Rabu, 01 Oktober 2014

Mahkota Cinta oleh Habiburrahman El Shirazy (Bag.IV)

Selesai makan Zul memutuskan untuk jalan-jalan ke
pusat kota. la merasa imannya tidak kuat jika di rumah
itu terus, dan berduaan dengan Linda. la menyadari
dirinya hanyalah pemuda biasa yang masih lemah
imannya. Yang masih sering kalah melawan hawa
nafsunya sendiri. Tingkat ketakwaannya belumlah
sampai pada tingkatan Nabi Yusuf yang mampu
menepis godaan Zulaikha. la merasa setan yang ada
dalam dirinya lebih kuat dari dirinya. Maka ia harus
mengambil tindakan penyelamatan dan waspada. Ia
tidak ingin membuat dirinya celaka. Ia baru sampai di negeri
orang. Mau tinggal di mana saja belum jelas.
Pekerjaan juga belum jelas. Melangkahkan kaki mau ke
mana saja belum jelas. Maka ia tidak mau terjebak dalam
situasi yang mengakibatkan penyesalan. Ia teringat pesan
Mar saat menyebut nama Linda pertama kalinya,

"Linda ini belum bersuami dan cantik. Kau hati-hati
jangan sampai ada apa-apa dengan dia ya. Jangan
membuat masalah di negeri orang. Awas ya, kau harus
jaga iman kalau berhadapan dengannya!"

Tak ada jalan lain baginya kecuali pergi dan menjauh
dari sumber petaka. Api jika tidak bisa dilawan dan
dipadamkan maka jalan selamat adalah lari menjauh dari
api itu. Jika tidak maka api itu akan membakar dan
menghancurkan.

"Maaf Mbak Linda, rasanya saya harus keluar jalanjalan.
Saya ingin melihat-lihat suasana. Bosan di rumah
terus. Nanti malam habis Maghrib mungkin saya datang
lagi. Tas danbarang-barang saya masih di kamar," kata
Zul pada Linda.

"O ya. Hati-hati di jalan. Sudah bawa paspornya?"
sahut Linda
"Sudah. Kalau mau ke pusat kota Kuala Lumpur
naik apa ya?"

"Tadi malam datang pakai apa?"

"Bus "

"Rapid KL ya?"

"Iya."

"Kalau begitu naik saja dari tempat kau tadi malam
turun dan naik bus yang sama."

"Baik. Terima kasih. Salam buat Mbak Mar, Mbak
Iin, dan Mbak Sumiyati."

"Baik. Kalau ada apa-apa bisa telpon kami ya. Sudah
tahu nomor hp saya?"

"Belum."

"Kalau nomor Mbak Mar sudah tahu?"

"Sudah."

"Ya sudah. Itu cukup."

"Sekali lagi terima kasih. Saya pergi dulu."

"Ya, sekali lagi hati-hati di jalan. Jangan sampai tidur
di bus ya," canda Linda.

Zul menjawab dengan senyum lalu beranjak
meninggalkan Linda sendirian. Ia pergi hanya membawa
tas cangklong hitam berisi map dokumen-dokumennya,
sepotong sarung, dan kaos panjang. Itu saja. Ia merasa
mantap. Jika ia bisa menaklukkan Jakarta dan Batam,
maka ia sangat yakin ia pun bisa menaklukkan Kuala
Lumpur. Sepintas ketika ia tiba di Purduraya, ia melihat
suasana terminal bus paling padat di Kuala Lumpur itu
tidak seganas Pulogadung dan Kampung Rambutan
Jakarta. Ia pernah berkelahi dengan preman Pulogadung
dan tetap bisa hidup. Ia juga pernah ditodong preman
Kampung Rambutan dan bisa lolos. Jika ia terpaksa harus
bertemu dengan preman Kuala Lumpur ia merasa tak
perlu gentar. Orang Demak tidak boleh gentar berhadapan
dengan situasi apapun juga.

Dari Subang Jaya ia naik bus Rapid KL ke terminal
KL Sentral. Di KL Sentral ia sempat bingung mau ke
mana. Ia berinisiatif untuk mencoba menghubungi lagi nama
yang diberi oleh Pak Hasan sekali lagi. Setelah
bertanya kepada seorang lelaki India ia menemukan
telpon umum. Dari telpon umum ia menghubungi dan
masuk. Ia sangat berbahagia seperti mendapatkan rejeki
nomplok yang tiada terkira jumlahnya.
"Ini Pak Rusli ya?" tanyanya.

"Iya benar. Ini siape?"

"Saya Zul Pak. Saya mendapat nama dan nomor
Bapak dari Pak Hasan Batam."

"O ya ya. Pak Hasan sehat ya?"

"Alhamdulillah Pak. Bagaimana caranya saya bisa
bertemu Bapak? Saya baru datang tadi malam dan tidak
banyak tahu tentang Kuala Lumpur. Terus terang saya
perlu sedikit bantuan Bapak."

"Sudah menjadi kewajiban saya untuk membantu
Saudara. Adik sekarang di mana?"

"Di KL Sentral Pak."

"Begini saja Dik. Dari KL Sentra adik naik KTM ke
Stesyen Mad Valley. Saya jemput di sana. Baru nanti kira
bicarakan segalanya dengan lebih leluasa."

"Apa tadi Pak, KTM ya?"

"Ya KTM, atau
kereta listrik. Ingat ke Mad Valley! Turun
di Mad Valley. Saya memakai baju koko hijau lumut."
"Baik Pak. Terima kasih."

Tidak sulit baginya untuk naik KTM dan tidak sulit
untuk mencapai Mad Valley. Siang itu, ia merasa
bahagia, sebab disambut dengan hangat oleh Pak Rusli,
yang tak lain adalah seorang murid Pak Hasan saat belajar
di Padang. Pak Hasan pernah mengajar di sebuah
pesantren di Padang sebelum berdakwah di Batam. Pak
Rusli mengajaknya makan siang di restoran Saji Selera
yang letaknya tak jauh dari Mad Valley Plaza.

"Jadi yang mendorong adik ke Kuala Lumpur ini Pak
Hasan?"

"Iya Pak."

"Itu maknanya adik diminta untuk belajar. Menuntut
ilmu. Saya tahu persis siapa Pak Hasan. Tapi adik tidak
akan bisa melanjutkan studi di sini, kalau tidak dengan
bekerja. Dari mana uang untuk membayar kuliah kalau
tidak dicari dengan bekerja? Iya kan?"

"Iya Pak."

"Jangan kuatir. Di sini banyak kok mahasiswa yang
kuliah sambil bekerja. Nanti kau akan aku temukan
dengan mereka. Insya Allah mereka akan banyak
membantu. Terutama berkenaan dengan urusan
pendaftaran di kampus. O ya kaubawa ijazah kan?"

"Bawa Pak."

"Dulu kuliah di mana?"

"Di IKIP PGRI Semarang Pak."

"Jurusan apa?"

"Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia Pak."

"Ya ya ya. Gampang nanti bisa diatur untuk
dicarikan jurusan yang pas. Yang penting kau serius
lanjut kuliah kan?"

"Iya Pak."

"Bagus. Pak Hasan itu sebenarnya mendorongmu
untuk memiliki modal paling mahal untuk sukses dan jaya."


"Apa itu Pak?"

"Ilmu. Hanya orang-orang berilmulah yang akan
diangkat derajatnya oleh Allah. Banyak orang tidak
berilmu kaya, namun derajatnya tidak diangkat oleh
Allah. Tidak sedikit orang kaya yang jadi hina karena
kekayaannya. Sebab ia tidak memiliki ilmu bagaimana
menjadikan kekayaannya sebagai jalan beribadah dan
menggapai kemuliaan. Setelah ini kau akan aku bawa
ke rumah teman-teman mahasiswa. Agar kau kembali
hidup dalam barakah lingkungan para penuntut ilmu."
"Iya Pak."

Berulang kali Zul hanya menjawab: Iya Pak, iya Pak.
Agaknya Pak Rusli memperhatikan jawaban Zul.

"Kamu ini dari tadi kok cuma bilang; Iya Pak, Iya Pak.
Jawa betul kamu ini. Apa tidak ada kata-kata yang lain?"

"Mmm, aduh bagaimana Pak ya?"

"Sudah jangan dipikirkan. Ini hanya gurauan saja.
Ayo kita jalan."

"Iya Pak."

"Lha diulang lagi kan!" Seru Pak Rusli sambil
tersenyum lebar.

Zul langsung meringis. Ia jadi heran sendiri, kenapa
terus mengulang-ulang kata-kata itu pada Pak Rusli.
Namun suasana jadi sangat cair. Sikap Pak Rusli yang
low profile membuatnya seolah sudah lama mengenal
lelaki berumur empat puluhan itu. Padahal belum ada
tiga jam ia bertemu dengannya.

Keluar dari Saji Selera, Pak Rusli membawanya
masuk kampus Universiti Malaya. Zul terkagum-kagum

dengan keindahan dan kerapian kampus perguruan
tinggi tertua di Malaysia itu.

"Universiti ini masuk dalam jajaran 100 perguruan
tinggi terbaik dunia. Kau harus tahu itu. Semoga saja
kau nanti diterima lanjut S.2 di sini. Aku yakin orang
seperti kau akan meraih kecemerlangan di masa yang
akan datang." Ujar Pak Rusli menyemangati.

"Doanya Pak."

"Allah memberkati, insya Allah."

Setelah mengelilingi kampus Universiti Malaya, Pak
Rusli mengajak Zul shalat Ashar di masjid Akademi
Pengajian Islam. Setelah itu langsung memacu mobilnya
ke kawasan Pantai Dalam. Setelah keluar dari kawasan
kampus UM, di sepanjang perjalanan, tepatnya di
samping kiri, Zul melihat rel KTM. Sesekali ia berpapasan
dengan KTM yang melaju ke arah KL Sentral. Sepuluh
menit kemudian Pak Rusli memperlambat laju mobilnya.
Mobil itu memasuki daerah yang terkesan agak kumuh.
Setelah melewati jalan di bawah jembatan layang, mobil
itu belok kanan. Di hadapan Zul tampak apartemen putih
yang tinggi dan kusam.

"Inilah Pantai Dalam, banyak mahasiswa Indonesia
di sini. Kita akan berkunjung ke rumah salah seorang di
an tar a mereka."

Mereka berdua turun dari mobil dan bergegas ke arah
apartemen. Di tengah jalan mereka bertemu dengan anak
muda yang gayanya khas Indonesia.

"Assalamu'alaikum. Geng, mau ke mana?" sapa Pak
Rusli

"Anu Pak mau beli minyak goreng," jawab anak
muda itu.

"Geng, kenalkan ini namanya Zul. Dari Demak. la
baru datang tadi malam," kata Pak Rusli memperkenalkan.

Anak muda itu langsung menyalami Zul sambil
memperkenalkan diri,

"Saya Sugeng, dari Purworejo Jawa Tengah. Selamat
datang di Kuala Lumpur Mas."

"Iya Mas. Terima kasih," jawab Zul.

"Namanya Zul ya? Zul siapa lengkapnya?" tanya
Sugeng lagi.

"Aslinya Ahmad Zul. Tapi teman-teman di SMA
sering memanggil Zul Einstein."

"Zul Einstein. Wah keren juga. Rencana mau masuk
UM?"

"Jika Allah mengijinkan."

"Nanti saya bantu, insya Allah."

"Terima kasih Mas Sugeng."

"Pak Rusli saya jalan dulu ya. Saya cuma sebentar
kok. Langsung ke rumah saja Pak. Di rumah ada si Arif
sama si Yahya," terang Sugeng.

"Baik Geng. Jangan lupa beli yang segar-segar ya,"
tukas Pak Rusli renyah.

"Beres Pak. O ya Pak jangan lupa lagi. Lantai sepuluh
Iho. Bukan lantai sembilan."

"O ya terima kasih. Namanya juga sudah tua sering
lupa. Ayo Zul kita jalan."

Pak Rusli dan Zul berjalan melewati samping
apartemen menuju apartemen berikutnya. Lalu masuk
lift yang mengantarkan mereka berdua sampai lantai
sepuluh. Keluar dari lift mereka berjalan ke arah kanan.
Di pintu flat tempat tinggal Sugeng dan teman-temannya
itu ada sriker bendera merah putih. Di bawahnya ada
tulisan: "Rawe-rawe rantas, malang-malang putung!"
Menandakan bahwa mayoritas penghuninya adalah
orang Indonesia dari Jawa.

Pak Rusli mengetuk pintu dan dibukakan oleh seorang
pemuda gempal berambut tipis. la hanya memakai sarung
dan kaos putih. Pemuda itu menyambut dengan senyum.

"O Pak Rusli. Silakan Pak."

Pak Rusli dan Zul masuk. Pemuda itu memperkenalkan
diri pada Zul. Namanya Yahya. Ia berasal dari Malang.
"Tesisnya bagaimana, Ya. Sudah selesai?" tanya Pak
Rusli.

"Alhamdulillah sudah Pak. Minggu depan submit,
insya Allah," jawab Yahya dengan wajah cerah.

"Langsung lanjut Ph.D., Ya?"

"Insya Allah Pak, tapi saya mesti laporan ke pihak
UIN Malang dulu. Semoga saja diijinkan untuk langsung
lanjut Ph.D. Doanya."

"Allah memudahkan insya Allah."

Akhirnya Zul tahu bahwa Yahya dulu kuliah di
Pakistan jurusan sejarah dan peradaban. Sepulang dari
Pakistan ia diterima jadi dosen di UIN Malang. Lalu
melanjutkan S.2 di UM, dan sebentar lagi selesai. Setelah
itu akan langsung melanjutkan S.3.

la juga tahu flat itu terdiri atas tiga kamar. Dua
kamar mandi. Dapur. Dan ruang tamu. Yang tinggal di
situ lima orang; Sugeng, Yahya, Arif, Rizal, dan Pak
Muslim. Yahya dan Pak Muslim sudah menikah.

Sedangkan yang lainnya masih bujang. Sewa flat itu
enam ratus ringgit per bulan, atau sekitar satu juta enam
ratus ribu per bulan. Baginya itu sangat mahal. Enam
ratus ringgit ditanggung oleh penghuni rumah itu yang
berjumlah lima. Sehingga masing-masing orang kena
beban 120 ringgit per bulan. Jika berjumlah enam, maka
masing-masing orang kena beban seratus ringgit.

Yahya juga bercerita, bahwa awal-awal di Kuala
Lumpur ia sempat bekerja mencuci piring di restoran
dengan gaji yang sangat mepet. Ia juga pernah kerja di
sebuah kedai foto copy. Bahkan ia pernah bekerja sebagai
tukang bersih-bersih WC di Gedung Putra World Trading
Centre atau biasa disingkat PWTC.

"Apa saja saya lakukan untuk bisa hidup dan

membayar uang kuliah. Meskipun diterima jadi dosen,
tapi saya belajar ini tanpa beasiswa. Saya dulu sempat
membawa isteri, tapi saya rasakan berat. Akhirnya
sementara ini isteri tinggal di Malang dulu. Semoga saja
nanti keadaan membaik. Dan saya bisa membawa isteri
lagi kemari untuk menemani membuat disertasi Ph.D."
jelas Yahya pada Zul.

"Intinya tidak boleh malu. Tidak boleh menyerah.
Dan harus terus bergerak. Saya dulu awal-awal kuliah
di sini juga sama seperti Yahya. Hidup prihatin. Kerja
apa pun asal halal dan bisa membuat saya semakin kaya
saya lakukan. Alhamdulillah sekarang saya bisa membuka
usaha bekerjasama dengan orang Malaysia.
Cukup untuk menghidupi anak dan isteri. Begitu selesai
doktor saya langsung akan pulang ke Indonesia." Pak
Rusli menambahi.

Tak lama kemudian Sugeng datang. Dan Arif yang
tadi tidur, terbangun. Pertemuan itu jadi semakin hangat.
Semua memberi semangat pada Zul. Zul merasa
menemukan orang-orang yang baik dan tulus. Yahya
bahkan menawarkan agar Zul tinggal saja di flat itu dan
bisa tinggal satu kamar dengannya.

"Tapi kamar saya agak sempit. Bagi saya tidak
masalah dihuni dua orang. Jika hati dan jiwa kita lapang
maka semua akan jadi lapang." Ucap Yahya dengan
wajah cerah.

Tak ada keraguan bagi Zul untuk memutuskan
tinggal di flat itu bersama Yahya, Sugeng dan temantemannya.
Sore itu ia memutuskan untuk langsung
menginap di situ dan tidak kembali ke Subang Jaya.
Setelah mantap bahwa Zul tidak akan terlantar, Pak
Rusli mohon diri. Sebelum keluar pintu ia masih sempat
berkata pada Zul

"Saya akan coba mencari informasi. Jika ada
lowongan nanti saya beritahukan. Yang jelas optimislah,
bahwa Allah itu Mahakaya. Allah sudah mengatur jatah
rejeki hamba-Nya. Tergantung bagaimana hamba-Nya
itu memungutnya. Jika ada apa-apa. Perlu bantuan apaapa,
telpon saya saja. Tak usah sungkan ya Zul."


"Iya Pak. Terima kasih atas segala kebaikannya."

* * *

Malam itu Zul bertemu dengan seluruh penghuni flat
itu. la tidak merasa menjadi orang asing di rumah itu.
Malam itu juga ia mendapatkan saran-saran yang sangat
membantunya dalam menentukan langkah selanjutnya
di Malaysia. Semua yang ada di rumah itu ingin
memberikan bantuan semampunya.

Sugeng menawarkan diri untuk membantunya
mengurus pendaftaran di UM. Karena Zul masuk ke
Malaysia tanpa single entry maka urusan imigrasi pasti
akan sedikit ada masalah. Rizal yang sudah punya
pengalaman dalam masalah ini bersedia mendampingi
Zul jika nanti harus berurusan dengan masalah visa.
Yahya dan Arif akan membantu mencarikan informasi
kerja. Dan Pak Muslim, yang paling tua di rumah itu,
menawarkan sepeda motornya jika akan digunakan Zul.
Pak Muslim akan mengadakan penelitian di Sabah
selama tiga minggu. Berarti sepeda motornya bisa dipakai
selama itu.

"Ini masih bulan April. Awal semester bulan Juli.
Masih ada waktu sekitar tiga bulan. Sebaiknya Zul daf tar
dulu saja. Selama tiga bulan bekerja sungguh-sungguh
agar bisa membayar awal semester. Yang pasti jumlahnya
agak lumayan. Besok kita lengkapi syarat-syaratnya. Dan
lusa kita masukkan berkas ke IPS.7 Untuk uang
pendaftaran yang 30 dollar itu biar saya talangi dulu.
Jadi, dua hari kita targetkan berkas sudah masuk. Setelah
itu baru konsentrasi cari kerja. Bagaimana?" Jelas Sugeng.

"Saya ikut saja." Lirih Zul.

"Coba lihat, mana ijazahmu? Kau bawa kan?"

7 IPS : Institute Postgraduate Studies.

Zul mengangguk dan mengambil tas hitamnya. la

keluarkan map berisi berkas-berkas pribadinya dari tas
itu. la berikan map itu pada Sugeng. Sugeng lalu
membuka dan meneliti dengan seksama. Ijazah SD sampai S.l
ada di situ. Sugeng lalu melihat ijazah S.l itu
dengan kening berkerut.

"Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia ya?"

"Iya Mas." Jawab Zul pelan
"Pak Muslim, sini Pak!" Seru Sugeng pada Pak
Muslim yang sedang asyik menulis di depan layar
komputer di kamarnya. Pak Muslim langsung mendekat.
"Iya ada apa Geng?" tanya Pak Muslim sambil
membenarkan gagang kaca matanya.

"Zul ini, S.l-nya jurusan pendidikan bahasa Indonesia.
Sebaiknya kalau masuk S.2 UM di fakultas apa,
jurusan apa, Pak?"

Pak Muslim berpikir sejenak. Lalu berkata, "Lha Dik
Zul sendiri ingin masuk fakultas apa?"

"Fakultas pendidikan, Pak." Jawab Zul seraya
mendongakkan kepalanya ke arah Pak Muslim yang
berdiri di samping Sugeng.

"Kalau gitu ya masuk fakultas pendidikan saja.
Jurusannya, kalau saya boleh menyarankan sosiologi
pendidikan saja." Sahut Pak Muslim.

"Bagaimana dengan saran Pak Muslim, Zul?" tanya
Sugeng.

"Boleh. Saya sepakat."
Malam itu Zul merasa menemukan sctitik cahaya
yang bisa dijadikan sedikit penerang bagi jalan masa
depannya. la kembali mendapatkan gairah hidup yang
baru. la merasakan kedamaian seperti rasa damainya saat
dulu bisa melanjutkan pendidikan setelah lulus SD. la
tetap bisa lanjut ke SMP meskipun harus dengan bekerja
membantu Pakdenya di Pasar Sayung sepulang sekolah.
la merasa bahagia saat itu, sebab banyak temantemannya
yang putus sekolah karena tidak ada biaya.

Mereka selesai SD langsung bekerja di sawah atau kerja
di pabrik-pabrik yang ada di Kawasan LIK Semarang.

Malam itu, untuk pertama kalinya ia tidur dalam
keadaan lebih nyaman dan tenteram. Dadanya terisi
cahaya optimisme dan semangat. Bertahun-tahun
sebelumnya ia selalu tidur dalam bayang kekuatiran, rasa
takut dan ketidakpastian hidup. Ia mengalami itu sejak
Pakdenya, orang yang merawatnya sejak kecil, meninggal
saat ia masih di bangku kelas 3 SMA. Sejak itu
ia seperti merasakan ketidakpastian hidup. Dengan
berusaha tetap tegar ia akhirnya berhasil juga menyelesaikan
SMA-nya bahkan bisa tetap kuliah. Dan selesai
juga kuliahnya. Namun selesai kuliah ia belum juga
mantap menapakkan kakinya. Hal itulah yang membuatnya
merantau. Dari Semarang ke Jakarta. Lalu ke
Batam. Dan akhirnya ke Malaysia.

Dan malam itu, setelah ia bertemu dengan orangorang
yang berpendidikan dan tulus, ia banyak
mendapatkan pencerahan. Kisah hidup Yahya yang
begitu rendah hati mau bekerja apa saja saat menuntut
ilmu membuatnya kembali terlecut. Ia dulu, saat kuliah
di Semarang, juga pernah mengalami apa yang Yahya
alami. Saat kuliah ia pernah bekerja menjadi tukang
becak, kuli panggul di Pasar Genuk, satpam di LIK, dan
terakhir penjaga parkir di Pasar Johar.

Yang ia rasakan, bedanya Yahya dengan dirinya
adalah Yahya begitu mantap dan bahagia dengan apa
yang dilakukannya. Yahya menganggap hal itu bukan
beban, tapi suatu kenikmatan. Yahya memasukkannya
sebagai bagian dari ibadah dan pengabdian. Tapi dia
selama ini bekerja, selalu saja menganggap sebagai
beban. Dalam hatinya selalu saja masih ada rasa kuatir
dan merasa tertekan. Dan malam itu ia mendapatkan
pencerahan yang membuatnya merasa lebih tenang.
Malam itu ia tidur dengan bibir menyungging
senyum optimis. Ia optimis telah menemukan jalan untuk
memperbaiki masa depan. Ia tidur dengan sama sekali
tidak mengingat Mari, Iin, Sumiyati dan Linda di Subang
Jaya.

Sementara di Subang Jaya sana, Mari berangkat
tidur dengan perasaan kehilangan. Entah kenapa ia
merasa ada yang hilang dari hatinya. Ia telah mendapatkan
informasi pekerjaan untuk Zul. Dan ia pulang
dengan perasaan bahagia, sebab ia yakin Zul masih ada
di rumahnya. Dan ia akan memberikan informasi
pekerjaan itu pada pemuda itu. Ia akan melihat pemuda
itu bahagia lalu mengucapkan terima kasih padanya.
Namun ia kecewa saat ia dapati Zul tidak ada. Ia masih
berharap, malam itu Zul akan kembali ke rumah itu.
Namun ia kembali kecewa. Sampai pukul satu malam ia
menunggu Zul tidak juga muncul. Akhirnya ia tidur
dengan perasaan masygul.




BERSAMBUNG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar