Rabu, 22 Oktober 2014

Mahkota Cinta oleh Habiburrahman El Shirazy (Bag.X)

Sudah sepuluh jam Zul di Perpustakaan AkademiPengajian Islam Universiti Malaya. Sejak jam delapan
pagi sampai jam lima sore. Matanya terasa berat.
Kepalanya seperti berdenyut. Inilah hari kelima ia
memenjarakan diri di perpustakaan. Empat hari
sebelumnya di Perpustakaan Fakulti Pendidikan.
Hari ini ia berada di Perpustakaan Akademi Pengajian
Islam untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan kecil
penulisan ayat dan hadis. Ia menulis tentang pendidikan
pesantren dan dampaknya terhadap kedewasaan berpikir
masyarakat Indonesia. la menyempitkan wilayah
kajiannya pada pesantren-pesantren di Pati. la sudah
bertekad tesisnya harus selesai ia perbaiki dalam satu
minggu. Para guru besar yang menilai tesisnya memberi
catatan agar ia memperbaiki tesisnya dalam waktu satu
bulan.

Perpustakaan Akademi Pengajian Islam itu telah sepi.
Di lantai dua hanya tinggal dirinya saja. Petugas
perpustakaan telah mengumumkan dua puluh menit lagi
perpustakaan tutup. Zul berdiri sejenak. Ia menggerakkan
tubuhnya dengan memutar kedua tangan ke
kiri dan ke kanan. Kepalanya ia jatuhkan ke kiri dan ke
kanan. Setelah itu ia merapikan buku-buku yang baru
saja ia baca. Kertas-kertas berisi catatan-catatan penting
untuk memperbaiki tesisnya ia periksa sesaat. Lalu ia
masukkan ke dalam map plastiknya. Setelah merasa tidak
ada yang ganjil ia turun ke bawah.

Di bawah, keadaan sudah sepi. Yang ada adalah
petugas perpustakaan empat orang dan dua orang gadis
melayu yang juga sedang berkemas dan siap pergi. Che
Mazlan, petugas perpustakaan paling ramah menyapanya
dengan tersenyum,

"Sudah ketemu semua yang dicari Ustadz?"

Karena memakai kopiah putih Zul dipanggil Ustadz.
Ia hanya menjawab dengan senyum dan menganggukkan
kepala dengan ramah. Kepalanya mulai terasa pening. Ia
berjalan ke tempat meletakkan tas. Mengambil tasnya.

Memasukkan map plastiknya ke dalam tas. Dan
melangkah keluar. Ia lihat jam tangannya.

"Ashar baru mau masuk."

la merasa harus segera mengisi perutnya yang sejak
pagi hanya terisi sepotong roti canai dan segelas air putih.
Ia bergegas turun ke tempat parkir. Sepeda motor tuanya
begitu setia menunggunya. la ambil helm. Dan beberapa
jurus kemudian dengan pelan namun pasti Honda butut
itu membawanya meluncur ke kanlin kolej.

Sore itu kantin kolej padat pengunjung. Kantin yang
dikenal paling murah di seluruh kawasan Univesiti Malaya
itu begitu hidup. Padat bergairah, namun tetap rapi dan
bersih. Ada lima belas cafe dan kedai. Sore itu semua buka.
Bisa dipastikan sembilan puluh sembilan persen
Pengunjungnya adalah mahasiswa. Termasuk dirinya. la memilih
SR Cafe, atau Sila Rasa Cafe. la ambil nasi, sayur kangkung,
ayam goreng dan sambal. Seorang penjaga SR Cafe
berkerudung coklat muda bertanya, "Minum apa Dik?"

"Teh O panas Kak." Jawabnya sambil meletakkan
piringnya yang penuh nasi dan lauk. la memang
mengambil nasi dengan porsi banyak. Sebab ia merasa
sangat lapar. Sepuluh jam duduk serius di perpustakaan
telah membuat tenaganya terasa terkuras habis.
"Berapa Kak? Tambah minum Teh O panas,"
tanyanya pada kasir.

"Empat ringgit dua puluh sen."

Ia keluarkan lima ringgit. Lalu kasir berwajah bulat
berkerudung putih itu memberinya uang kembali. Tiga
keping uang logam. Lima puluh sen, dua puluh sen, dan
sepuluh sen. Total delapan puluh sen.


Zul melangkah mencari tempat yang kosong. Ia
lemparkan pandangan matanya ke segenap arah.
Hampir semuanya terisi. Di pojok sebelah kanan tampak
sepasang mahasiswa China meninggalkan tempatnya.
Ia segera bergegas ke sana. Ia melangkah cepat. Jika tidak
ia kuatir akan didahului orang lain. Piring bekas makan
mahasiswa China ia singkirkan dengan tangan kiri.
Sementara tangan kanannya masih memegang piringnya.
Seorang petugas kantin agaknya tahu ketidaknyamanannya.
Petugas itu dengan sigap langsung membersihkan
meja itu. Ia letakkan tasnya di atas meja, lalu
piringnya. Meja berwarna putih itu dikelilingi empat kursi
alumunium. Ketika hendak menyantap ia teringatbelum
mengambil minumannya. Ia kembali ke SR Cafe dan
mengambil Teh O-nya. Mejanya masih utuh, belum ada
yang menempati.

Zul mulai makan dengan lahap. Ia merasakan
kenikmatan luar biasa.

"Hmm benar kata pepatah China, rasa lapar adalah
koki paling hebat di dunia." Lirihnya pada diri sendiri.

Sesekali ia melongokkan kepala memandang ke kiri dan
ke kanan. Melemparkan pandangan kalau-kalau ada
mahasiswa Indonesia yang ia kenal. Namun ia rasa agak
aneh, sore itu dari sekian pengunjung tidak ada satu pun
mahasiswa Indonesia yang ia kenal. Bahkan si Edy, si
Gugun, si Rizal dan si Emil yang biasanya ada di kantin
Kolej 12 pada jam seperti itu pun tidak ada.

Ia terus makan. Seorang mahasiswi berwajah India
hendak minta ijin untuk
duduk di depannya. Tampaknya
mahasiswi itu agak ragu. Mahasiswi itu tidak jadi duduk
satu meja dengannya. Mahasiswi itu memilih mencari
tempat yang lain.

Sambil makan ia tenggelam dalam lamunannya. Ia
melamun tentang masa depannya. Selesai master ia harus
bagaimana? Langsung pulang ke Indonesia dan mencari
peluang kerja atau usaha, ataukah langsung saja
melanjutkan studi mengambil program doktor? Kalau
pulang ke Indonesia, di mana ia akan pulang? Ke tempat
siapa? Ia merasa sudah tidak memiliki siapa-siapa. Sejak

kecil ia tidak melihat ayah dan ibunya.

Menurut cerita Pakdenya, ibunya yang bodoh
adalah korban penipuan. Ibunya kerja di sebuah pabrik
di Semarang. Di tempat kerjanya ia kenal dengan
seorang lelaki. Lelaki itu mengaku dari Lampung. Ibunya
terpikat oleh penampilan dan mulut manis lelaki itu.
Ibunya ikut saja ketika lelaki itu mengajaknya menikah
secara siri. Asal sah menurut syariat tapi belum dicatat
secara resmi di KUA. Pakdenya sebagai wali satu-satunya
tidak menyetujui. Pakdenya menginginkan kalau
menikah ya menikah serius. Diumumkan terangterangan
dan dicatat secara resmi di KUA. Namun lelaki
itu beralasan, keluarga besarnya harus datang ke Demak
jika nikah besar-besaran. Dan ia masih harus mengumpulkan
biaya unruk itu. Nikah siri adalah solusi agar
hubungan dua insan itu halal.

Ibunya yang sudah cinta mati pada lelaki itu
mendukung nikah siri. Ibunya bahkan mengancam akan
bunuh diri jika Pakdenya tidak merestui. Akhirnya
Pakdenya terpaksa menikahkan ibunya dengan lelaki itu
secara siri. Lelaki itu hidup satu rumah dengan ibunya
selama dua bulan. Setelah itu ia pamit pergi ke Lampung
untuk menjenguk keluarganya. Dan ternyata tidak
kembali. Padahal saat itu ibunya tengah hamil. Pakdenya
mencoba mencari lelaki itu di Lampung. Di alamat yang
ada di KTP yang ditinggalkan di Lampung. Ternyata
alamatnya fiktif. Ibunya stres. Kesehatannya menurun.
Dan meninggal saat melahirkan dirinya.

Sejak itu ia ikut Pakdenya. Pakdenyalah yang ia
sebut dengan panggilan ayah. Ia bahkan tidak tahu nama
ayahnya. Ketika ia tanya sama Pakdenya nama ayahnya,
Pakdenya memberikan KTP yang ditinggalkan ayahnya.
Disitu tertulis sebuah nama. Tapi Pakdenya yakin nama
itu pun fiktif, alias samaran. Ia merasa tidak punya ayah.
Namun ia merasa sedikit tenang bahwa ia terlahir dari
hubungan yang halal. Dengan menikah. Meskipun
ayahnya menikahi ibunya dengan menipu.

Dengan tidak mengenal ayahnya sejak kecil ia
merasa bahagia karena tidak mendapatkan didikan
untuk menipu. Sejak kecil ia dididik oleh Pakdenya untuk
jujur dan bertanggung jawab.
Selama ini yang ia anggap sebagai keluarga ya
Pakdenya. Tapi Pakde yang bertalian darah dengannya
sudah meninggal. Pakde yang telah ia anggap sebagai
ayahnya sendiri itu telah tiada. Sebenarnya ia telah
menganggap Budenya adalah ibunya sendiri. Namun
setelah Budenya itu menikah lagi, ia merasa menjadi asing
dan tidak enak jika ke rumah Budenya. Apalagi Budenya
sudah tidak lagi menempati rumah yang dulu, tapi kini
telah pindah ke rumah suaminya yang baru. Pindah
bersama seluruh anak-anaknya. Rumah Budenya yang
lama, tempat di mana ia menghabiskan masa kecilnya ia
dengar telah dijual. Jika ia hendak pulang ke Indonesia ia
mau pulang ke mana? Ia merasa tidak punya siapa-siapa.

Dan jika ia terus lanjut program Ph.D, apakah ia akan
hidup dengan cara seperti ini terus. Hidup dengan cara
sapi perah. Hidup di Kuala Lumpur dengan tanpa
mengenal istirahat. Hidup untuk bekerja sambil belajar.

Itu yang ia rasakan. Jujur saja. Bisa saja ia mengatakan
ia bekerja untuk hidup dan bekerja untuk belajar. Tapi ia
merasa sepertinya telah diatur oleh waktu untuk bangun
pagi, lari ke sana, lari ke sini. Bekerja di sana. Bekerja di
sini. Waktu seolah telah memprogramnya begitu, agar
ia bisa bertahan hidup. Seolah jika ia menyalahi program
waktu itu, hidupnya terancam. Ia terancam tidak bisa
membayar sewa rumah, terancam tidak bisa makan,
terancam tidak bisa membayar uang kuliah, dan
terancam tidak bisa menata hidup lebih layak di masa
depan. Ia selalu berusaha menyembuhkan kelelahannya
dengan menghibur diri: inilah proses merubah takdir.
Kata-kata yang selalu ia gumamkan saat didera
keletihan itulah yang menguatkannya. Ia merasa sejak
kecil ditakdirkan untuk menderita. Namun ia merasa
Allah tetap menyayanginya. Ia yakin Allah telah
menyiapkan banyak jalan dan sebab untuk merubah
takdir. Ia yakin dengan usaha yang gigih Allah akan
merubah takdirnya. Itulah yang menguatkan dirinya.
Namun seringkali ia berpikir, apakah dirinya telah tepat
mengambil jalan dan sebab dalam mengubah takdir.

Sejak lulus SMA di Sayung Demak, ia telah berusaha
keras. Merantau ke Semarang, membanting tulang di
Semarang. Sambil bekerja apa saja di Semarang ia
berusaha tetap kuliah. Akhirnya selesai juga S.l-nya. Ia
meraih gelar S.Pd. dari IKIP PGRI. Namun meraih gelar
S.Pd. ia rasakan belum juga merubah nasibnya. Ia tetap
harus bekerja sebagai penjaga parkir di Pasar Johar jika
ingin tetap bisa makan. Ia bekerja bersama mereka yang
bahkan hanya lulus SD. Ia bahkan sering dijadikan
bahan olok-olokan oleh teman-temannya, "Kalau hanya
jadi tukang parkir ngapain kuliah sampai sarjana."
Ya ia sarjana, tetapi bosnya hanyalah lulusan SD.

Ia lalu berpikir untuk hijrah. Pindah. Mencoba
peruntungan baru. Hijrah dari satu takdir ke takdir yang
ia anggap lebih baik. Ia nekat ke Jakarta.Di Jakarta ia
merasa tidak mendapatkan apa yang ia cari. Sama saja.
Ia masih tetap menjadi buruh kasar. Ia merasa tak ada
gunanya ia kuliah. Hanya empat bulan ia bertahan di
Jakarta. Ia lalu nekat merantau ke Batam. Banyak yang
bercerita Batam adalah cara cepat merubah nasib. Di
Batam banyak pekerjaan dan banyak uang. Di Batam ia
merasa menemukan takdir yang tak jauh berbeda.

Namun ia merasa harus bersyukur, di Batam ia bertemu
dengan seorang sosok yang tulus. Namanya Pak Hasan.
Dialah orang yang mengarahkannya merantau ke negeri
Jiran ini dan menyemangatinya untuk menuntut ilmu
yang lebih tinggi.

"Kamu masih muda, seberangilah lautan ini. Dan
tuntutlah ilmu ke jenjang yang lebih tinggi di sana.
Hanya dengan ilmulah seseorang akan lebih mudah
memperbaiki nasibnya. Jangan kuatir, Allah akan
membukakan pintu rahmat-Nya untukmu. Di sana, asal
adik gigih dan terus ingat Allah, kamu akan tetap survive.
Percayalah kamu akan sukses. Percayalah dengan ilmu
derajatmu akan diangkat oleh Allah! Dan dalam setiap
langkahmu, berpegangteguhlah kamu pada Al-Quran,
niscaya kamu akan sukses!" Begit kata Pak Hasan
padanya waktu itu, seraya memberikan mushaf kecil Al-
Quran.

Ia merasa tak boleh berhenti untuk merubah nasib.
Ia harus terus berusaha. Dan dengan modal seadanya,
dengan nekat yang disertai sebuah tekad ia merantau ke
negeri Jiran ini. Dengan berdarah-darah ia akhirnya bisa
tetap hidup dan bisa kuliah pascasarjana. Dan kini ia
sudah diambang pintu kelulusan. Tak lama lagi ia akan
menyandang gelar M.Ed, atau Master of Education
dalam bidang Sosiologi Pendidikan. Gelar yang keren.
Di desanya, ia mungkin satu-satunya orang yang meraih
gelar M.Ed, dari sebuah universitas terkemuka di luar
negeri. Menyadari kenyataan itu bukannya ia bangga,
justru dadanya kini sesak.

Ia memang bahagia lantaran ia akan segera lulus S.2.
Keseriusannya memfokuskan diri pada kuliah dan
kerja—usai membaca berita tentang penangkapan Siti
Martini dan kawan-kawannya—telah menampakkan
hasil. Ia hanya perlu waktu empat semester saja untuk
menyelesaikan S.2-nya. Satu bulan lagi, begitu tesisnya
ia perbaiki bisa dikatakan ia telah berhasil meraih gelar
master.

Namun ia merasa ada yang menyesak di dadanya.
Ia merasa masih juga hidup dengan cara bertahan dengan
kekuatan otot. Ilmu Sosiologi Pendidikannya ia rasakan
belum juga bermanfaat baginya. Yang paling akrab
dengannya masih juga kerja-kerja yang mengandalkan
otot. Belum kerja profesional yang mengandalkan otak.
Jika ia hitung, rata-rata ia harus bekerja dua belas jam
setiap hari. Dan ia harus menempuh jarak tak kurang
dari dua puluh kilo setiap hari. Selesai kuliah setiap
malam ia harus tiba di Jamaliah Cafe tepat jam sembilan
malam dan pulang jam dua malam. Di antara sekian
pelayan restoran hanya dia seorang yang calon master.

Rata-rata mereka hanya tamat SMA. Sedangkan sang
pemilik restoran hanya lulusan D2 dari sebuah institut
tidak terkenal di Shah Alam.

Ia bertanya pada diri sendiri, apakah jika ia
melanjutkan Program Ph.D., ia juga akan tetap seperti
ini. Bertahan dengan cara seperti ini. Bahkan ketika telah
meraih gelar Ph.D. juga akan tetap bertahan hidup
dengan cara seperti ini. Dan jika ia pulang ke Indonesia
dengan gelar doktor, akankah ia tetap akan bekerja
sebagai kuli panggul di pabrik atau kerja otot lainnya?

Atau, ia justru akan masuk dalam daftar panjang
para pengangguran yang hidup tak mau mati pun
segan? Ia teringat kata-kata Doktor Nyatman, salah satu
putra terbaik Indonesia yang kini bekerja di sebuah
perusahaan farmasi di Selangor,

"Di Indonesia, doktor yang menganggur sudah mulai
banyak. Bahkan doktor yang memiliki kualifikasi
keilmuan yang hebat sekalipun. Banyak putera bangsa
yang berprestasi, bisa menyelesaikan doktor dan
memiliki prestasi gemilang bertaraf internasional tapi
sama sekali tidak diapresiasi di Tanah Air. Saya punya
kenalan seorang doktor lulusan Jepang yang cemerlang
dan mendapat banyak penghargaan internasional atas
riset-risetnya yang brilian, namun sama sekali tidak
dihargai di Indonesia. la melamar ke pelbagai universitas
negeri di Indonesia dan tak ada satu pun yang menerima.
Di Indonesia penjilat dan penjahat lebih dihargai daripada
ilmuwan dan pahlawan."

Ada nada marah dan pesimis dalam kata-kata Doktor
Nyatman. la merasakan Doktor Nyatman seolah-olah
menjaga jarak dari Indonesia. Bahkan seolah-olah sudah
merasa bukan lagi orang Indonesia. la mengatakan orang
Indonesia dengan sebutan "mereka", dan menyebut
pemerintah Indonesia dengan sebutan "pemerintah
mereka", bukan pemerintah kita. Karena ia hidup di
Malaysia, apakah ia merasa lebih nyaman menjadi orang
Malaysia dan tidak lagi merasa menjadi orang Indonesia?
Ataukah ia sudah malu menjadi orang Indonesia? Kenapa
Doktor Nyatman menyampaikan itu semua kepadanya?
Apakah supaya dirinya takut hidup di Indonesia?

Ataukah supaya dirinya benar-benar siap menghadapi
beratnya tantangan hidup di Indonesia? Atau bukan itu
semua, tapi hanya sebuah ungkapan kejengkelan seorang
putra bangsa yang disia-siakan oleh bangsanya sendiri,
sampai ia harus mengais sesuap nasi di negeri orang.
Padahal gelar doktor dari Jerman telah ia sandang.
Jawabnya: Allahu a'lam.

Yang jelas ia sedang berpikir keras, bagaimana takdir
hidupnya segera cepat berubah. Ia merasa sudah terlalu
lama ia bersabar mati-matian berproses untuk membuka
lembaran hidup yang lebih baik. Yang ia pikirkan apakah
ia salah mengambil sebab dan jalan yang disiapkan
Tuhan? Kenapa ada orang yang hanya cukup bekerja
empat jam saja, di dalam tempat yang nyaman pula, dan
hajat hidupnya tercukupi semua. Bahkan berlebih dan
bisa membantu dan menolong sesama. Bangun pagi
tersenyum, siang tersenyum, malam tersenyum dan tidur
pun tersenyum.

Kenapa ada negara yang benar-benar mandiri, bisa
memakmurkan rakyatnya dan menjaga kehormatan
bangsanya di mata dunia? Negara itu kecil, tidak memiliki
kekayaan alam apa-apa. Tapi ia bisa mengendalikan
negara sekitarnya bahkan memanfaatkannya. Sementara
itu di sisi lain, ia lihat sendiri—bahkan ia mengalami
sendiri—ada orang yang nyaris hidupnya ia gunakan
untuk bekerja. Ia bekerja nyaris dua puluh empat jam
penuh, namun ia tetap juga sengsara. Hidupnya nyaris
tak pernah bahagia. Padahal ia ulet luar biasa.

Ah, ia jadi teringat para petani di desanya. Ia teringat
Kang Darsuki. Betapa luar biasa etos kerjanya. Ia selalu
bangun jam tiga pagi, jauh sebelum Subuh. Membantu
menyiapkan dagangan sang isteri untuk dijual ke pasar.
Saat Subuh tiba ia dan isterinya telah berada di pasar. Ia
shalat Subuh di pasar. Lalu bergegas pulang, sementara
sang isteri berjualan hasil ladang di pasar. Setelah
mengurus anaknya yang masih SD, ia langsung ke
sawah. Ia biasanya bekerja di sawah sampai jam setengah
lima sore. Malam harinya ia gunakan untuk bekerja
membuat kursi. Selain sebagai petani ia juga dikenal
sebagai seorang pembuat kursi. Namun sampai ia
meninggal dunia karena penyakit typus akut, rumahnya
masih berdinding bambu dan beratap seng bekas. Dan
belum memiliki kamar mandi dan WC yang layak.
Di mana letak salahnya?

Kenapa petani Indonesia seolah harus terus miskin,
sementara petani dari negeri Jiran saja bisa makmur dan
menyekolahkan anaknya ke London? la lalu teringat
pada dirinya sendiri. Kenapa ia yang sebentar lagi selesai
master masih saja menggantungkan hidup dari mencuci
piring di cafe dan restoran, sementara temannya dari
Pahang yang juga calon master sudah memiliki dua
perusahaan, dan satu kebun kelapa sawit seluas seribu
hektar di Sumatera. Ya di Sumatera, Indonesia. Bukan
di Melaka Malaysia.

* * *

"Maaf Bang, boleh saya duduk kat sini?" Suara
seorang perempuan membuyarkan lamunannya. Ia
memandang ke arah suara. Seorang gadis Melayu berdiri
di depannya. Tangan kanannya memegang piring berisi
makanan dan tangan kirinya memegang gelas berisi
minuman berwarna cokelat. Bisa susu cokelat atau Milo.
Bisa juga teh tarik.

"Em...silakan." Jawabnya sambil mengambil tasnya
dari atas meja dan meletakkannya di atas kursi yang ada
di samping kanannya.

Gadis itu langsung meletakkan piring dan gelasnya
di atas meja. Gadis itu tidak membawa tas. Dengan
gerakan yang lembut gadis itu duduk lalu makan. Gadis
itu makan dengan menunduk. Ia tidak mempedulikan
sama sekali gadis di hadapannya itu. Ia melanjutkan
melahap nasi dan lauk yang masih tersisa di piringnya.
Setelah nasinya habis, ia meneguk teh O panasnya teguk
demi teguk. Ia merasakan kehangatan menjalar ke
seluruh tubuhnya. Kehangatan itu juga mengaliri syarafsyaraf
kepalanya. Dan perlahan rasa peningnya
memudar dan hilang.

Tanpa terelakkan ia sempat juga memperhatikan
gadis di depannya, yang sedang lahap makan. Gadis itu
memiliki tahi lalat di dagu sebelah kiri. Paras wajahnya
memancarkan pesona khas gadis Melayu. Baju kebaya
panjang berwarna biru muda membalut tubuhnya. Ia
tidak memakai jilbab. Rambutnya tergerai sebahu.
Rambut itu hitam pekat dan berkilau indah.

Zul merasa ada yang janggal dengan cara makan
gadis itu. Gadis itu makan dengan tangan kirinya.
Sementara tangan kanannya ia gunakan untuk memegangi
hand phone yang ia tempelkan ke telinga
kanannya. Bahkan ketika sudah selesai bicara pun gadis
itu tetap makan dengan tangan kiri dan tangan kanannya
dibiarkannya tidak bekerja. Ia merasa harus meluruskan
kejanggalan itu.

"Maaf Dik, boleh saya cakap sesuatu," katanya tegas
pada gadis itu.

Gadis itu menghentikan makan dan memandang ke
arahnya. Gadis itu menganggukkan kepala mengiyakan.

"Adik seorang Muslimah?"

Gadis itu kembali menganggukkan kepala.

"Maaf, ini hanya pelurusan kecil saja. Agar makan
dan minum adik benar-benar barakah, sebaiknya adik
makan dan minum memakai tangan kanan. Tidak
memakai tangan kiri. Itu cara minum yang tidak disukai
Rasulullah Saw. Maaf saya tidak bermaksud apa-apa
kecuali kebaikan."

Muka gadis itu sedikit memerah.

"Terima kasih atas nasihatnya. Tapi kenapa Abang
pedulikan saya? Apa Abang tidak punya urusan yang
lebih penting?"

Agaknya gadis itu tersinggung.

"Sekali lagi maafkan saya Dik, jika ini mengganggu
kenyamanan adik. Saya tidak bermaksud apa-apa.
Hanya entah kenapa saya merasa hati ini tidak bisa diam
setiap kali melihat ada sesuatu yang kurang pas. Sekali
lagi maafkan saya, saya hanya ingin cara makan adik
sesuai dengan sunnah Rasul. Itu saja. Tak ada maksud
lain. Itu pun kalau adik berkenan."

Zul bangkit dari kursinya dan bergegas ke sepeda
motornya yang terparkir tak jauh dari tempat makan.
la sama sekali tidak mempedulikan reaksi gadis itu. Yang
ada dalam benaknya adalah segera sampai rumah.
Istirahat sebentar. Mandi. Menunggu Maghrib. Dan
selepas shalat Maghrib kembali memperbaiki tesisnya.
Malam nanti ia akan kerja lembur untuk tesisnya. la telah
ijin tidak kerja di Cafe Jamalia.

Dengan tenang Zul menaiki motor bututnya, dan
melenggang meninggalkan kantin kolej 12. Ia sama sekali
tidak menyadari bahwa gadis Melayu itu terus memperhatikan
dirinya sampai ia hilang dari pandangan gadis




BERSAMBUNG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar