapi hal itu.
Apalagi jika ia harus naik bus setiap hari dari Pantai Dalam
ke UM. Ongkos hidupnya jadi semakin bertambah.
Apa yang ia hadapi itu ia sampaikan kepada Yahya,
orang saat ini ia anggap paling dekat dengannya. Sebab
Yahya tinggal satu kamar dengannya. Yahya menyimak
apa yang disampaikan Zul dengan penuh perhatian. Ia
menjadi pendengar yang baik. Setelah Zul menyampaikan
masalahnya secara tuntas, Yahya menanggapi,
"Bisa disiasati. Sesungguhnya setiap kali Allah menghadapkan
manusia pada satu masalah, sebenarnya Allah
juga menyiapkan jalan keluarnya. Inna ma'al 'usriyusra.
Sesungguhnya bersama kesukaran itu ada kemudahan.
Begitulah Al-Quran membahasakan. Apa yang kaualami
sekarang ini pernah saya alami. Kau masih lebih
beruntung Zul, sebab bisa bayar registrasi tanpa
berhutang. Saya dulu sampai berhutang. Mari kita
petakan apa yang kauhadapi satu per satu.
"Jika kau aktif kuliah artinya waktumu untuk bekerja
di siang hari sangat sedikit. Tapi kau bisa bekerja Sabtu
dan Minggu. Sebab masa aktif kuliah cuma lima hari.
Tapi saya sering lihat juga, bahwa untuk pascasarjana
fakulti pendidikan sering masuk sore hari. Sebab
mahasiswa dari pribumi Malaysia banyak yang dari
kalangan guru. Pagi mereka mengajar, baru mereka bisa
masuk kuliah sore hari. Yang paling penting, kau harus
pastikan jadwal kuliah secepatnya. Baru bisa menata
kapan dan di mana kau bisa kerja. Dan ada lagi yang
juga sangat penting Zul, yaitu mulai sekarang kau harus
memiliki sepeda motor sendiri. Selama ini kau bisa pinjam
Rizal, Pak Muslim, atau siapa saja yang sepeda motornya
nganggur. Tapi sekarang tidak bisa Zul. Kau sudah punya
jadwal kuliah. Dan kau akan punya jadwal kerja sendiri,
yang berbeda dengan Rizal sekalipun. Kalau kemarin
kau bisa berangkat kerja bersama Rizal, sekarang belum
tentu bisa.
"Menurut saya, sepeda motor sudah kebutuhan primer
bagi mahasiswa UM. Tidak sekunder lagi. Bahkan kalau
disuruh memilih penting mana sepeda motor sama
komputer? Saya akan langsung jawab; penting sepeda
motor. Kita tidak akan leluasa bergerak tanpa sepeda
motor. Tapi kita masih bisa mengerjakan tugas dengan baik
meskipun tidak memiliki komputer. Sebab di kampus
fasilitas komputer sangat berlebih. Di mana-mana ada
komputer dan internet. Itu yang bisa saya sarankan Zul."
Zul memikirkan dan merenungi saran Yahya benarbenar.
Apa yang disarankan Yahya ia rasakan banyak
benarnya. Ia harus punya sepeda motor meskipun tua
dan butut. Akhirnya dengan memberanikan diri, ia
meminjam uang pada Pak Muslim untuk membeli sepeda
motor. Ia membeli sepeda motor yang murah, Suzuki
tahun tujuh puluhan akhir.
"Yang penting bisa jalan dan mengantarkan sampai
tujuan." Gumamnya dalam hati.
Setelah itu ia melihat jadwal kuliahnya. Dan menata
jadwal kerjanya. Dengan terpaksa kerja di pom bensin
ia tinggalkan. Sebab kerja di pom bensin itu banyak
bertabrakan dengan jadwal kuliahnya. Sebagai gantinya
ia kerja di warung runcit. Berangkat pukul delapan
sampai pukul dua siang. Setiap hari. Jadwal kuliahnya
banyak di sore hari. Mulai pukul tiga atau pukul empat.
Dan seringkali selesai pukul sembilan malam. Di atas
pukul sembilan masih ia gunakan untuk bekerja di kedai
Jamaliah Cafe. Hanya dua jam setengah saja. Dari pukul
setengah sepuluh sampai pukul dua belas malam. Ia
hanya punya waktu untuk belajar setelah shalat Subuh.
Dan itu ia gunakan sebaik-baiknya. Jika setelah Subuh
ia tidak belajar itu artinya ia tidak punya waktu lagi untuk
belajar. Maka baginya waktu setelah shalat Subuh sangat
mahal. Ia merasa beruntung tinggal satu kamar bersama
Yahya. Sebab Yahya punya kebiasaan belajar setelah
shalat Subuh.
"Saya belajar setelah shalat Subuh ini sejak di SD.
Saya ini aneh, untuk buku-buku yang serius saya hanya
bisa konsentrasi jika membacanya pada pagi hari. Ya
setelah shalat Subuh itu. Biasanya kalau yang saya baca
setelah shalat Subuh itu banyak melekatnya di otak."
Kata Yahya pada Zul suatu ketika.
"Dan lagi setelah shalat Subuh itu waktu yang penuh
barakah. Baginda Nabi sudah menjelaskan bahwa
barakah untuk umatnya diturunkan pada waktu pagi.
Jika kita ingin dapat banyak barakah ya berarti kita harus
menghidupkan waktu pagi kita. Waktu Subuh dan
setelah Subuh kita." Sambung Yahya.
"Wah cocok sekali apa yang Mas Yahya sampaikan
dengan fenomena yang saya amati. Itu orang-orang
China yang kaya-kaya. Baik di Indonesia atau di
Malaysia, mereka itu selalu membuka toko dan
dagangannya pagi-pagi sekali. Saya punya teman di
Batam, dia pernah menjadi pembantunya orang China
di Jakarta. Dia cerita, tuannya itu sudah bangun pagi
sejak pukul empat pagi. Begitu bangun pagi langsung
melihat siaran televisi dunia. Melihat indeks harga saham
dunia. O jadi nyambung sama barakahnya waktu pagi."
"Iya Zul. Semestinya kita harus bangun lebih pagi
dari orang China."
"Benar Mas."
BERSAMBUNG
Universiti Malaya. Dengan sabar Sugeng menemani dan
mengantar ke sana kemari. Sugeng juga yang mengusahakan
rekomendasi dari dua orang guru besar di
Universiti Malaya (UM). Dan di hari ketiga berkas itu
berhasil dimasukkan ke Institute Postgraduate Program
(IPS). Zul mengambil program kerja kursus dan tesis di
Fakultas Pendidikan Jurusan Sosiologi Pendidikan.
"Kita tinggal menunggu surat panggilan dari UM.
Jika diterima nanti pihak IPS UM akan mengirim offer letter ke
alamat kita. Dengan offer letter itulah nanti kamu
mengurus registrasi dan lain sebagainya." Jelas Sugeng
pada Zul setelah berhasil memasukkan berkas ke IPS.
"Berapa lama kita menunggu offer letter Mas?"
"Mungkin dua bulan lagi sudah kita terima. Sekarang
yang paling penting kamu mempersiapkan biaya untuk
registrasi jika diterima nanti. Jika ditotal paling tidak nanti
kamu harus keluar uang tiga ribu ringgit lebih."
"Besar sekali ya Mas."
"Ini untuk pertama kali saja. Setelah itu tiap semester
biaya SPP-nya terus turun. Kalau ditotal biaya kuliah di
sini dengan di Indonesia kurang lebih sama. Namun jika
kita bandingkan fasilitasnya, rasanya di sini lebih murah.
Hanya saja biaya hidupnya di sini cukup tinggi. Tetapi
dengan menyempatkan diri sambil bekerja, semua biaya
bisa ditutupi. Sekali lagi yang agak berat itu memang
biaya masuk awalnya."
"Saya harus menyiapkan tiga ribu ringgit lebih ya
Mas."
"Iya."
Zul mengerutkan keningnya. Dalam waktu sekitar
tiga bulan ia harus mencari uang sebanyak itu. Ia agak
gamang, apakah ia bisa.
"Jangan kuatir, yang penting Zul berusaha dulu. Jika
nanti masih kurang, saya akan bantu mencarikan
pinjaman dulu. Yang penting, Zul bisa mulai kuliah untuk
sesi Juli yang akan datang."
"Iya Mas, terima kasih atas segalanya. Saya akan
berusaha keras. Tadi pagi setelah shalat Subuh Mas Rizal
mengajak saya untuk kerja lembur di restoran sebuah
hotel nanti malam."
"Kalau begitu ayo kita pulang sekarang Zul. Kau
perlu istirahat untuk persiapan nanti malam. Sementara
nanti pukul dua saya ada jadwal mengajar budak-budak8
Malaysia di Damansara."
"Ayo Mas, berarti kita shalat Zuhur di surau di bawah
flat kita."
"Iya."
* * *
Sore itu menjelang Maghrib, Zul telah siap-siap untuk
mulai kerja pertama kalinya di negeri Jiran. Ia begitu
bersemangat. Sebab ia punya tujuan yang jelas untuk
apa bekerja. Rizal senang melihat Zul bersemangat. Ia
senang, sebab malam itu ada yang menemaninya.
Selama ini ia biasanya sendirian saja.
"Kita harus sampai di Hotel Grand Season sebelum
pukul setengah delapan. Pesta ulang tahun selebriti
Malaysia ini akan berlangsung dari pukul delapan sampai
pukul sebelas malam. Kita mungkin akan pulang sekitar
pukul satu malam. Sebab selain kita bertugas menjadi
pelayan yang menghidangkan makanan. Kita juga
bertugas membersihkan peralatan setelah acara itu.
Bagaimana kau siap Zul?"
"Siap Mas."
"Ayo kita berangkat."
Mereka berdua lalu turun dari flat. Lalu dengan
sepeda Honda tua tahun tujuh puluhan mereka meluncur
menyisiri jalan raya Kuala Lumpur.
"Kenapa tadi tidak memakai motornya Pak Muslim
saja Mas? Lebih cepat." Kata Zul saat melihat Rizal
berkali-kali melihat jam tangannya sambil mengendari
sepeda motor tuanya.
"Memakai milik sendiri meskipun tua seperti ini
rasanya lebih nyaman. Insya Allah tidak terlambat kok."
Jawab Rizal.
"Semoga Mas."
Mereka berdua akhirnya sampai di
Hotel Grand
Season yang berada di kawasan Chow Kit tepat pukul
19.15. Mereka langsung shalat Maghrib. Selesai shalat
Maghrib mereka mendapat briefing dari penanggung
jawab restoran. Dan malam itu Zul bekerja dengan penuh
hati-hati dan dedikasi. Ia begitu semangat, seolah tidak
terasa lelah.
Dalam acara yang serba mewah dan glamour itu ia
bisa melihat dari dekat selebritis-selebritis papan
Malaysia. Termasuk diva pop Malaysia yang sangat
terkenal di Indonesia. Hanya saja ia tidak berani kenalan,
minta tanda tangan atau minta foto bersama. Dalam hati
kecil ada juga sebenarnya keinginan untuk sekadar
menyapa bahkan minta tanda tangan. Ia hanya
membayangkan jika bisa foto bersama artis paling
populer di Malaysia dan Indonesia itu, lalu bisa memasang
foto itu di kamarnya, atau mengirim foto itu pada
temantemannya
di Batam, pastilah ia akan merasa bahagia.
Namun ia tak memiliki keberanian untuk melakukan itu semua.
la juga merasa, sebagai pelayan, sangat tidak etis
jika sampai berani melakukan hal itu.
Di akhir acara, ia sempat diajak bicara oleh seorang
wartawati sebuah stasiun televisi Malaysia. Cantik. Ia
sangat tersanjung. Wartawati itu, entah iseng entah serius
menanyakan ia berasal dari mana? Lulusan apa? Dan
apa motivasinya kerja di restoran hotel itu? Ia menjawab
semuanya dengan jujur. Bahwa ia berasal dari Indonesia.
Lulus S.l dari sebuah universitas di Semarang. Dan kerja
di situ karena harus survive dan harus bisa membayar
biaya SPP-nya di UM. Wartawati itu agak terkejut.
"Jadi awak sekarang sedang buat master di UM?"
"Iya."
"Dan awak ini bekerja untuk bayar studi awak?"
"Iya."
"Wah boleh. Awak boleh dikata seorang wira9 sejati.
Saya takjub sama awak. Kalau boleh tahu ambil fakulti
apa?"
"Fakulti Pendidikan, spesialisasi Sosiologi Pendidikan."
"Terima kasih. Saya sangat kagum dengan awak.
Semoga berjaya. Ini kad nama saya. Suatu masa nanti
kita lanjutkan pembualan kita ya? O ya lupa lagi, siapa
nama awak tadi?"
"ZulHadi."
"Zul Hadi. Ada number yang bisa dikontak tidak?"
"Wah tak ada. Tapi saya ada alamat email mau?"
"A...boleh,boleh."
Zul lalu menyebutkan alamat emailnya. Wartawati
itu mencatatnya di note book-nya. Lalu wartawati itu
pergi sambil menganggukkan kepala dan melempar
senyum kepadanya. Zul balas mengangguk dan
tersenyum.
Pengalaman pertamanya kerja di Kuala Lumpur
malam itu sangat mengesankan. Malam itu, ia pulang
pukul setengah dua malam. Di tengah perjalanan hujan
deras turun. Rizal nekat menerobos hujan itu. Dan
malangnya, rantai sepeda motor tua itu putus. Jadilah
mereka berdua jalan kaki sepanjang empat kilometer
sambil menunrun motor. Mereka sampai di Pantai Dalam
pukul lima. Rizal minta maaf kepada Zul,
"Sorry Zul ya. Jika pakai sepeda Pak Muslim,
mungkin kita tidak perlu jalan kaki sejauh itu."
"Tak apa-apa Mas. Malah jadi kenangan indah tak
terlupakan."
"Ya. Nanti bisa kita ceritakan ini pada anak cucu kita
hahaha."
"Hahaha."
Begitulah. Sejak itu Zul larut dalam dunia kerjanya.
Ia benar-benar mati-matian bekerja. Siang dan malam.
Demi bertahan hidup dan demi bisa membayar uang
kuliahnya. Selain bekerja insidentil di hotel-hotel kalau
ada acara-acara besar, secara rutin siang hari Zul bekerja
di pom bensin selama enam jam. Rizal jugalah yang
mencarikan kerja di pom bensin itu. Dan malam hari ia
ikut Arif bekerja sebagai pelayan Jamaliah Cafe di daerah
Taman Seputeh. Biasanya ia berangkat pukul tujuh
malam dan pulang pukul tiga pagi. Nyaris ia hanya
istirahat beberapa jam saja setiap hari. Karena kesibukannya
itu, ia belum juga sempat mengambil barangbarangnya
yang ia tinggal di rumah Mari, di Subang
Jaya. Ia bahkan nyaris melupakannya.
Suatu hari ia hanya bisa mengirim SMS kepada Mari:
"Assalamu'alaikum Mbak Mari. Maaf ya, sy blm bs ke
tmpt Mbak. Juga maaf pada wkt itu tdk smpt pamitan.
Alhamdulillah sy sdh dpt kerja. Dan sdh dpt tmpt tnggl
yg nyaman. Trs trng sy sdng sngt sibuk. Nnti jk sdh agak
longgar sy k tmpt mbak untk ambil barang insya Allah.
Terima kasih atas sgl kebaikannya ya. Dari adikmu: Zul."
Dalam SMS itu ia mengatakan sebagai adik Mari.
Karena ia merasa Mari memang tepat dijadikan
kakaknya. Dan saat bertemu untuk pertama kali ia
merasakan Mari begitu baik. Dan seolah Mari menganggap
dirinya sebagai adiknya.
Smsnya itu langsung dibalas oleh Mari,
"Wassalamu'alaikum wr wb. Alhdulillah kau ternyata
masih hidup :) Aku smpat khwtir krn kau pergi dan dua
bulan tdk ada kbrnya. Ya, smg sehat dan sukses.
Barang-barangmu
masih terjaga dgn baik di sini. Oh ya skdr
informasi, jk nnti ke sini mngkn tak akan bertm Mbak Iin
lagi. Dia sdh pulang ke Indonesia tiga hari yang lalu.
Dan kemngkinan besar tidak akan kembali lagi ke sini.
Terima kasih telah menganggapku sebagai kakak.
Selamat bekerja. O ya apakah ini nomor hpmu? Salam
sayang dari kakakmu: Mari."
Ia bahagia sekali membaca SMS itu. Ia merasakan
bahwa Mari memang orang yang tulus. Menolong
dirinya tanpa pamrih apapun. Terkadang terbersit dalam
pikirannya andai saja Mari masih gadis dan umurnya lebih
muda darinya. la merasa bisa jatuh cinta padanya.
Cepat-cepat ia menepis pikiran yang tidak-tidak itu. la
lalu menjawab pertanyaan Mari,
"Mbak ini bukan nomor hp saya. Tapi nomor teman
saya. Tapi saya punya alamat email. Jika ingin
mengabarkan sesuatu kpd sy, ini alamatnya:
zoel_guanteng@okaymail.com
. Terima kasih."
Ia lalu menerima jawaban singkat dari Mari,
"Ya. Baik."
* * *
Zul terus berjuang dan bekerja. Suatu hari datanglah
surat dari Universiti Malaya. Zul benar-benar diterima
di perguruan tinggi tertua di Malaysia itu. Dan setelah
mati-matian bekerja siang dan malam selama tiga bulan,
ia bisa membayar registrasi pascasarjananya. Namun
uangnya habis untuk registrasi dan mengurus student
pass. Padahal ia harus segera aktif kuliah. Ia tidak bisa
lagi kerja full time seperti dulu. Tapi pemasukannya harus
tetap seperti dulu. Ia agak bingung menyikapi hal itu.
Apalagi jika ia harus naik bus setiap hari dari Pantai Dalam
ke UM. Ongkos hidupnya jadi semakin bertambah.
Apa yang ia hadapi itu ia sampaikan kepada Yahya,
orang saat ini ia anggap paling dekat dengannya. Sebab
Yahya tinggal satu kamar dengannya. Yahya menyimak
apa yang disampaikan Zul dengan penuh perhatian. Ia
menjadi pendengar yang baik. Setelah Zul menyampaikan
masalahnya secara tuntas, Yahya menanggapi,
"Bisa disiasati. Sesungguhnya setiap kali Allah menghadapkan
manusia pada satu masalah, sebenarnya Allah
juga menyiapkan jalan keluarnya. Inna ma'al 'usriyusra.
Sesungguhnya bersama kesukaran itu ada kemudahan.
Begitulah Al-Quran membahasakan. Apa yang kaualami
sekarang ini pernah saya alami. Kau masih lebih
beruntung Zul, sebab bisa bayar registrasi tanpa
berhutang. Saya dulu sampai berhutang. Mari kita
petakan apa yang kauhadapi satu per satu.
"Jika kau aktif kuliah artinya waktumu untuk bekerja
di siang hari sangat sedikit. Tapi kau bisa bekerja Sabtu
dan Minggu. Sebab masa aktif kuliah cuma lima hari.
Tapi saya sering lihat juga, bahwa untuk pascasarjana
fakulti pendidikan sering masuk sore hari. Sebab
mahasiswa dari pribumi Malaysia banyak yang dari
kalangan guru. Pagi mereka mengajar, baru mereka bisa
masuk kuliah sore hari. Yang paling penting, kau harus
pastikan jadwal kuliah secepatnya. Baru bisa menata
kapan dan di mana kau bisa kerja. Dan ada lagi yang
juga sangat penting Zul, yaitu mulai sekarang kau harus
memiliki sepeda motor sendiri. Selama ini kau bisa pinjam
Rizal, Pak Muslim, atau siapa saja yang sepeda motornya
nganggur. Tapi sekarang tidak bisa Zul. Kau sudah punya
jadwal kuliah. Dan kau akan punya jadwal kerja sendiri,
yang berbeda dengan Rizal sekalipun. Kalau kemarin
kau bisa berangkat kerja bersama Rizal, sekarang belum
tentu bisa.
"Menurut saya, sepeda motor sudah kebutuhan primer
bagi mahasiswa UM. Tidak sekunder lagi. Bahkan kalau
disuruh memilih penting mana sepeda motor sama
komputer? Saya akan langsung jawab; penting sepeda
motor. Kita tidak akan leluasa bergerak tanpa sepeda
motor. Tapi kita masih bisa mengerjakan tugas dengan baik
meskipun tidak memiliki komputer. Sebab di kampus
fasilitas komputer sangat berlebih. Di mana-mana ada
komputer dan internet. Itu yang bisa saya sarankan Zul."
Zul memikirkan dan merenungi saran Yahya benarbenar.
Apa yang disarankan Yahya ia rasakan banyak
benarnya. Ia harus punya sepeda motor meskipun tua
dan butut. Akhirnya dengan memberanikan diri, ia
meminjam uang pada Pak Muslim untuk membeli sepeda
motor. Ia membeli sepeda motor yang murah, Suzuki
tahun tujuh puluhan akhir.
"Yang penting bisa jalan dan mengantarkan sampai
tujuan." Gumamnya dalam hati.
Setelah itu ia melihat jadwal kuliahnya. Dan menata
jadwal kerjanya. Dengan terpaksa kerja di pom bensin
ia tinggalkan. Sebab kerja di pom bensin itu banyak
bertabrakan dengan jadwal kuliahnya. Sebagai gantinya
ia kerja di warung runcit. Berangkat pukul delapan
sampai pukul dua siang. Setiap hari. Jadwal kuliahnya
banyak di sore hari. Mulai pukul tiga atau pukul empat.
Dan seringkali selesai pukul sembilan malam. Di atas
pukul sembilan masih ia gunakan untuk bekerja di kedai
Jamaliah Cafe. Hanya dua jam setengah saja. Dari pukul
setengah sepuluh sampai pukul dua belas malam. Ia
hanya punya waktu untuk belajar setelah shalat Subuh.
Dan itu ia gunakan sebaik-baiknya. Jika setelah Subuh
ia tidak belajar itu artinya ia tidak punya waktu lagi untuk
belajar. Maka baginya waktu setelah shalat Subuh sangat
mahal. Ia merasa beruntung tinggal satu kamar bersama
Yahya. Sebab Yahya punya kebiasaan belajar setelah
shalat Subuh.
"Saya belajar setelah shalat Subuh ini sejak di SD.
Saya ini aneh, untuk buku-buku yang serius saya hanya
bisa konsentrasi jika membacanya pada pagi hari. Ya
setelah shalat Subuh itu. Biasanya kalau yang saya baca
setelah shalat Subuh itu banyak melekatnya di otak."
Kata Yahya pada Zul suatu ketika.
"Dan lagi setelah shalat Subuh itu waktu yang penuh
barakah. Baginda Nabi sudah menjelaskan bahwa
barakah untuk umatnya diturunkan pada waktu pagi.
Jika kita ingin dapat banyak barakah ya berarti kita harus
menghidupkan waktu pagi kita. Waktu Subuh dan
setelah Subuh kita." Sambung Yahya.
"Wah cocok sekali apa yang Mas Yahya sampaikan
dengan fenomena yang saya amati. Itu orang-orang
China yang kaya-kaya. Baik di Indonesia atau di
Malaysia, mereka itu selalu membuka toko dan
dagangannya pagi-pagi sekali. Saya punya teman di
Batam, dia pernah menjadi pembantunya orang China
di Jakarta. Dia cerita, tuannya itu sudah bangun pagi
sejak pukul empat pagi. Begitu bangun pagi langsung
melihat siaran televisi dunia. Melihat indeks harga saham
dunia. O jadi nyambung sama barakahnya waktu pagi."
"Iya Zul. Semestinya kita harus bangun lebih pagi
dari orang China."
"Benar Mas."
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar