Dua bulan berlalu sejak Yahya mengajak Zul
berbicara dari hati ke hati. Yahya berharap Zul bisa
menemukan kesadaran prima dan semangat membaranya
kembali seperti ketika awal-awal tinggal di flat
itu. Namun harapan Yahya belum menjadi kenyataan.
Kenyataannya Zul tetap banyak murung dan melamun.
Tidak gesit dan semangat dalam bekerja, berusaha, dan belajar.
Seringkali Yahya menemukan Zul hanya tidur di
kamar satu siang penuh, padahal ia yakin Zul ada jadwal
kuliah dan kerja. Yahya biasanya mengingatkannya
dengan bahasa sehalus mungkin, namun Zul seperti tidak
mendengar apa-apa. Yahya beberapa kali menyarankan
pada Zul jika memang harus mendapatkan Mari, kenapa
tidak secara jantan menemui dan mengajaknya menikah.
Obat paling mujarab untuk orang yang sakit karena cinta
adalah menikah. Tapi Zul gamang dengan dirinya sendiri.
Keraguan mengambil langkah telah membuatnya seperti
orang yang kehilangan cahaya kehidupan. Keadaan Zul
yang sedang sakit karena cinta itu menjadi perhatian dan
keprihatian semua penghuni flat itu.
Pak Muslim merasa kuatir keadaan Zul semakin
parah. Jika parah, maka bisa berpengaruh pada suasana
rumah. Sudah dua bulan Zul tidak membayar uang sewa
rumah. la minta dipinjami dulu. Namun ia bekerja tidak
seserius dulu. Seolah bekerja seingatnya saja. Jika ingat
bekerja, jika tidak ya tidak bekerja. Pak Muslim juga
kuatir Zul tidak bisa mengikuti ujian semester depan jika
sering bolos kuliah. Suasana rumah terasa mulai tidak
nyaman. Maka Pak Muslim sebagai yang paling tua
berinisiatif mempertegas sikap Zul. Jika ingin serius kuliah
maka ia harus segera bangkit dan merubah sikap. Jika
sudah tidak ingin kuliah, ia melihat Zul sebaiknya
mencari tempat yang lain. Sebab kemalasan Zul bisa
merusak situasi rumah yang selama ini nyaman dan
kondusif untuk belajar.
Pak Muslim tidak mau perkataan najis satu tetes
merusak kesucian air satu gentong terjadi di rumah itu.
Dan tidak ada najis yang paling merusak kesucian umat
yang ingin berprestasi kecuali kemalasan. Ia tidak mau
Zul jadi najis itu. Zul harus diselamatkan. Jika Zul tetap
memilih jadi najis itu maka ia harus disingkirkan agar
tidak merusak kesucian semangat orang satu rumah.
Pagi itu setelah shalat Subuh Pak Muslim membangunkan
Zul yang masih mendengkur di kamarnya.
Berbeda sekali Zul yang dulu dengan Zul saat itu. Zul
saat awal-awal datang dulu sudah bangun sebelum
Subuh tiba dan selalu di shaf pertama. Tapi Zul saat itu
adalah Zul yang harus berkali-kali diingatkan dan
dibangunkan baru shalat Subuh dengan wajah malas
tanpa cahaya.
Begitu Zul selesai shalat Pak Muslim langsung
memanggil Zul ke kamarnya. Dengan menunduk Zul
masuk ke kamar dosen Universitas Negeri Yogyakarta
yang mengagumi pemikiran-pemikiran Muhammad
Iqbal.
"Duduk sini Zul!" Pak Muslim mempersilakan Zul
duduk di kursi yang ada tepat di depannya. Setelah Zul
duduk, Pak Muslim langsung menutup pintu kamarnya.
"Zul, sudah tiga bulan ini aku lihat kamu sangat
berbeda dengan saat kau pertama datang. Apa sebenarnya
masalahmu Zul?"
"M...tidak ada masalah Pak. Saya biasa-biasa saja."
"Zul kau masih ingin kuliah?"
"Ya tentu Pak."
"Kau sadar dengan yang kauucapkan?"
"Tentu saja sadar Pak."
"Bagus. Jika kau ingin tetap lanjut kuliah kau harus
bangkit dan mengembalikan semangatmu. Cukup tiga
bulan saja kamu sakit. Ingat Zul, setiap detik kau berada
di Kuala Lumpur ini ada harganya. Dan kau harus
membayarnya. Flat ini kita menyewa. Air yang
kaugunakan untuk membersihkan dirimu saat buang air
juga harus dibayar. Kau makan tidak gratis. Kuliah tidak
gratis. Semua ada tagihannya. Jika kau terus malas dan
murung seperti itu kau tidak akan bertahan hidup. Kalau
pun kau tetap hidup kau tak lebih bernilai dari sampah.
Sampah masih bisa didaur ulang. Tapi manusia yang
telah mati sebelum mati jauh merepotkan daripada
sampah.
"Aku ingin melihatmu berjaya. Meraih prestasi yang
gemilang Zul. Sungguh aku sangat menginginkan itu.
Aku akan membantumu semampuku. Itu jika kamu mau.
Jika kamu tidak mau aku tidak berhak memaksamu. Kau
lebih berhak menentukan jalan hidupmu.
'Aku tahu kau masih sakit. Hatimu masih dijajah oleh
rasa cintamu pada wanita yang kaucintai itu. Ketahuilah
Zul, tak ada dokter yang bisa menyembuhkanmu kecuali
kamu sendiri. Sebagai orang tua, aku hanya bisa
memberikan beberapa saran untuk kebaikanmu dan
kebaikan kita bersama.
"Saranku yang pertama Zul, jika kamu ingin sukses
dan berhasil lupakan wanita itu. Jodoh itu tanpa dikejar,
tanpa dibuat bersakit-sakit seperti kau sekarang ini jika
tiba saatnya akan datang juga. Jodohmu sudah ditulis
oleh Allah. Kalau jodohmu memang wanita bernama Siti
Martini itu ya nanti Allah pasti akan mempertemukan
kamu dengan dia. Tapi jika jodohmu bukan dia, sampai
kau minta banruan seluruh jin di jagad raya ini untuk
membantumu mendapatkan dia ya kamu tidak akan
mendapatkannya.
"Sementara ilmu dan prestasi juga amal ibadah. Jika
tidak kauusahakan dengan serius tidak akan kauraih.
Ilmu tidak bisa kauraih dengan tiduran dan malasmalasan.
Prestasi dan kesuksesan tidak akan kauraih
kecuali dengan pengorbanan penuh pikiran, tenaga dan
perasaan. Kalau perlu bahkan nyawa. Tak ada dalam
catatan sejarah ada orang sukses hanya dengan
melamun, tidur, dan banyak angan-angan seperti yang
kaulakukan tiga bulan ini. Tak ada seorang juara di
bidang apapun kecuali ia pasti seorang pejuang yang
ulung. Kalau ingin mendapatkan ilmu yang cukup,
berprestasi dan hidup sukses kau harus bangkit,
bersemangat, memanfaatkan waktu sebaik-baiknya dan
gigih berjuang. Itulah jalannya orang-orang yang sukses.
"Zul, godaan wanita adalah godaan utama orang
mencari ilmu. Dan fitnah perempuan adalah salah satu
fitnah yang sangat dikuatirkan oleh Nabi akan melumpuhkan
umatnya. Bahkan saat Nabi berdakwah di
Makkah, di antara hal yang ditawarkan orang-orang
kafir Quraisy untuk membujuk Nabi agar menghentikan
dakwahnya adalah dengan mengiming-imingi Nabi akan
dinikahkan dengan wanita paling cantik di Arab. Tapi
Nabi menolaknya.
"Zul, siapa pun yang kasmaran, siapa pun yang jatuh
cinta seperti kamu saat ini. Maka akal, pikiran dan
perasaannya akan terus terfokus untuk mendapatkan
yang dicintainya. Jika keadaan seperti itu terus berlarut,
maka kewajiban-kewajibannya, tugas-tugas utamanya
akan segera terlupakan. Dan saat itu hanya tinggal
menunggu datangnya kebinasaan.
"Sudah tidak terhitung lagi jumlahnya pelajar dan
mahasiswa yang gagal karena
skandal cinta. Tidak
terhitung jumlahnya pemimpin besar dunia yang
terpuruk karena skandal cinta. Apakah kau mau
menambah panjang daftar itu dengan memasukkan
namamu.
"Penuntut ilmu jika jatuh cinta pada lawan jenisnya,
maka ilmu itu tidak akan bisa melekat pada akal, pikiran
dan hatinya. Sebab akal, pikiran dan hatinya telah
dikotori oleh bayangan semu kekasih hatinya. Ada
pujangga Arab yang menulis sajak begini Zul,
Jika aku sedang sibuk dengan gadisku
Yang parasnya laksana cahaya pagi
Maka aku enggan memikirkan yang lain
"Maka, aku ulangi lagi saranku yang pertama, jika
kamu ingin sukses dan berhasil lupakan wanita itu. Saat
ini berkonsentrasilah sepenuhnya untuk menuntut ilmu.
Jika ia jodohmu selesai S.2 aku doakan semoga bertemu.
Dan bertemu dalam keadaan yang paling baik dan
paling barakah. Jika dia tidak jodohmu, semoga kau
dianugerai jodoh yang lebih baik dalam segalanya dari
wanita itu."
Zul diam saja di tempatnya. Ia tidak membantah,
juga tidak mengiyakan. Tapi ia mendengarkan dengan
seksama. Pak Muslim jarang sekali bicara serius seperti
ini. Jika Pak Muslim bicara seperti ini artinya masalah
yang terjadi memang sudah parah.
Pak Muslim mengambil nafas sebentar lalu melanjutkan,
"Saranku yang kedua Zul, jika kau tidak bisa mengikuti
saranku yang pertama, aku sarankan kau untuk mendatangi
wanita itu secara jantan. Dan nikahi dia. Luapkan
seluruh cintamu padanya. Dan hiduplah dalam keluarga
yang sakinah mawaddah wa rahmah. Menikah itu jauh
lebih baik daripada kau hanya memikirkan dia siang malam
sampai sayu seperti mayat hidup.
"Jika kau memilih saran yang kedua ini, aku akan
membantumu semampuku. Aku akan meminjami modal
untuk pernikahanmu semampuku. Aku bersedia
mengantarmu menemui wanita itu, juga bersedia
membantumu menemui keluarganya. Dan jika ini yang
kauambil, aku minta kau jangan berhenti kuliah. Tetaplah
lanjutkan kuliah. Hiduplah sehemat mungkin. Tetaplah
bertahan sampai lulus. Kau harus lebih giatbekerja dan
berusaha. Sebab kau tidak hanya menanggung beban
hidup dirimu sendiri, tapi juga menanggung orang lain.
"Jika saranku yang kedua juga tidak bisa kauikuti,
maka aku punya saran ketiga, yaitu ya terserah kamu.
Hiduplah sesukamu. Terus seperti sekarang juga boleh.
Tapi dengan memohon pengertiannya aku minta kau
meninggalkan rumah ini. Bukan kami tidak sayang dan
tidak menghargai kamu. Sama sekali tidak. Kami
menghargai kamu, dan cara hidupmu. Tapi perlu kamu
ketahui juga, cara hidupmu yang hanya malas-malasan,
banyak melamun dan berangan-agan itu dapat meracuni
kesehatan lingkungan rumah ini. Cara hidupmu yang
mulai tidak memikirkan membayar flat adalah cara
hidup orang yang tidak bertanggung jawab. Itu dapat
merusak rasa saling percaya yang telah tercipta dengan
indah di rumah ini. Jika kau pilih saran yang ketiga ini,
kami akan membantumu mengangkatkan barangbarangmu,
juga akan membantumu menemukan tempat
yang kauanggap cocok bagi cara hidupmu. Kau masih
boleh bermain ke sini, tapi tak bisa tinggal di rumah ini.
"Itulah Zul, tiga saran yang bisa aku sampaikan
kepadamu. Kau bisa memilih salah satunya. Dan kami
tidak keberatan sama sekali yang mana yang kamu pilih.
Tapi jika boleh berharap saya pribadi berharap kaupilih
yang pertama. Maafkan aku jika harus berlaku tegas
padamu. Untuk sebuah kebaikan ketegasan tidak ada
salahnya dilakukan. Dan ini pun terpaksa aku lakukan
setelah melihat perkembanganmu yang tidak juga
menunjukkan ada perbaikan."
Setelah menyampaikan tiga saran itu, bisa juga
disebut tiga opsi untuk Zul, Pak Muslim diam menunggu
reaksi Zul. Keheningan menyelimuti kamar itu sesaat
lamanya. Zul tampak sedang mengolah saran Pak
Muslim yang diseganinya itu. Pak Muslim yang selama
ini sangat baik padanya. Bahkan, ia masih punya hutang
beberapa ratus ringgit kepadanya untuk membeli sepeda
motor butut, dan Pak Muslim tidak pernah menyinggungnyinggung
hal itu sama sekali.
"Begini Pak," Suara Zul memecah keheningan. Pak
Muslim langsung mengangkat mukanya dan menatap
Zul penuh perhatian.
Zul merubah sedikit posisi duduknya lalu menyambung
perkataannya,
"Saya minta maaf dan saya menyesal sekali jika
kelakuan saya selama ini buruk. Dan itu membuat tidak
nyaman rumah ini. Saya akui Pak, saya sedang tidak
stabil. Saya berterima kasih sekali atas kesabaran Pak
Muslim dan teman-teman selama ini. Saya juga berterima
kasih atas saran-saran Pak Muslim. Saya telah menimbang
ketiga saran itu. Terus terang saran yang pertama
saya rasakan akan berat bagi saya. Saya kuatir saya akan
semakin jatuh, semakin tidak bisa menahan perasaan
yang mendera hati ini. Adapun saran yang ketiga, saya
juga berat menerimanya, sebab saya masih tetap ingin
menjadi orang baik dan sukses Pak. Saya bersyukur
bertemu dengan orang seperti Bapak dan teman-teman
yang masih mau mengingatkan dan menasihati. Jika saya
pilih yang ketiga, saya rasa saya akan binasa. Dan jika
saya terus begini, Bapak benar, saya akan binasa.
"Maka saya memilih saran yang kedua Pak. Lebih
baik saya menikah saja dengan gadis itu. Dia masih gadis
Pak. Dan baik hatinya."
Pak Muslim mengangguk-anggukkan kepala.
"Jadi kau benar-benar akan menikahi dia?"
"Iya Pak."
"Kau mantap?"
"Mantap Pak. Toh sudah saatnya saya menikah.
Sekarang atau besok sama saja, saya harus menikah."
"Kau siap dengan segala risikonya?"
"Siap Pak. Mas Yahya sudah memberikan gambaran
yang jelas. Bapak tadi juga menambahkan penjelasan.
Saya harus bagaimana jika menikah?"
"Bagus! Itu baru lelaki! Kalau begitu kau harus
semangat, kau akan menikah Zul! Kau akan jadi suami!
Kau akan jadi kepala rumah tangga! Kau akan jadi ayah!
Ayo semangat!"
"Iya Pak! Saya akan bangkit! Saya akan semangat!"
"Bagus! Kenapa tidak begird sejak dulu-dulu itu Zul,
hah!?"
"Jadi Bapak benar-benar mendukung saya menikahi
dia?"
"Menikah kan baik, kenapa tidak saya dukung.
Sudahlah, kapan kau akan menemui dia, aku akan
menemani kalau perlu. Dan kapan kau akan melamarnya?"
"Bagaimana kalau aku temui dia besok Pak?"
"Bagus semakin cepat semakin bagus! Sekarang kau
harus melihat kembali jadwal-jadwalmu. Harus kautata.
Jadwal kuliahmu. Jadwal kerjamu dan lain sebagainya."
"Iya Pak. Baik!"
"Besok ya berangkat menemui dia?"
"Iya Pak."
"Jam berapa Zul."
"Pagi-pagi saja Pak sebelum jam delapan. Dia biasa
berangkat kerja jam delapan."
"Baik. O ya sebaiknya kau telpon dia dulu. Agar dia
tidak pergi."
"Baik Pak."
Pak Muslim gembira melihat Zul kembali ceria.
Orang jatuh cinta memang begitu. Jika harapan bertemu
dengan yang ia cintai datang ia akan hidup pcnuh
semangat dan harapan. Zul sendiri merasakan matahari
kehidupannya yang selama ini redup kini kembali
bersinar terang.
Zul langsung turun ke bawah mencari wartel. Satu
wartel telah buka, ia langsung menghubungi nomor Mari.
Berulang kali nomor itu ia hubungi namun tidak bisa
nyambung. Ia agak kecewa. Ia kuatir Mari ganti nomor.
Ia juga menyesal kenapa selama ini ia ragu-ragu dan
gamang setiap kali mau menghubungi nomor Mari. Tiga
bulan lebih, sejak kejadian percobaan pemerkosaan di
rumah Mari itu, ia tidak berhubungan dengan Mari. Ia
kuatir Mari telah pindah rumah. Tapi ia yakin Mari akan
mudah dicari. Jika pun pindah rumah, teman-teman Mari
pasti masih ada yang tinggal di situ.
Sorenya Zul kembali mencoba mengontak nomor
Mari, tapi tidak berhasil juga. Berkali-kali operator seluler
menjelaskan nomor itu sedang tidak aktif. Zul kembali
ke flat dengan hati kecewa. Namun Zul tetap bersemangat
besok pagi berangkat ke Subang Jaya untuk
menemui Mari dan mengungkapkan isi hatinya. Temanteman
satu rumahnya mendukung langkah yang akan
diambil Zul. Rizal bahkan siap membantu mencarikan
rumah yang harga sewanya murah untuk pasangan
keluarga. Yahya menyemangati Zul untuk bangkit dan
tidak kehilangan semangat.
Malam itu, untuk pertama kalinya Zul tidur dengan
dada terasa lapang. Dan malam terasa segar dan ringan.
Tidak seperti malam-malam sebelumnya yang ia rasakan
terasa sumpek dan berat. Terbitnya harapan yang terang
dalam hati membuat hidup terasa ringan dan menyenangkan.
* * *
Pagi itu ia telah bangun sebelum azan Subuh
berkumandang. Mengetahui hal itu Pak Muslim sangat
bahagia. Zul agaknya mulai mendapatkan kembali
nyawanya. Selesai shalat Subuh Zul dan Pak Muslim
langsung meluncur dengan KTM ke KL Sentral. Dari KL
Sentral mereka naik bus Rapid KL ke Subang Jaya.
Jam tangan Pak Muslim menunjukkan pukul 07.25
ketika mereka turun dari bus dan memasuki kawasan
perumahan
Taman Subang Permai. Hati Zul berdegup kencang
ketika ia merasa semakin dekat dengan rumah Mari.
Sepuluh menit kemudian mereka telah sampai di
depan rumah Mari. Zul agak terkejut. Rumah itu sepi.
Dan di pintu rumah serta di pagar gerbang rumah itu
ada kain kuning yang terbentang bertuliskan: For Sale/
For Rent. Dan ada nomor telpon di bawahnya.
"Ini rumahnya Zul?"
"Iya Pak."
"Kauyakin."
"Tak mungkin salah Pak. Itu nomornya 8A."
"Berarti mereka telah pindah. Dan mungkin telah
lama. Kaubaca kan rumah itu ditawarkan untuk dijual
atau disewa."
"Iya Pak, terus bagaimana ini Pak?" kata Zul
murung.
"Kau masih bersemangat untuk mencarinya?"
"Tentu Pak. Sampai ke ujung dunia pun kalau perlu."
"Wah kau ini, jawabanmu itu kayak lakon di film
saja."
"Tapi aku harus menemukan dia Pak?"
"Gampang. Coba kita tanya tetangga sebelah. Siapa
tahu mereka tahu ke mana pindahnya Siti Martini dan
teman-temannya."
"Iya Pak."
Mereka berdua lalu bertanya pada tetangga sebelah
kanan rumah itu. Yang mereka tanya seorang wanita
Melayu setengah baya yang sedang menggendong anak
kecil. Ketika Pak Muslim menanyakan perihal Siti Martini
dan teman-temannya yang pernah tinggal di rumah No.
8A, wanita itu menatap penuh curiga. Pak Muslim
menangkap kecurigaan wanita itu. la menegaskan
bahwa dirinya bermaksud baik, tidak ada maksud jahat.
Wanita itu malah masuk ke dalam rumah tanpa berkata
apapun. Pak Muslim merasa ada yang tidak beres. Dua
menit kemudian wanita itu keluar sambil membawa
koran. la berikan koran itu pada Pak Muslim.
"Sila Encik bace berita itu baik-baik!" kata wanita itu.
Pak Muslim membaca berita di koran yang ditunjukkan
oleh wanita itu. Pak Muslim membaca dengan
seksama dengan wajah dingin. Zul yang berdiri di
sampingnya turut membaca. Baru membaca tiga baris
Zul langsut berkata setengah teriak,
"Tidak mungkin! Tidak mungkin ini terjadi!"
Wanita itu memperhatikan Zul dengan wajah heran
bercampur curiga.
Pak Muslim menuntaskan bacaannya sampai akhir.
"Tenang Zul, ini baca dulu sampai akhir baru kita
pikir dengan jernih," kata Pak Muslim tenang.
Dan dengan mata berkaca-kaca Zul membaca berita
yang membuat hatinya remuk redam. Dengan jelas ia
membaca nama inisial Siti M yang turut ditangkap pihak
polis. Selesai membaca berita di koran itu airmatanya
meleleh. Dengan suara lirih tertahan ia berkata pada
dirinya sendiri,
"Sia-sia aku menolongnya. Sia-sia aku mencintainya."
Pak Muslim menukas pelan, "Tenang Zul. Sabar!"
"Seminggu yang lalu polis menangkap mereke.
Mereke semua penghuni rumah itu. Mereke semua
perempuan lacur. Mereke menjadikan rumah itu markas
pelacuran. Sekarang mungkin sedang dibui. Kalau boleh
tahu Encik berdua ini ada hubungan apa dengan mereke
berdua ya?"
Pertanyaan wanita muda itu membuat Pak Muslim
agak tergagap. Ia sempat bingung menjawabnya. Tapi
spontan ia menjawab,
"Dia ini adiknya, salah satu kakaknya ada yang
tinggal di rumah itu. Dia ingin mengetahui keadaan
kakaknya."
"Aduh kasihan. Kakak awak sekarang di dalam bui.
Ya tapi begitulah semestinya balasan untuk pelacur,
perusak moral masyarakat."
Hati Zul semakin perih. Ia mengajak Pak Muslim
segera pergi meninggalkan tempat itu. Matahari harapan
yang sempat bersinar di dalam hatinya kini sama sekali
padam. Pak Muslim mengerti dengan kesedihan Zul.
Beliau membesarkan hati Zul dengan berkata,
"Ini skenario Allah yang terbaik Zul. Kau jangan
malah lemah. Kau justru harus kuat. Sekarang fokuskan
untuk belajar. Percayalah Allah akan memberimu ganti
yang lebih baik. Percayalah!"
"Iya Pak, insya Allah ini jadi pelajaran sangat
berharga bagi saya. Doakan saya ya Pak. Dan jangan
bosan menasihati dan membimbing saya." Jawab Zul
sambil menyeka airmatanya yang meleleh di pipinya.
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar