Selasa, 07 Oktober 2014

Mahkota Cinta oleh Habiburrahman El Shirazy (Bag.VII)

Zul menarik nafas dalam-dalam. Ia masih memejamkan
kedua matanya sambil menyandarkan punggungnya
ke sofa. Inilah untuk kedua kalinya ia bertarung
dengan penjahat. Dan kali ini ia menang. Ia merasa puas
karena bisa memberi ganjaran setimpal pada penjahat
berkepala gundul itu.

Mari masih berada di dalam kamarnya.

Zul kembali menarik nafas. Tiba-tiba ia merasa ada
yang mengalir di ujung mata kanan turun ke pipi. Ia
raba. Darah. Darah itu mengalir dari pelipisnya yang luka.
Namun ia yakin luka itu tidak parah. Paling hanya
sobek beberapa senti saja. Ia merasa itu hanya luka kecil
yang dalam beberapa hari akan sembuh.

Mari keluar dari kamarnya dengan wajah yang lebih
cerah. Pakaiannya rapi. Blues merah muda lengan
panjang dengan bawahan celana kulot merah marun.
Jika diperhatikan dengan sedikit serius penampilannya
tampak anggun. Ia menggelung rambutnya dengan
sederhana. Sehingga tidak lagi awut-awutan. Tampaknya
ia telah membasuh mukanya, dan telah berusaha
menghapus bekas-bekas tangis dari wajahnya. Meskipun
tidak benar-benar berhasil.

Zul masih memejamkan mata sehingga tidak
menyadari ketika Mari keluar dari kamarnya dan
memandangnya beberapa saat lamanya. Posisi Zul
membelakangi pintu kamar Mari. Sehingga Mari tidak
melihat Zul dari depan. Mari mendekat. Dan ketika
melihat wajah Zul ia kaget.

"Zul, kau luka Zul! Kau berdarah Zul, ya Allah ya
Rabbi!" Ucap Mari setengah berteriak.

Zul mengerjapkan matanya. Dan langsung menyahut,

"Ah tidak apa-apa kok Mbak. Cuma luka kecil saja."

"Tapi darahnya sampai mengalir ke dagu begitu.

Harus segera diusap dan dibersihkan. Sebentar Zul."
Mari kembali ke kamarnya. Ia mengambil kapas dan
obat merah.

"Sini Zul biar aku bersihkan dan aku obati!" Kata
Mari lagi sambil membawa kapas dan obat merah.

"Tidak usah Mbak. Sini kapas dan obat merahnya
biar aku obati sendiri. Sekalian aku mau ke kamar kecil."
Sergah Zul.

Mau tidak mau Mari menyerahkan kapas dan obat
merah pada Zul. Saat itu Mari ingin sekali mengusapkan
dan membersihkan darah orang yang telah
membela kehormatannya. Ia rasanya ingin langsung
membalas segala kebaikan Zul. Mari memandangi Zul
yang melangkah ke kamar kecil dengan pandangan
yang susah untuk diartikan. Pandangan merasa
berhutang budi, sayang, kagum, kasihan, juga cinta.
Zul mengusap lukanya dengan kapas. Lalu membasuh
dengan air. Darah dari lukanya mulai berhenti.
Setelah mengeringkan lukanya itu dengan kapas, ia
mengobatinya dengan obat merah. Setelah itu ia
keluar. Mari menunggunya di sofa. Ia duduk tak jauh
dari Mari.

"Harus bagaimana aku berterima kasih padamu
Zul?" Mari mengawali pembicaraan.

"Tak perlu berterima kasih pada saya Mbak. Saya
hanya melakukan apa yang seharusnya saya lakukan.
Itulah kewajiban manusia jika melihat kemungkaran."
Tiba-tiba Mari terisak-isak,

"Kau telah menyelamatkan kehormatanku Zul.

Kalau tadi tidak ada kau, entah apa jadinya diriku saat
ini. Mungkin aku telah bunuh diri Zul!"

"Berterima kasihlah pada Allah Mbak. Allahlah yang
menggerakkan kedua kaki saya untuk bertandang ke
sini pagi ini."
Mari sepertinya tidak mendengar kalimat yang

diucapkan Zul. la menundukkan mata dan
larut dalam
tangisnya. Dadanya dipenuhi rasa haru dan rasa syukur
yang membuncah-buncah. Beberapa saat lamanya
hanya isak tangis Mari yang terdengar. Zul hanya bisa
diam di tempatnya.

"Terima kasih Zul, kau telah menyelamatkan
kehormatan dan kesucianku. Kehormatan yang selama
ini aku jaga mati-matian. Tanpa kehormatan itu aku
merasa akan hidup sia-sia. Aku sangat berhutang budi
padamu."

Mari kembali mengucapkan rasa terima kasih
dengan sepenuh jiwanya pada Zul. Zul bisa merasakan
itu. la hanya bisa menjawab pelan,

"Ingatlah Allah Mbak. Berterima kasihlah pada
Allah."

"Iya Zul, iya. Allah masih menyayangiku Zul. Allah
masih menyayangiku."

"Iya Allah masih menyayangi Mbak. Dan semoga
terus menyayangi Mbak."

"Allahlah yang mengatur kau datang tepat pada
wakrunya."

"Iya Allahlah pengatur kehidupan ini Mbak."

"Aku tak pernah menyangka penjahat itu bisa datang
ke rumah ini. Sungguh aku sama sekali tidak menyangka."
Guman Mari sambil mengangkat muka dan
menghapus airmatanya.

"Bagaimana ceritanya, semua ini bisa terjadi Mbak.
Dan Mbak kok di rumah? Apa Mbak sedang libur?"

"Begini lho Zul ceritanya. Sebenarnya aku tidak
libur. Pagi ini aku mencuci sampai jam delapan. Aku mau
berangkat kerja jam sembilan. Teman-teman sudah
berangkat pukul setengah delapan. Kira-kira jam
sembilan kurang seperempat aku sudah siap untuk
berangkat. Tiba-tiba hujan turun deras sekali. Aku
mencari-cari payung tidak ada. Aku baru ingat kalau
payungku dipinjam sama temanku yang tinggal di
Kelana Jaya. Akhirnya aku telpon ke kantor tempat aku
kerja untuk dijemput. Ternyata tidak ada mobil yang
nganggur. Semuanya sedang dipakai. Tapi pihak kantor
juga bilang, jika ada mobil nganggur akan segera
menjemputku.

"Karena hujan sangat deras, aku diminta tetap di
rumah saja. Jika terpaksa tidak ada mobil, aku diberi ijin
untuk datang setelah Zuhur. Bahkan boleh libur.

Akhirnya aku santai di ruang tamu ini dengan tetap
memakai pakaian yang biasa aku gunakan kerja. Pukul
sepuluh kurang sepuluh menit aku mendengar mobil
menderu. Lalu orang mengetuk pintu. Aku tidak curiga
sedikit pun. Kukira itu adalah orang kantor yang datang
menjemputku.

"Tanpa curiga, aku langsung membuka pinta lebarlebar.
Alangkah terkejutnya diriku ternyata yang datang
adalah si Warkum. Aku hendak menutup pintu kembali,
tapi sudah terlambat. la berhasil menerobos masuk
bahkan langsung mengunci pintu itu. Lalu ia memintaku
untuk menuruti keinginan nafsunya. Jelas aku menolak.
Aku lebih baik mati daripada menyerahkan kehormatanku
padanya. Ia kalap. Amarahnya memuncak.

Pandanganya buas bagaikan serigala liar yang kelaparan.
la berusaha memangsaku. Aku terus melawan sekuat
tenaga. Aku berusaha mempertahankan kehormatanku
sekuat tenaga. Prinsipku lebih baik mati daripada
diperkosa.

"Aku terus melawan. Namun aku adalah seorang
perempuan, tenagaku tak sebanding dengan tenaganya.
Kekuatanku tak mampu menandingi kekuatannya. Aku
nyaris tidakberdaya karena kehabisan tenaga. Dan dia
nyaris mendapatkan apa yang diinginkannya. Tiba-tiba
kau datang.

"Kau datang dan membuat bajingan itu terpelanting.
Awalnya aku kira kau adalah malaikat utusan Tuhan
yang menyambar penjahat itu dengan cemeti mahasaktinya.
Malaikat yang diturunkan Tuhan karena
rintihan doaku di saat paling kritis. Malaikat dalam arti
sebenarnya. Ternyata bukan, yang datang bukan
malaikat tapi manusia. Mahakuasa Allah."

Mari kembali terisak-isak.
Zul diam mematung di tempatnya.

"Dik bagaimana ceritanya kok kau bisa kemari pagi
ini dan bagaimana kau bisa membuka pintu itu? Dengan
apa kau membukanya?"

Zul menarik nafas, lalu dengan tenang menceritakan
kronologisnya bisa sampai di rumah itu. Tentang
keinginannya untuk datang ke rumah itu. Keinginan
yang muncul tiba-tiba pagi itu dan seolah tidak bisa
ditolaknya. la juga bercerita tentang kunci Linda yang
masih di tangannya. Mari mendengarkan cerita Zul
dengan seksama dan dengan mata berkaca-kaca. la
merasakan kasih sayang yang dicurahkan oleh Allah
kepadanya.

"Siapakah yang menghadirkan keinginan untuk
datang kemari itu kalau bukan Allah Mbak? Dan
siapakah yang menghadirkan keberanian dalam dada
ini untuk bertarung dengan penjahat itu kalau bukan
Allah? Dan siapa yang menolong saya memenangkan
pertarungan tadi kalau bukan Allah?"

Airmata Mari kembali meleleh.

Zul diam. Sesaat lamanya ruangan itu diselimuti
kesunyian.

"Tetapi Zul, walau bagaimana pun aku sangat
berhutang budi padamu Zul. Bagaimana aku harus
membalasnya?" Lirih Mari seraya mengangkat muka
memandang wajah Zul. Zul memandang ke arah Mari,
lalu menarik pandangannya ke lantai.

"Sudahlah Mbak. Aku merasa tidak berbuat apa-apa
selainmelakukan kewajibanku sebagai seorang manusia
yang melihat kezaliman di depan mata. Mbak jangan
mengatakan hal seperti itu lagi."

"Kau harus tahu sesuatu Zul. Agar kau tahu betapa
aku sangat berhutang padamu."

"Sesuatu itu apa Mbak?"

"Si W tadi itu, ia datang mengatakan ingin
meminta haknya sebagai seorang suami. Haknya
yang katanya belum pernah aku berikan padanya
setelah dia menikahi aku dan membayar mas kawin
padaku."

"Aku tidak paham maksudnya Mbak."

"Maaf, biar aku perjelas. Pada hari aku menikah
dengannya itu, aku sedang datang bulan. Jadi ia tidak
menjamah kesucianku. Biasanya aku datang bulan lebih
satu minggu. Lha seminggu kemudian, artinya seminggu
setelah akad nikah ia pergi ke Jakarta, dan saat itu aku
masih dalam kondisi datang bulan. Jadi ia sama sekali
belum menjamah kesucianku.

"Seperti yang dulu pernah kuceritakan kepadamu.
Kalau tidak salah aku pernah cerita padamu Zul. Dia pergi
ke Jakarta dengan alasan bisnis. Ternyata beberapa hari
kemudian ia tertangkap dalam kondisi over dosis di sebuah
hotel. Ia masuk penjara. Dan aku kemudian tahu semua
kejahatannya. Saat itu aku mengajukan gugatan cerai.

Tak bisa ditawar lagi, karena aku tidak mau punya suami
seorang penjahat yang kejahatannya benar-benar telah
melampaui batas. Jadi meskipun aku telah menikah
sejatinya kesucianku belum pernah dijamah oleh suamiku.
Dan sampai hari ini mahkota kesucianku belum tersentuh
oleh siapapun. Statusku memang janda, tapi kesucianku
masih utuh. Sumpah demi Allah, Zat Yang Mahatahu.

"Kau harus tahu Zul, selama ini betapa mati-matian
aku menjaga mahkota ini. Betapa mati-matian aku
menjaga iman ini. Godaan, bujuk rayu datang setiap saat.
Alhamdulillah aku kuat. Tiba-tiba si W itu datang mau
merenggut mahkota itu. Dan mahkota kesucian yang
lebih berharga dari nyawaku sendiri itu nyaris ternistakan,
kalau saja kau tidak datang. Inilah Zul sesungguhnya
yang aku alami. Inilah Zul yang kau harus
tahu, kau telah menyelamatkan kesucianku, kegadisanku.
Aku benar-benar berhutang padamu."

Mendengar cerita Mari, hati Zul bergetar. Tanpa ia
sadari airmatanya meleleh. Ada rasa kebahagiaan yang
sangat halus yang menyusup begitu saja ke dalam
hatinya. Rasa bahagia sekaligus rasa bangga karena ia
bisa menyelamatkan kesucian seorang wanita. Ia
berharap apa yang dilakukannya itu dinilai ibadah oleh
Allah. Dan apa yang dilakukannya itu bisa menghapuskan
dosa-dosanya saat ia masih remaja dulu. Ia
kembali teringat saat SMA, saat ia pacaran dengan gadis
tetangga desa. Saat itu ia nyaris melakukan perbuatan
yang menistakan kesucian gadis itu. Untunglah saat itu
tidak terjadi, karena terhalang oleh keadaan yang tidak
memungkinkan. Ia meneteskan airmata, bersyukur
kepada Allah, bahwa kesucian dirinya pun masih belum
ternista.

"Mintalah apa saja padaku Zul, selama itu tidak dosa
dan aku mampu aku akan memenuhinya." Ucap Mari
dengan suara jelas tanpa isak tangis.

'Aku tidak minta apa-apa Mbak. Cukuplah Mbak
terus menjaga diri Mbak, kesucian Mbak, dan Mbak terus
mendekatkan diri kepada Allah serta berusaha menjadi
wanita salehah selamanya, itu akan membuat apa yang
aku lakukan hari ini bermakna dan tidak sia-sia."

"Baik Zul, aku akan berusaha sebisanya. O ya sampai
lupa, aku buatkan minuman ya? Mau minum apa Zul?"

"M...tidak usah repot-repot Mbak."

'Ah tidak repot kok Zul."

Zul melihat jam di dinding. Ia merasa sudah terlalu
lama di rumah itu. Ia teringat bahwa ia harus ke kampus.
Ada janji dengan seorang teman. la bangkit dan
memanggil Mari yang sudah melangkah ke dapur.

"Mbak Mari!"

"Ya." Mari menghentikan langkah dan menoleh.

"Tak usah bikin minum Mbak. Saya harus pamitan.

Saya ada janji dengan seorang teman habis Zuhur."

"Tidak bisa ditunda barang satu dua menit Zul."

"Maaf Mbak. Saya benar-benar harus pamit. O ya

saya hampir lupa saya mau mengambil barang-barang
saya. Dan ini kuncinya Linda."

"Ya sudah kalau begitu. Sebentar saya ambilkan
barang-barangmu."

Mari masuk ke dalam dan mengeluarkan barangbarang
milik Zul dari kamarnya.

"Ini kan Zul? Ada yang lain?"

"Tidak Mbak, itu saja."

Zul mengambil tas jinjing yang berisi kekayaan
pribadinya yang sebenarnya jika dilihat tidaklah terlalu
berharga. Hanya beberapa pakaian, handuk, dan mushaf
kecil Al-Quran pemberian Pak Hasan.

"Aku tidak akan pernah melupakan jasamu ini Zul."

"Ah Mbak, kok bicara seperti itu lagi. Sudah lupakan
saja Mbak, anggap saja saya tidak pernah berjasa apaapa
pada Mbak. Baik, saya pamit dulu ya Mbak. Jaga
diri baik-baik."

Zul melangkah keluar rumah. Mari mengikuti
sampai pintu. Ketika Zul sampai di gerbang, Mari
memanggil namanya.

"Zul!"

Zul menghentikan langkah dan menoleh ke bela
kang. Mari memandanginya lekat-lekat. Zul meman
dang Mari. Wajah Mari tampak pucat dan sayu.

"Ya ada apa Mbak?"

Mari ingin mengatakan sesuatu tapi ia urungkan. la
lalu pura-pura bertanya,

"M..m...kau ada nomor hp Zul?"

"Pakai nomor teman saya yang dulu saya gunakan
SMS Mbak saja. Masih tersimpan kan?"

"Ya baik. Masih tersimpan."

"Ada yang lain Mbak?"

"Zul, aku takut."

"Takut apa? Takut kalau dia datang lagi?"

"Iya."

"Percayalah padaku Mbak, dia tidak akan berani
datang lagi. Dia sudah kapok! Dia menganggap aku ini
juga preman seperti dia. Jari-jari tangan kanan dan kaki
kanannya sudah hancur! Kalau pun berniat datang
mungkin satu bulan lagi, setelah ia sembuh dari
lukanya."

"Tapi aku kuatir dia punya teman."

"Dan dia juga anggapan aku punya teman banyak.
Mbak tidak usah kuatirlah. Kalau Mbak kuatir, kunci
rumah baik-baik. Dan siapkan nomor telpon polisi. Atau
Mbak pindah saja dulu ke rumah teman yang aman.
Maaf Mbak ya saya buru-buru."

"Iya Zul, terima kasih ya."

"Ya. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Mari berdiri memandangi Zul sampai hilang dari
pandangan. Setelah itu ia memandang ke arah langit
yang mulai terang. Hujan telah reda. Gerimis pun sudah
tiada. Mendung mulai pudar. Dan matahari seolah ingin
menyibak awan. Mari berulang kali memuji kekuasaan
Tuhan. Ia lalu masuk rumah. Menutup pintu dengan
rapat. Sayup-sayup, dari surau lirih terdengar suara azan


BERSAMBUNG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar