Gadis Mesir Itu Bernama Maria
Tengah hari ini, kota Cairo seakan membara. Matahari berpijar di tengah
petala langit. Seumpama lidah api yang menjulur dan menjilat-jilat
bumi. Tanah dan pasir menguapkan bau
neraka. Hembusan angin sahara disertai debu yang bergulung-gulung
menambah panas udara semakin tinggi dari detik ke detik. Penduduknya,
banyak yang berlindung dalam flat yang ada dalam apartemen-apartemen
berbentuk kubus dengan pintu, jendela dan tirai tertutup rapat.
Memang, istirahat di dalam flat sambil menghidupkan pendingin ruangan
jauh lebih nyaman daripada berjalan ke luar rumah, meski sekadar untuk
shalat berjamaah di masjid. Panggilan azan zhuhur dari ribuan menara
yang bertebaran di seantero kota hanya mampu menggugah dan menggerakkan
hati mereka yang benar-benar tebal imannya. Mereka yang memiliki tekad
beribadah sesempurna mungkin dalam segala musim dan cuaca, seperti
karang yang tegak berdiri dalam deburan ombak, terpaan badai, dan
sengatan matahari. Ia tetap teguh berdiri seperti yang dititahkan Tuhan
sambil bertasbih tak kenal kesah. Atau, seperti matahari yang telah
jutaan tahun membakar tubuhnya untuk memberikan penerangan ke bumi dan
seantero mayapada. Ia tiada pernah mengeluh, tiada pernah mengerang
sedetik pun menjalankan titah Tuhan.
Awal-awal Agustus memang puncak musim panas.
Dalam kondisi sangat tidak nyaman seperti ini, aku sendiri sebenarnya
sangat malas keluar. Ramalan cuaca mengumumkan: empat puluh satu derajat
celcius! Apa tidak gila!? Mahasiswa Asia Tenggara yang tidak tahan
panas, biasanya sudah mimisan, hidungnya mengeluarkan darah. Teman satu
flat yang langganan mimisan di puncak musim panas adalah Saiful. Tiga
hari ini, memasuki pukul sebelas siang sampai pukul tujuh petang, darah
selalu merembes dari hidungnya. Padahal ia tidak keluar flat sama
sekali. Ia hanya diam di dalam kamarnya sambil terus menyalakan kipas
angin. Sesekali ia kungkum, mendinginkan badan di kamar mandi.
Dengan tekad bulat, setelah mengusir segala rasa aras-arasen1 aku
bersiap untuk keluar. Tepat pukul dua siang aku harus sudah berada di
Masjid Abu Bakar. Beliau adalah murid Syaikh Mahmoud Khushari, ulama
legendaris yang mendapat julukan Syaikhul Maqari’ Wal Huffadh Fi Mashr
atau Guru Besarnya Para Pembaca dan Penghafal Al-Qur’an di Mesir.
Ash-Shidiq yang terletak di Shubra El-Khaima, ujung utara Cairo, untuk
talaqqi2 pada Syaikh Utsman Abdul Fattah. Pada ulama besar ini aku
belajar qiraah sab’ah3 dan ushul tafsir4
Jadwalku mengaji pada
Syaikh yang terkenal sangat disiplin itu seminggu dua kali. Setiap Ahad
dan Rabu. Beliau selalu datang tepat waktu. Tak kenal kata absen. Tak
kenal cuaca dan musim. Selama tidak sakit dan tidak ada uzur yang
teramat penting, beliau pasti datang. Sangat tidak enak jika aku absen
hanya karena alasan panasnya suhu udara. Sebab beliau tidak sembarang
menerima murid untuk talaqqi qiraah sab’ah. Siapa saja yang ingin
belajar qiraah sab’ah terlebih dahulu akan beliau uji hafalan Al-Qur’an
tiga puluh juz dengan qiraah bebas. Boleh Imam Warasy. Boleh Imam Hafsh.
Atau lainnya. Tahun ini beliau hanya menerima sepuluh orang murid. Aku
termasuk sepuluh orang yang beruntung itu. Lebih beruntung lagi, beliau
sangat mengenalku. Itu karena, di samping sejak tahun pertama kuliah aku
sudah menyetorkan hafalan Al-Qur’an pada beliau di serambi masjid Al
Azhar, juga karena di antara sepuluh orang yang terpilih itu ternyata
hanya diriku seorang yang bukan orang Mesir. Aku satu-satunya orang
asing, sekaligus satu-satunya yang dari Indonesia. Tak heran jika beliau
meng-anakemas-kan diriku. Dan teman-teman dari Mesir tidak ada yang
merasa iri dalam masalah ini. Mereka semua simpati padaku. Itulah
sebabnya, jika aku absen pasti akan langsung ditelpon oleh Syaikh Utsman
dan teman-teman. Mereka akan bertanya kenapa tidak
datang? Apa sakit?
Apa ada halangan dan lain sebagainya. Maka aku harus tetap berusaha
datang selama masih mampu menempuh perjalanan sampai ke Shubra, meskipun
panas membara dan badai debu bergulung-gulung di luar sana. Meskipun
jarak yang ditempuh sekitar lima puluh kilo meter lebih jauhnya.
Kuambil mushaf tercinta.
Kucium penuh takzim. Lalu kumasukkan ke dalam saku depan tas cangklong
hijau tua. Meskipun butut, ini adalah tas bersejarah yang setia menemani
diriku menuntut ilmu sejak di Madrasah Aliyah sampai saat ini, saat
menempuh S.2. di universitas tertua di dunia, di delta Nil ini. Aku
mengambil satu botol kecil berisi air putih di kulkas.
Kumasukkan dalam plastik hitam lalu kumasukkan dalam tas. Aku selalu
membiasakan diri membawa air putih jika bepergian, selain sangat berguna
juga merupakan salah satu bentuk penghematan yang sangat terasa.
Apalagi selama menempuh perjalanan jauh dari Hadayek Helwan sampai
Shubra El-Khaima dengan metro5, tidak akan ada yang menjual minuman.
Aku sedikit ragu mau membuka pintu. Hatiku ketar-ketir. Angin sahara
terdengar mendesau-desau. Keras dan kacau. Tak bisa dibayangkan betapa
kacaunya di luar sana. Panas disertai gulungan debu yang berterbangan.
Suasana yang jauh dari nyaman. Namun niat harus dibulatkan. Bismillah
tawakkaltu ‘ala Allah6, pelan-pelan kubuka pintu apartemen. Dan...
Wuss!
Angin sahara menampar mukaku dengan kasar. Debu bergumpal-gumpal
bercampur pasir menari-nari di mana-mana. Kututup kembali pintu
apartemen. Rasanya aku melupakan sesuatu.
“Mas Fahri, udaranya
terlalu panas. Cuacanya buruk. Apa tidak sebaiknya istirahat saja di
rumah?” saran Saiful yang baru keluar dari kamar mandi. Darah yang
merembes dari hidungnya telah ia bersihkan.
“Insya Allah tidak
akan terjadi apa-apa. Aku sangat tidak enak pada Syaikh Utsman jika
tidak datang. Beliau saja yang sudah berumur tujuh puluh lima tahun
selalu datang. Tepat waktu lagi. Tak kenal cuaca panas atau dingin.
Padahal rumah beliau dari masjid tak kurang dari dua kilo,” tukasku
sambil bergegas masuk kamar kembali, mengambil topi dan kaca mata hitam.
“Allah yubarik fik7, Mas,” ujarnya serak. Tangan kanannya
mengusapkan sapu tangan pada hidungnya. Mungkin darahnya merembes lagi.
“Wa iyyakum!8” balasku sambil memakai kaca mata hitam dan memakai topi menutupi kopiah putih yang telah menempel di kepalaku.
“Sudah bawa air putih, Mas?”
Aku mengangguk.
“Saif, Rudi minta dibangunkan pukul setengah dua. Tadi malam dia lembur
bikin makalah. Kelihatannya dia baru tidur jam setengah sepuluh tadi.
Terus tolong nanti bilang sama dia untuk beli gula, dan minyak goreng.
Hari ini dia yang piket belanja. Oh ya, hampir lupa, nanti sore yang
piket masak Hamdi. Dia paling suka masak oseng-oseng wortel campur
kofta9. Kebetulan wortel dan koftanya habis. Bilang sama Rudi sekalian.”
Sebagai yang dipercaya untuk jadi kepala keluarga—meskipun
tanpa seorang ibu rumah tangga—aku harus jeli memperhatikan kebutuhan
dan kesejahteraan anggota. Dalam flat ini kami hidup berlima; aku,
Saiful, Rudi, Hamdi dan Mishbah. Kebetulan aku yang paling tua, dan
paling lama di Mesir. Secara akademis aku juga yang paling tinggi. Aku
tinggal menunggu pengumuman untuk menulis tesis master di Al Azhar. Yang
lain masih program S.1. Saiful dan Rudi baru tingkat tiga, mau masuk
tingkat empat. Sedangkan Misbah dan Hamdi sedang menunggu pengumuman
kelulusan untuk memperoleh gelar Lc. atau Licence. Mereka semua telah
menempuh ujian akhir tahun pada akhir Mei sampai awal Juni yang lalu.
Awal-awal Agustus biasanya pengumuman keluar. Namun sampai hari ini,
pengumuman belum juga keluar.
Dan hari ini, kebetulan yang ada
di flat hanya tiga orang, yaitu aku, Saiful dan Rudi. Adapun Hamdi
sudah dua hari ini punya kegiatan di Dokki, tepatnya di Masjid Indonesia
Cairo. Ia diminta untuk memberikan pelatihan kepemimpinan pada remaja
masjid yang semuanya adalah putera-puteri para pejabat KBRI. Siang ini
katanya selesai, dan nanti sore dia pulang. Sedangkan Mishbah sedang
berada di Rab’ah El-Adawea, Nasr City. Katanya ia harus menginap di
Wisma Nusantara, di tempatnya Mas Khalid, untuk merancang draft
pelatihan ekonomi Islam bersama Profesor Maulana Husein Shahata,
pertengahan September depan. Masing-masing penghuni flat ini punya
kesibukan. Aku sendiri yang sudah tidak aktif di organisasi manapun,
juga mempunyai jadwal dan kesibukan. Membaca bahan untuk tesis, talaqqi
qiraah sab’ah, menerjemah, dan diskusi intern dengan teman-teman
mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh S.2. dan S.3. di Cairo.
Urusan-urusan kecil seperti belanja, memasak dan membuang sampah, jika
tidak diatur dengan bijak dan baik akan menjadi masalah. Dan akan
mengganggu keharmonisan. Kami berlima sudah seperti saudara kandung.
Saling mencintai, mengasihi dan mengerti. Semua punya hak dan kewajiban
yang sama. Tidak ada yang diistimewakan. Semboyan kami, baiti jannati.
Rumahku adalah surgaku. Tempat yang kami tinggali ini harus benar-benar
menjadi tempat yang menyenangkan. Dan sebagai yang paling tua aku
bertanggung jawab untuk membawa mereka pada suasana yang mereka
inginkan.
Aku melangkah ke pintu.
“Saif. Jangan lupa pesanku tadi!” kembali aku mengingatkan sebelum membuka pintu.
“Insya Allah, Mas.”
Di luar sana angin terdengar mendesau-desau. Benar kata Saiful, cuaca sebetulnya kurang baik.
Ah, kalau tidak ingat bahwa kelak akan ada hari yang lebih panas dari
hari ini dan lebih gawat dari hari ini. Hari ketika manusia digiring di
padang Mahsyar dengan matahari hanya satu jengkal di atas ubun-ubun
kepala. Kalau tidak ingat, bahwa keberadaanku di kota seribu menara ini
adalah amanat. Dan amanat akan dipertanggungjawabkan dengan pasti. Kalau
tak ingat, bahwa masa muda yang sedang aku jalani ini akan
dipertanyakan kelak. Kalau tak ingat, bahwa tidak semua orang diberi
nikmat belajar di bumi para nabi ini. Kalau tidak ingat, bahwa aku
belajar di sini dengan menjual satu-satunya sawah warisan dari kakek.
Kalau tidak ingat bahwa aku dilepas dengan linangan air mata dan selaksa
doa dari ibu, ayah dan sanak saudara. Kalau tak ingat bahwa jadwal
adalah janji yang harus ditepati. Kalau tak ingat itu semua, shalat
zhuhur di kamar saja lalu tidur nyantai menyalakan kipas dan
mendengarkan lantunan lagu El-Himl El-Arabi atau El-Hubb El-Haqiqi, atau
untaian shalawatnya Emad Rami dari Syiria itu, tentu rasanya nyaman
sekali. Apalagi jika diselingi minum ashir10 mangga yang sudah
didinginkan satu minggu di dalam kulkas atau makan buah semangka yang
sudah dua hari didinginkan. Masya Allah, alangkah segarnya.
Kubuka pintu apartemen perlahan.
Wuss!
Angin sahara kembali menerpa wajahku. Aku melangkah keluar lalu
menuruni tangga satu per satu. Flat kami ada di tingkat tiga. Gedung
apartemen ini hanya enam tingkat dan tidak punya lift. Sampai di halaman
apartemen, jilatan panas matahari seakan menembus topi hitam dan kopiah
putih yang menempel di kepalaku. Seandainya tidak memakai kaca mata
hitam, sinarnya yang benderang akan terasa perih menyilaukan mata.
Kulangkahkan kaki ke jalan.
“Psst..psst...Fahri! Fahri!”
Kuhentikan langkah. Telingaku menangkap ada suara memanggil-manggil
namaku dari atas. Suara yang sudah kukenal. Kupicingkan mataku mencari
asal suara. Di tingkat empat. Tepat di atas kamarku. Seorang gadis Mesir
berwajah bersih membuka jendela kamarnya sambil tersenyum. Matanya yang
bening menatapku penuh binar.
“Hei Fahri, panas-panas begini keluar, mau ke mana?”
“Shubra.”
“Talaqqi Al-Qur’an ya?”
Aku mengangguk.
“Pulangnya kapan?”
“Jam lima, insya Allah.”
“Bisa nitip?”
“Nitip apa?”
“Belikan disket. Dua. Aku malas sekali keluar.”
“Baik, insya Allah.”
Aku membalikkan badan dan melangkah.
“Fahri, istanna suwayya!11”
“Fi eh kaman?12”
Aku urung melangkah.
“Uangnya.”
“Sudah, nanti saja, gampang.”
“Syukran Fahri.”
“Afwan.”
Aku cepat-cepat melangkah ke jalan menuju masjid untuk shalat zhuhur. Panasnya bukan main.
Gadis Mesir itu, namanya Maria. Ia juga senang dipanggil Maryam. Dua
nama yang menurutnya sama saja. Dia puteri sulung Tuan Boutros Rafael
Girgis. Berasal dari keluarga besar Girgis. Sebuah keluarga Kristen
Koptik yang sangat taat. Bisa dikatakan, keluarga Maria adalah tetangga
kami paling akrab. Ya, paling akrab. Flat atau rumah mereka berada tepat
di atas flat kami. Indahnya, mereka sangat sopan dan menghormati kami
mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Al Azhar.
Maria gadis yang unik.
Ia seorang Kristen Koptik atau dalam bahasa asli Mesirnya qibthi, namun
ia suka pada Al-Qur’an. Ia bahkan hafal beberapa surat Al-Qur’an. Di
antaranya surat Maryam. Sebuah surat yang membuat dirinya merasa bangga.
Aku mengetahui hal itu pada suatu kesempatan berbincang dengannya di
dalam metro. Kami tak sengaja berjumpa. Ia pulang kuliah dari Cairo
University, sedangkan aku juga pulang kuliah dari Al Azhar University.
Kami duduk satu bangku. Suatu kebetulan.
“Hei namamu Fahri, iya ‘kan?”
“Benar.”
“Kau pasti tahu namaku, iya ‘kan?”
“Iya. Aku tahu. Namamu Maria. Puteri Tuan Boutros Girgis.”
“Kau benar.”
“Apa bedanya Maria dengan Maryam?”
“Maria atau Maryam sama saja. Seperti David dengan Daud. Yang jelas
namaku tertulis dalam kitab sucimu. Kitab yang paling banyak dibaca umat
manusia di dunia sepanjang sejarah. Bahkan jadi nama sebuah surat.
Surat kesembilan belas, yaitu surat Maryam. Hebat bukan?”
“Hei, bagaimana kau mengatakan Al-Qur’an adalah kitab suci paling banyak
dibaca umat manusia sepanjang sejarah? Dari mana kamu tahu itu?”
selidikku penuh rasa kaget dan penasaran.
“Jangan kaget kalau
aku berkata begitu. Ini namanya objektif. Memang kenyataannya demikian.
Charles Francis Potter mengatakan seperti itu. Bahkan jujur kukatakan,
‘Al-Qur’an jauh lebih dimuliakan dan dihargai daripada kitab suci
lainnya. Ia lebih dihargai daripada Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama.
Pendeta J. Shillidy dalam bukunya The Lord Jesus in The Koran
memberikan kesaksian seperti itu. Dan pada kenyataannya tak ada buku
atau kitab di dunia ini yang dibaca dan dihafal oleh jutaan manusia
setiap detik melebihi Al-Qur’an. Di Mesir saja ada sekitar sepuluh ribu
Ma’had Al Azhar. Siswanya ratusan ribu bahkan jutaan anak. Mereka semua
sedang menghafalkan Al-Qur’an. Karena mereka tak akan lulus dari Ma’had
Al Azhar kecuali harus hafal Al-Qur’an. Aku saja, yang seorang Koptik
suka kok menghafal Al-Qur’an. Bahasanya indah dan enak dilantunkan,”
cerocosnya santai tanpa ada keraguan.
“Kau juga suka menghafal Al-Qur’an? Apa aku tidak salah dengar?” heranku.
“Ada yang aneh?”
Aku diam tidak menjawab.
“Aku hafal surat Maryam dan surat Al-Maidah di luar kepala.”
“Benarkah?”
“Kau tidak percaya? Coba kau simak baik-baik!”
Maria lalu melantunkan surat Maryam yang ia hafal. Anehnya ia terlebih
dahulu membaca ta’awudz14 dan basmalah. Ia tahu adab dan tata cara
membaca Al-Qur’an. Jadilah perjalanan dari Mahattah15 Anwar Sadat Tahrir
sampai Tura El-Esmen kuhabiskan untuk menyimak seorang Maria membaca
surat Maryam dari awal sampai akhir. Nyaris tak ada satu huruf pun yang
ia lupa. Bacaannya cukup baik meskipun tidak sebaik mahasiswi Al Azhar.
Dari Tura El-Esmen hingga Hadayek Helwan Maria mengajak berbincang ke
mana-mana. Aku tak menghiraukan tatapan orang-orang Mesir yang heran aku
akrab dengan Maria.
Itulah Maria, gadis paling aneh yang
pernah kukenal. Meskipun aku sudah cukup banyak tahu tentang dirinya,
baik melalui ceritanya sendiri saat tak sengaja bertemu di metro, atau
melalui cerita ayahnya yang ramah. Tapi aku masih menganggapnya aneh.
Bahkan misterius. Ia gadis yang sangat cerdas. Nilai ujian akhir Sekolah
Lanjutan Atasnya adalah terbaik kedua tingkat nasional Mesir. Ia masuk
Fakultas Komunikasi, Universitas Cairo. Dan tiap tingkat selalu meraih
predikat mumtaz atau cumlaude. Ia selalu terbaik di fakultasnya. Ia
pernah ditawari jadi reporter Ahram, koran terkemuka di Mesir. Tapi ia
tolak. Ia lebih memilih jadi penulis bebas. Ia memang gadis Koptik yang
aneh. Menurut pengakuannya sendiri, ia paling suka dengar suara azan,
tapi pergi ke gereja tidak pernah ia tinggalkan. Sekali lagi, ia memang
gadis Koptik yang aneh. Aku tidak tahu jalan pikirannya.
Selama ini, aku hanya mendengar dari bibirnya yang tipis itu hal-hal
yang positif tentang Islam. Dalam hal etika berbicara dan bergaul ia
terkadang lebih Islami daripada gadis-gadis Mesir yang mengaku muslimah.
Jarang sekali kudengar ia tertawa cekikikan. Ia lebih suka tersenyum
saja. Pakaiannya longgar, sopan dan rapat. Selalu berlengan panjang
dengan bawahan panjang sampai tumit. Hanya saja, ia tidak memakai
jilbab. Tapi itu jauh lebih sopan ketimbang gadis-gadis Mesir seusianya
yang berpakaian ketat dan bercelana ketat, dan tidak jarang bagian
perutnya sedikit terbuka. Padahal mereka banyak yang mengaku muslimah.
Maria suka pada Al-Qur’an. Ia sangat mengaguminya, meskipun ia tidak
pernah mengaku muslimah. Penghormatannya pada Al-Qur’an bahkan melebihi
beberapa intelektual muslim.
Ia pernah cerita, suatu kali ia
ikut diskusi tentang aspek kebahasaan Al-Qur’an di Fakultas Sastra
Universitas Cairo. Pemakalahnya adalah seorang doktor filsafat jebolan
Sorbonne Perancis. Maria merasa risih sekali dengan kepongahan doktor
itu yang mengatakan Al-Qur’an tidak sakral karena dilihat dari aspek
kebahasaan ada ketidakberesan. Doktor itu mencontohkan dalam Al-Qur’an
ada rangkaian huruf yang tidak diketahui maknanya. Yaitu, alif laam
miim, alif laam ra, haa miim, yaa siin, thaaha nuun, kaf ha ya ‘ain
shaad, dan sejenisnya.
Maria berkata padaku,
“Fahri, aku
geli sekali mendengar perkataan doktor dari Sorbonne itu. Dia itu orang
Arab, juga muslim, tapi bagaimana bisa mengatakan hal yang stupid
begitu. Aku saja yang Koptik bisa merasakan betapa indahnya Al-Qur’an
dengan alif laam miim-nya. Kurasa rangkaian huruf-huruf seperti alif
laam miim, alif laam ra, haa miim, yaa siin, nuun, kaf ha ya ‘ain shaad
adalah rumus-rumus Tuhan yang dahsyat maknanya. Susah diungkapkan
maknanya, tapi keagungannya bisa ditangkap oleh mereka yang memiliki
cita rasa bahasa Arab yang tinggi. Jika susunan itu dianggap sebagai
suatu ketidakberesan, orang-orang kafir Quraisy yang sangat tidak suka
pada Al-Qur’an dan memusuhinya sejak dahulu tentu akan mengambil
kesempatan adanya ketidakberesan itu untuk menghancurkan Al-Qur’an. Dan
tentu mereka sudah mencela bahasa Al-Qur’an habis-habisan sepanjang
sejarah. Namun kenyataannya, justru sebaliknya. Mereka mengakui
keindahan bahasanya yang luar biasa. Mereka menganggap bahasa Al-Qur’an
bukan bahasa manusia biasa tapi bahasa yang datang dari langit. Jadi
kukira doktor itu benar-benar stupid. Tidak semestinya seorang doktor
sekelas dia mengatakan hal seperti itu.”
Aku lalu menjelaskan
kepada Maria segala hal berkaitan dengan alim laam miim dalam Al-Qur’an.
Lengkap dengan segala rahasia yang digali oleh para ulama dan ahli
tafsir. Maknanya, hikmahnya, dan pengaruhnya dalam jiwa. Juga
kuterangkan bahwa pendapat Maria yang mengatakan huruf-huruf itu tak
lain adalah rumus-rumus Tuhan yang maha dahsyat maknanya, dan hanya
Tuhan yang tahu persis maknanya, ternyata merupakan pendapat yang
dicenderungi mayoritas ulama tafsir. Maria girang sekali mendengarnya.
“Wah pendapat yang terlintas begitu saja dalam benak kok bisa sama
dengan pendapat mayoritas ulama tafsir ya?” komentarnya sambil tersenyum
bangga.
Aku ikut tersenyum.
Di dunia ini memang
banyak sekali rahasia Tuhan yang tidak bisa dimengerti oleh manusia
lemah seperti diriku. Termasuk kenapa ada gadis seperti Maria. Dan aku
pun tidak merasa perlu untuk bertanya padanya kenapa tidak mengikuti
ajaran Al-Qur’an. Pertanyaan itu kurasa sangat tidak tepat ditujukan
pada gadis cerdas seperti Maria. Dia pasti punya alasan atas pilihannya.
Inilah yang membuatku menganggap Maria adalah gadis aneh dan misterius.
Di dunia ini banyak sekali hal-hal misterius. Masalah hidayah dan iman
adalah masalah misterius. Sebab hanya Allah saja yang berhak menentukan
siapa-siapa yang patut diberi hidayah. Abu Thalib adalah paman nabi yang
mati-matian membela dakwah nabi. Cinta nabi pada beliau sama dengan
cinta nabi pada ayah kandungnya sendiri. Tapi masalah hidayah hanya
Allah yang berhak menentukan. Nabi tidak bisa berbuat apa-apa atas nasib
sang paman yang amat dicintainya itu. Juga hidayah untuk Maria. Hanya
Allah yang berhak memberikannya.
Mungkin, sejak azan
berkumandang Maria telah membuka daun jendela kayunya. Dari balik kaca
ia melihat ke bawah, menunggu aku keluar. Begitu aku tampak keluar
menuju halaman apartemen, ia membuka jendela kacanya, dan memanggil
dengan suara setengah berbisik. Ia tahu persis bahwa aku dua kali tiap
dalam satu minggu keluar untuk talaqqi Al-Qur’an. Tiap hari Ahad dan
Rabu. Berangkat setelah azan zhuhur berkumandang dan pulang habis Ashar.
Dan ini hari Rabu. Seringkali ia titip sesuatu padaku. Biasanya tidak
terlalu merepotkan. Seperti titip membelikan disket, memfotocopykan
sesuatu, membelikan tinta print, dan sejenisnya yang mudah kutunaikan.
Banyak toko alat tulis, tempat foto copy dan toko perlengkapan komputer
di Hadayek Helwan. Jika tidak ada di sana, biasanya di Shubra El-Khaima
ada.
Suhu udara benar-benar panas. Wajar saja Maria malas
keluar. Toko alat tulis yang juga menjual disket hanya berjarak lima
puluh meter dari apartemen. Namun ia lebih memilih titip dan menunggu
sampai aku pulang nanti. Ini memang puncak musim panas. Laporan cuaca
meramalkan akan berlangsung sampai minggu depan, rata-rata 39 sampai 41
derajat celcius. Ini baru di Cairo. Di Mesir bagian selatan dan Sudan
entah berapa suhunya. Tentu lebih menggila. Ubun-ubunku terasa mendidih.
Panggilan iqamat terdengar bersahut-sahutan. Panggilan mulia
itu sangat menentramkan hati. Pintu-pintu meraih kebahagiaan dan
kesejahteraan masih terbuka lebar-lebar. Kupercepat langkah. Tiga puluh
meter di depan adalah Masjid Al-Fath Al-Islami. Masjid kesayangan.
Masjid penuh kenangan tak terlupakan. Masjid tempat aku mencurahkan suka
dan deritaku selama belajar di sini. Tempat aku menitipkan rahasia
kerinduanku yang memuncak, tujuh tahun sudah aku berpisah dengan ayah
ibu. Tempat aku mengadu pada Yang Maha Pemberi rizki saat berada dalam
keadaan kritis kehabisan uang. Saat hutang pada teman-teman menumpuk dan
belum terbayarkan. Saat uang honor terjemahan terlambat datang.
Tanda bahwa shalat berjamaah segera didirikan.
Tempat aku menata hati, merancang strategi, mempertebal azam dan keteguhan jiwa dalam perjuangan panjang.
Begitu masuk masjid...
Wusss!
Hembusan udara sejuk yang dipancarkan lima AC dalam masjid menyambut
ramah. Alhamdulillah. Nikmat rasanya jika sudah berada di dalam masjid.
Puluhan orang sudah berjajar rapi dalam shaf shalat jamaah. Kuletakkan
topi dan tas cangklongku di bawah tiang dekat aku berdiri di barisan
shaf kedua. Kedamaian menjalari seluruh syaraf dan gelegak jiwa begitu
kuangkat takbir. Udara sejuk yang berhembus terasa mengelus-elus leher
dan mukaku. Juga mengusap keringat yang tadi mengalir deras. Aku merasa
tenteram dalam elusan kasih sayang Tuhan Yang Mahapenyayang. Dia terasa
begitu dekat, lebih dekat dari urat leher, lebih dekat dari jantung yang
berdetak.
BERSAMBUNG
source: I Love Original Kawanimut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar