Tak terasa Zul telah melewati satu semester. Selama
itu ia seperti tidak mengenal siang dan malam. Hariharinya
ia lewati dengan bekerja dan belajar. Bekerja dan
belajar. Ia tampak lebih kurus dari hari pertama saat ia
tiba di Malaysia. Hidup setengah tahun lebih bersama
Yahya membuatnya lebih banyak tahu tentang ajar an
agamanya. Ia yang selama ini tidak mendapat pengajaran
agama secara mendalam, banyak mendapat
masukan-masukan tentang keindahan Islam. Sedikit demi
sedikit Yahya memberikan pencerahan, tanpa terasa.
Tidak ada waktu khusus mengaji pada Yahya. Cukuplah
interaksi harian menjadi tempatnya menimba ilmu.
Malam itu Kuala Lumpur hujan deras. Zul bangun
dan shalat Tahajjud. Di keheningan malam itu ia
memuhasabahi dirinya sendiri. Ia merenungi perjalanan
hidupnya selama ini. Banyak sekali tingkah lakunya yang
jauh dari perilaku yang dibenarkan oleh agama. Ia jadi
teringat masa SMA-nya dulu. Ia pernah pacaran dengan
anak SMA tetangga desa. Ia pacaran diam-diam.
Pakdenya, yang menjadi pengasuhnya, tidak pernah tahu.
Ia pernah pergi dengan pacamya itu malam mingguan di
Simpang Lima Semarang. Dan astaghfirullah ia bergandeng
tangan dan duduk berpelukan mesra dengan
pacarnya itu sambil nonton ramainya kawasan Simpang
Lima. Ia putus dengan pacarnya, setelah lulus SMA.
Pacarnya itu dikawinkan paksa oleh orangtuanya. Dan ia
tidak memberitahukan hal itu kepadanya. Tahu-tahu ia
mendapat kabar pacarnya sudah kawin dan hidup
bersama suaminya di luar Jawa. Ia sempat sakit hati. Lalu
saat kuliah di IKIP ia sempat pacaran lagi. Hanya bertahan
dua bulan. Ia putuskan pacarnya itu setelah ia tahu
pacarnya itu temyata punya pacar selain dia. Ia sakit hati.
Setelah itu ia tidak pernah pacaran lagi. Dua kali ia dikhianati
perempuan, dan baginya itu cukup. Ia tak mau lagi.
Ia bersyukur kepada Allah yang menjaganya, hanya
dua kali saja pacaran. Dan tidak sampai melakukan yang
lebih dari sekadar bergandeng tangan dan berpelukan.
Ia tidak bisa membayangkan jika Allah tidak menjaganya.
Mungkin ia telah berbuat maksiat yang lebih besar
lagi madharatnya.
Dari Yahya ia tahu bahwa tidak halal menyentuh
tubuh perempuan yang bukan mahramnya. Tidak halal
berasyik-masyuk dengan perempuan yang bukan
isterinya. Pacaran adalah cara setan menggiring umat
manusia agar jatuh pada perbuatan nista yang dikutuk
semua agama, yaitu zina. Banyak orang melakukan
pacaran yang—karena masih disayang Allah—diselamatkan
oleh Allah dari
dosa besar itu. Namun tidak
terhitung jumlahnya manusia yang melakukan pacaran
dan akhirnya jatuh ke lembah nista itu, yaitu melakukan
perzinahan berulang-ulang kali.
Zul jadi merinding mengingat hal itu. Berulang-ulang
kali ia mengucapkan istighfar. Ia membayangkan seperti
apa besar dosanya. Berapa kali ia bermesraan dan
berpelukan dengan perempuan yang tidak halal baginya.
"Astaghfirullahal adhim. Ya Allah ampuni dosadosaku.
Ampuni kebodohanku. Ampuni perbuatanperbuatan
jahiliyahku."
Ia menangis bila mengingat yang terjadi pada teman
satu kelasnya di SMA. Dua sejoli si Fulan dan si Fulanah.
Mereka berpacaran dan kebablasan. Si Fulanah hamil.
Keduanya mengakui perbuatan keji itu pada pihak
sekolah. Akhirnya keduanya dinikahkan oleh keluarga
mereka. Dan tepat satu minggu sebelum ujian akhir
keduanya dikeluarkan dari sekolah. Sebelum pergi ke
Jakarta ia mendengar kabar keduanya cerai. Lebih
menyedihkan lagi si Fulanah kabarnya bekerja di Sunan
Kuning dan si Fulan dipenjara karena terlibat curanmor.
Jika Allah tidak mengasihinya, bisa jadi nasibnya
lebih buruk dari si Fulan dan si Fulanah. Sebab saat ia
pacaran ia nyaris pernah melakukan perbuatan yang
dilarang itu dengan pacarnya. Zul kembali menangis
mengingat hal itu,
"Ya Allah kalau tidak Kauselamatkan diriku. Akan
jadi apakah diriku ini? Akan jadi budak setankah? Akan
jadi makhluk yang durhaka kepada-Mu kah? Ya Allah,
terima kasih ya Allah telah menyelamatkan diriku. Ya
Allah aku ingin hidup lurus di jalan-Mu. Ampunilah dosadosaku
yang telah lalu. Limpahkanlah hidayah-Mu dan
jagalah diriku dari perbuatan maksiat dengan penjagaan-
Mu yang tidak pernah luput sekejap pun juga."
Di akhir muhasabahnya ia teringat kebersamaannya
dengan Man dan teman-temannya. Juga perjumpaannya
dengan Linda. Ia mohon ampun kepada Allah jika ada
perbuatannya yang dosa, juga memintakan ampun
kepada Allah untuk Mari, Iin, Sumi dan Linda. Walau
bagaimanapun Mari telah memberikan pertolongan
padanya.
Pagi harinya entah kenapa ia merasa ingin bersilaturrahmi
ke rumah Mari di Subang Jaya. Beberapa kali ia
menepis keinginan itu. Ia katakan pada dirinya bahwa
besok-besok masih ada waktu untuk mengambil
barangbarangnya.
Namun keinginannya untuk pergi ke rumah
Mari entah kenapa terus mendesaknya.
Pada akhirnya ia tetap merasa harus bersilaturrahmi
hari itu dan pagi itu juga. Ya, bersilaturrahmi sekadarnya
saja. Sambil mengambil barang-barangnya yang masih
tertinggal di sana. Ia belum mengucapkan terima kasih secara
langsung pada Mari. Selain itu ia masih memegang
kunci rumah itu. Ia benar-benar lupa kalau memegang
kunci milik Linda. Ia harus mengembalikan kunci itu
segera.
Pagi itu tepat jam delapan, setelah sarapan roti canai
ia langsung ke stasiun KTM. Ia tidak membawa apa-apa.
Kecuali tas cangklong hitamnya. Ia bahkan tidak
memakai sepatu, hanya memakai sandal jepit hitam. Dari
stasiun Pantai Dalam ia ke KL Sentral. Lalu dari KL Sentral
ia naik bus ke Subang Jaya. Di tengah perjalanan ketika
bus baru keluar dari KL Sentral hujan turun dengan deras.
Bus tetap melaju dengan tenang. Zul menikmati indahnya
kota Kuala Lumpur dalam siraman air hujan. Air
mengalir dengan teratur ke selokan-selokan yang diatur
rapi. Paru-paru kota yang ada di hampir setiap sudut
kota menyerap air hujan dengan segera. Tak ada banjir
tak ada air menggenang. Zul boleh salut pada tata kota
Kuala Lumpur. Bus melaju dengan kecepatan sedang dan
sampai di Subang Jaya pukul sepuluh siang.
Zul turun dari bus. Hujan masih turun rintik-rintik.
Ia menutup kepalanya dengan tas hitamnya. Iaberjalan
sambil mengingat-ingat jalan menuju rumah Mari.
Sambil berjalan ia meraba saku celananya untuk meyakinkan
bahwa kunci yang dulu dipinjamkan oleh Linda telah terbawa.
Ia meraba dan menemukannya. Ia melangkah dengan cepat. Ia
telah memasuki kawasan Taman Subang Permai. Ia ingat jalan
depan belok kanan.
Rumah keempat dari ujung jalan itulah rumah Mari.
Tiba-tiba hatinya berdegup kencang. Ia teringat
Linda. Yang ada di rumah itu pada waktu siang biasanya
adalah Linda. Yang lain pergi kerja. Dan hujan-hujan
begini ia akan mengetuk rumah itu dan bertemu Linda.
Yang bisa jadi ia akan mengenakan pakaian yang tidak
menjaga susila seperti dulu lagi. Ia jadi ragu. Antara
meneruskan langkah atau pulang. Sementara rinai hujan
masih terus turun. Akhirnya ia nekat tetap maju
meneruskan langkah. Niatnya adalah mengembalikan
kunci, mengambil barang-barangnya, dan menyampaikan
rasa terima kasih. Bukan yang lain. Ia meniatkan
diri untuk tidak lama di rumah itu. Mungkin cuma dua
atau tiga menit saja. Ia bisa beralasan sibuk pada Linda.
Sejurus kemudian Zul sudah sampai di depan rumah
Mari. Ada mobil Proton Saga berwarna merah hati di
depan gerbang. Pintu besi rumah itu terbuka. Namun
pintu kayunya tertutup rapat. Artinya ada orang di dalam.
Tiba-tiba ia mendengar suara barang dibanting.
Seperti piring. Hujan kembali turun semakin lebat. Ia
mempercepat langkah menuju teras. Bersama suara
guntur yang menggelegar ia mendengar suara perempuan
menjerit-jerit minta tolong dari dalam rumah. Ia
kaget. Spontan ia lari ke pintu. Ia menggedor-gedor
pintu. Pintu terkunci.
Ia ingat, bahwa ia membawa kunci rumah itu. Suara
perempuan dari dalam rumah kembali menjerit-jerit
minta tolong.
"Toloong, tolooong! Jangan! Jangan!"
Halilintar kembali menyambar. Ia menyangka suara
itu adalah suara Linda yang mungkin hendak dianiaya
oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Walaupun ia
tidak suka dengan perbuatan dan cara berpikir Linda,
tapi ia merasa perempuan itu tetap harus ditolong. la
membuka pintu. Dan...
Alangkah terkejutnya ia. Di ruang tamu itu ia melihat
Mari tengah bergelut melawan seorang lelaki gundul
bertubuh besar yang hendak merogolnya.11 Mari merontaronta
sekuat-kuatnya. Kedua kakinya menendangnendang.
Pakaiannya bagian atas tidak sempurna lagi
menutupi tubuhnya. Ia melihat Mari mati-matian
mempertahankan
celana jeansnya yang hendak dilepas paksa.
Melihat kemungkaran itu emosi Zul tidak tertahankan
lagi. Darahnya mendidih. Ia langsung membentak
dengan sekeras-kerasnya,
"Hai bajingan! Berhenti kau! Kurang ajar!"
Bersama dengan meluncurnya bentakan keras dari
mulutnya ia langsung melompat menendang lelaki itu,
tepat saat lelaki itu kaget dan menoleh ke arahnya.
Tendangan itu mengenai muka lelaki gundul itu. Tepat
di hidungnya. Tak ayal tubuh lelaki gundul itu
terpelanting dari atas tubuh Mari. Mari langsung bangkit
dan lari ke pojok ruangan sambil mendekap tubuhnya
yang gemetar ketakutan.
"Bangsat! Siapa kau berani mencampuri urusanku!"
Lelaki itu berdiri dengan amarah memuncak di ubunubunnya.
Ia memegangi hidungnya yang terasa sakit.
Zul tidak gentar. Ia pernah dikeroyok oleh preman Pulo
Gadung dan tidak mat! meskipun saat itu tidak bisa
dikatakan ia menang atau kalah. Yang jelas ia tidak mati.
Zul balik menggertak,
"Justru seharusnya aku yang harus bertanya. Siapa
kau bajingan berani kurang ajar sama kakakku!"
"Apa? Mari itu kakakmu! Dasar penjahat. Rupanya
kau ya yang membawa lari Mari kemari. Ketahuilah aku
adalah Warkum, suami Mari yang sah. Aku ingin
membawa dia kembali ke rumahku!"
"Dasar bajingan iblis! Kau bukan suamiku lagi! Aku
tidak sudi melihatmu apalagi kembali padamu!"
"Tutup mulutmu perempuan sundal! Mau tidak mau
kau tetap isteriku! Dan kau kucing alas, jangan ikut
campur urusan rumah tangga orang lain ya! Atau...."
"Atau apa? Aku sudah tahu semuanya. Kau dan Mari
tidak ada hubungan apa-apa lagi. Kau boleh bawa Mari
ke mana saja asal bisa melangkahi mayatku!"
"Kurang ajar!"
Lelaki botak itu mengayunkan pukulan tangannya
dengan sekuat tenaga. Jika pukulan itu mengenai dada
Zul, bisa jadi dada yang tipis itu akan rontok. Tapi Zul
yang sudah pernah belajar karate saat kuliah dan pernah
berkelahi dengan preman dengan tenang mengelit sambil
menyarangkan tendangan ke perut Warkum. Warkum
terhuyung. Emosinya semakin menghebat.
"Setan alas!"
Ia langsung mengambil kursi plastik dan mengayunkan ke
kepala Zul. Zul menghindar. Warkum terus
memburu. Satu sabetan Warkum mengenai pelipis Zul.
Langsung berdarah. Di pojok ruangan Mari menjerit
histeris. Zul berusaha tetap tenang. Ia mencopot
sandalnya yang ia rasa mengganggu gerakannya. Ia mencari
peluang untuk menyarangkan serangan yang
telak. Warkum terus memburunya dengan ganas.
Melihat darah mengalir di pelipis Zul, semangat
Warkum untuk membunuh semakin membara. Pada saat
Warkum merasa bisa menghantam Zul dengan kursi
plastiknya ia langsung mengerahkan segenap tenaganya.
Sabetan itu sangat keras. Pada saat menyabet kaki
Warkum tidak kokoh menapak di bumi. Dengan gesit
Zul mengelak dengan menjatuhkan diri ke lantai. Lalu
ia melakukan tendangan memutar sekeras-kerasnya ke
arah kemaluan Warkum. Tendangan itu sangat cepat dan
keras. Tendangan itu yang tak lain adalah jurus buaya
mengibaskan ekor yang pernah ia pelajari dari Mbah
Tarmidi yang dikenal sebagai guru silat di desanya.
Kekuatan yang digunakan menyerang dalam tendangan
itu adalah kekuatan putaran kaki dan senjata untuk
melakukan serangan adalah kerasnya tumit kaki.
Tendangan Zul sangat akurat.
Akibatnya...
"Plakk!"
Tendangan Zul tepat mengenai sasaran. Tumitnya
menghantam kemaluan Warkum dengan sekeraskerasnya.
Warkum langsung terjengkang dan mengerang
kesakitan. Kursi plastik itu terlepas dari tangan
Warkum. Zul tidak mau membuang kesempatan. Ia
langsung menyarangkan tendangan keras ke rahang
Warkum. Warkum kembali mengaduh.' Ia berusaha
bangkit. Namun Zul langsung memukulnya dengan
kursi kayu sekeras-kerasnya. Warkum mengerang sambil
mengucapkan kata-kata kotor. Zul melihat televisi yang telah
hancur. la angkat televisi itu dan ia tumpukkan ke
muka Warkum. Muka itu langsung luka dan berdarah.
Seketika itu Warkum mengaum minta ampun.
"Sudan aku mengaku kalah! Aku tidak akan
mengganggu kalian lagi. Tolong maafkan aku!" teriak
Warkum sambil memegangi kemaluannya.
Zul melihat ke arah Mari.
"Mbak mau memaafkan dia?" tanya Zul.
Mari menggelengkan kepala.
Zul melangkah ke kamar Mari yang terduduk
gemetar di pojok ruangan. Ia pernah melihat ada palu di
bawah meja rias. Jika tidak dipindah palu itu pasti masih
ada di sana. Dan benar palu itu masih ada di sana. Zul
langsung memungutnya. Sementara Mari masih
mematung di pojok ruang tamu. Warkum berusaha
bangkit. Pada saat ia mau bangkit Zul telah kembali ke
ruang itu dan langsung menendang kepala Warkum
yang gundul itu sekeras-kerasnya. Warkum langsung
mengaduh,
"Ampun tolong. Aku mengaku kalah! Biar aku pergi!
Ampuni aku!"
Kini tangan kanan Zul memegang palu erat-erat.
"Bagaimana Mbak Mari, mau mengampuni penjahat
ini?"
Mari menggelengkan kepala.
Begitu melihat Mari menggelengkan kepala, Zul
langsung memukulkan palu yang ada di tangan
kanannya itu ke jari kaki kanan Warkum sekeraskerasnya.
Zul memukulnya dengan cepat tiga kali
berturut-turut. Warkum merasakan tulang jari kakinya
remuk. Ia menjerit sekuat-kuatnya minta ampun.
"Bagaimana Mbak Mari mau memberi ampun?"
tanya Zul.
Mari diam saja. Warkum memandang Zul yang saat
itu berwajah sangat dingin. Ia berusaha menyeret
tubuhnya ke belakang.
"Berhenti di tempat! Atau aku pukul gundulmu
sampai pecah. Aku tahu kau bajingan dan punya anak
buah banyak. Tapi kau harus tahu aku ini tahu
bagaimana cara memecah dan meremuk tulang kepala
seorang penjahat seperti kamu. Tahu!" Zul membentak.
Warkum seketika diam tak berani bergerak. Ia sudah
benar-benar tidak berdaya.
"Bagaimana Mbak Mari, mau mengampuni penjahat
ini?" Zul kembali bertanya pada Mari.
Mari kembali menggelengkan kepala. Zul langsung
mendekati Warkum. Warkum mengaduh minta ampun.
"Letakkan tangan kananmu di lantai!" Perintah Zul.
Warkum malah menggenggam tangan kanannya
dan tangan kirinya seolah-olah hendak melindunginya.
"Dengar, sekali lagi letakkan tangan kananmu di lantai
atau aku akan menghancurkan kemaluanmu dan kau
akan mampus saat ini juga!" Gertak Zul dengan muka
merah padam. Warkum yang tak punya nyali itu dengan
tubuh gemetar meletakkan tangan kanannya di lantai.
"Hmm itu ya tangan yang selama ini digunakan
untuk menjahati dan menodai kaum perempuan. Baik
nihrasakan!"
Zul memukulkan palunya ke jari-jari Warkum
dengan keras beberapa kali. Warkum merasakan sakit
luar biasa. Sampai ia tidak bisa lagi menjerit.
"Ini pertanyaan saya terakhir, Mbak Mari mau
mengampuni penjahat ini? Jika tidak palu ini akan
mengeluarkan otak penjahat ini dari batok kepalanya.
Biar dia mampus di sini dan tidak akan mengganggu
Mbak Mari lagi!"
Mendengar kata-kata itu Warkum kembali memohon
ampun. Warkum melihat bahwa ancaman Zul bukan
gertak sambal saja. Ia melihat pemuda kurus yang
menghajarnya ini punya nyali yang luar biasa dan jika
nekat matanya seolah buta.
"Mari, to... tolong maafkan aku! Aku tak ingin mari.
A... aku khilaf. A... aku janji tidak akan mengganggumu
lagi dan tidak akan menampakkan wajah di hadapanmu
lagi!" Kata Warkum mengiba dengan suara terbata-bata.
"Bagaimana Mbak Mari? Ini pertanyaan saya
terakhir!" tanya Zul dengan wajah dingin.
Mari bangkit dan melangkah lalu meludahi Warkum.
"Saat ini aku belum bisa memaafkan dia Zul. Tapi
biarkan dia pergi. Biarkan dia hidup. Jika kau bunuh dia
nanti urusannya panjang!"
"Aku tahu dunia preman. Urusannya tidak akan
panjang Mbak. Kalau mau biar kubereskan dia. Sampah
seperti dia inilah yang merusak kesucian anak gadis di
mana-mana. Dia tak pantas hidup!"
"Biarkan dia pergi Zul!"
"Baik Mbak."
Warkum langsung berkata,
"Te... terima kasih Mari!"
"Hei, cepat pergi. Sebelum aku berubah pikiran!
Ingat, hari ini kau berhutang nyawa pada Mbak Mari.
Sebab jika tidak karena dia menyuruh membiarkanmu
pergi, gundulmu itu pasti sudah hancur! Cepat pergi!"
Bentak Zul dengan mata dipelototkan.
Dengan susah payah Warkum bangkit. Zul mengambil
kain penutup meja dan melempar ke muka Warkum.
"Hei, usap lukamu dengan ini!"
Warkum berdiri. Ia mengusap darah yang mengalir
dimukanya. Juga darah yang keluar dari jari-jari tangan
kanannya yang hancur. Dengan langkah pincang tertatihtatih
ia berjalan keluar rumah. Di luar hujan tinggal
menyisakan gerimis. Zul mengikuti sampai di pintu. Ia
mengamati Warkum dengan pandangan dingin. Susah
payah Warkum masuk ke dalam mobilnya. Ia lalu
menghidupkan mesin mobilnya dan meninggalkan
rumah itu. Begitu deru mobil itu tidak terdengar lagi Zul
masuk dan langsung duduk di sofa.
Mari langsung menghambur bersimpuh menangis
di kaki Zul. Mari menangis terisak-isak mengucapkan
rasa terima kasih dengan terbata-bata. Zul terpana sesaat
seakan hilang kesadaran. Ia mematung tak tahu harus
berbuat apa menerima luapan keharuan Mari yang
ditumpahkan sepenuhnya kepadanya. Beberapa saat
kemudian kesadarannya pulih kembali.
"Mbak Mari sudahlah. Tolong Mbak bangkit ke
kamar dan merapikan pakaian Mbak!" Ucap Zul pelan.
Mari menghentikan isakannya. la melihat tubuhnya
sendiri. Barulah ia menyadari ada bagian tubuhnya yang
seharusnya tertutupi tapi tidak tertutupi. Baju yang
seharusnya menutupi aurat itu sobek. Dan penutup aurat
di bawah baju telah putus dan tidak lagi menempel di
badannya. Ia tidak menyadari hal itu sebelumnya karena
ketegangan dan ketakutan luar biasa.
Begitu sadar muka dan perasaannya berubah
seketika, dari haru menjadi malu. Mari langsung
melindungi bagian itu dengan menutupkan bajunya
yang sobek, lalu menyilangkan kedua tangannya ke
dada. Kemudian ia bangkit dan bergegas ke kamarnya.
Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam, menunjukkan
bahwa ia malu luar biasa.
Zul menarik nafas dalam-dalam. Ia memejamkan
kedua matanya. Punggungnya ia sandarkan sepenuhnya
ke sofa. Ia tak membayangkan akan pernah berkelahi
dengan penjahat yang hendak memperkosa seorang
wanita seperti yang baru saja terjadi. Ia jadi teringat
keinginannya yang sangat kuat untuk pergi ke rumah
ini. Keinginan yang tidak bisa ditepisnya sama sekali.
Rupanya ia harus datang untuk membela orang yang
pernah berbuat baik padanya.
BERSAMBUNG
itu ia seperti tidak mengenal siang dan malam. Hariharinya
ia lewati dengan bekerja dan belajar. Bekerja dan
belajar. Ia tampak lebih kurus dari hari pertama saat ia
tiba di Malaysia. Hidup setengah tahun lebih bersama
Yahya membuatnya lebih banyak tahu tentang ajar an
agamanya. Ia yang selama ini tidak mendapat pengajaran
agama secara mendalam, banyak mendapat
masukan-masukan tentang keindahan Islam. Sedikit demi
sedikit Yahya memberikan pencerahan, tanpa terasa.
Tidak ada waktu khusus mengaji pada Yahya. Cukuplah
interaksi harian menjadi tempatnya menimba ilmu.
Malam itu Kuala Lumpur hujan deras. Zul bangun
dan shalat Tahajjud. Di keheningan malam itu ia
memuhasabahi dirinya sendiri. Ia merenungi perjalanan
hidupnya selama ini. Banyak sekali tingkah lakunya yang
jauh dari perilaku yang dibenarkan oleh agama. Ia jadi
teringat masa SMA-nya dulu. Ia pernah pacaran dengan
anak SMA tetangga desa. Ia pacaran diam-diam.
Pakdenya, yang menjadi pengasuhnya, tidak pernah tahu.
Ia pernah pergi dengan pacamya itu malam mingguan di
Simpang Lima Semarang. Dan astaghfirullah ia bergandeng
tangan dan duduk berpelukan mesra dengan
pacarnya itu sambil nonton ramainya kawasan Simpang
Lima. Ia putus dengan pacarnya, setelah lulus SMA.
Pacarnya itu dikawinkan paksa oleh orangtuanya. Dan ia
tidak memberitahukan hal itu kepadanya. Tahu-tahu ia
mendapat kabar pacarnya sudah kawin dan hidup
bersama suaminya di luar Jawa. Ia sempat sakit hati. Lalu
saat kuliah di IKIP ia sempat pacaran lagi. Hanya bertahan
dua bulan. Ia putuskan pacarnya itu setelah ia tahu
pacarnya itu temyata punya pacar selain dia. Ia sakit hati.
Setelah itu ia tidak pernah pacaran lagi. Dua kali ia dikhianati
perempuan, dan baginya itu cukup. Ia tak mau lagi.
Ia bersyukur kepada Allah yang menjaganya, hanya
dua kali saja pacaran. Dan tidak sampai melakukan yang
lebih dari sekadar bergandeng tangan dan berpelukan.
Ia tidak bisa membayangkan jika Allah tidak menjaganya.
Mungkin ia telah berbuat maksiat yang lebih besar
lagi madharatnya.
Dari Yahya ia tahu bahwa tidak halal menyentuh
tubuh perempuan yang bukan mahramnya. Tidak halal
berasyik-masyuk dengan perempuan yang bukan
isterinya. Pacaran adalah cara setan menggiring umat
manusia agar jatuh pada perbuatan nista yang dikutuk
semua agama, yaitu zina. Banyak orang melakukan
pacaran yang—karena masih disayang Allah—diselamatkan
oleh Allah dari
dosa besar itu. Namun tidak
terhitung jumlahnya manusia yang melakukan pacaran
dan akhirnya jatuh ke lembah nista itu, yaitu melakukan
perzinahan berulang-ulang kali.
Zul jadi merinding mengingat hal itu. Berulang-ulang
kali ia mengucapkan istighfar. Ia membayangkan seperti
apa besar dosanya. Berapa kali ia bermesraan dan
berpelukan dengan perempuan yang tidak halal baginya.
"Astaghfirullahal adhim. Ya Allah ampuni dosadosaku.
Ampuni kebodohanku. Ampuni perbuatanperbuatan
jahiliyahku."
Ia menangis bila mengingat yang terjadi pada teman
satu kelasnya di SMA. Dua sejoli si Fulan dan si Fulanah.
Mereka berpacaran dan kebablasan. Si Fulanah hamil.
Keduanya mengakui perbuatan keji itu pada pihak
sekolah. Akhirnya keduanya dinikahkan oleh keluarga
mereka. Dan tepat satu minggu sebelum ujian akhir
keduanya dikeluarkan dari sekolah. Sebelum pergi ke
Jakarta ia mendengar kabar keduanya cerai. Lebih
menyedihkan lagi si Fulanah kabarnya bekerja di Sunan
Kuning dan si Fulan dipenjara karena terlibat curanmor.
Jika Allah tidak mengasihinya, bisa jadi nasibnya
lebih buruk dari si Fulan dan si Fulanah. Sebab saat ia
pacaran ia nyaris pernah melakukan perbuatan yang
dilarang itu dengan pacarnya. Zul kembali menangis
mengingat hal itu,
"Ya Allah kalau tidak Kauselamatkan diriku. Akan
jadi apakah diriku ini? Akan jadi budak setankah? Akan
jadi makhluk yang durhaka kepada-Mu kah? Ya Allah,
terima kasih ya Allah telah menyelamatkan diriku. Ya
Allah aku ingin hidup lurus di jalan-Mu. Ampunilah dosadosaku
yang telah lalu. Limpahkanlah hidayah-Mu dan
jagalah diriku dari perbuatan maksiat dengan penjagaan-
Mu yang tidak pernah luput sekejap pun juga."
Di akhir muhasabahnya ia teringat kebersamaannya
dengan Man dan teman-temannya. Juga perjumpaannya
dengan Linda. Ia mohon ampun kepada Allah jika ada
perbuatannya yang dosa, juga memintakan ampun
kepada Allah untuk Mari, Iin, Sumi dan Linda. Walau
bagaimanapun Mari telah memberikan pertolongan
padanya.
Pagi harinya entah kenapa ia merasa ingin bersilaturrahmi
ke rumah Mari di Subang Jaya. Beberapa kali ia
menepis keinginan itu. Ia katakan pada dirinya bahwa
besok-besok masih ada waktu untuk mengambil
barangbarangnya.
Namun keinginannya untuk pergi ke rumah
Mari entah kenapa terus mendesaknya.
Pada akhirnya ia tetap merasa harus bersilaturrahmi
hari itu dan pagi itu juga. Ya, bersilaturrahmi sekadarnya
saja. Sambil mengambil barang-barangnya yang masih
tertinggal di sana. Ia belum mengucapkan terima kasih secara
langsung pada Mari. Selain itu ia masih memegang
kunci rumah itu. Ia benar-benar lupa kalau memegang
kunci milik Linda. Ia harus mengembalikan kunci itu
segera.
Pagi itu tepat jam delapan, setelah sarapan roti canai
ia langsung ke stasiun KTM. Ia tidak membawa apa-apa.
Kecuali tas cangklong hitamnya. Ia bahkan tidak
memakai sepatu, hanya memakai sandal jepit hitam. Dari
stasiun Pantai Dalam ia ke KL Sentral. Lalu dari KL Sentral
ia naik bus ke Subang Jaya. Di tengah perjalanan ketika
bus baru keluar dari KL Sentral hujan turun dengan deras.
Bus tetap melaju dengan tenang. Zul menikmati indahnya
kota Kuala Lumpur dalam siraman air hujan. Air
mengalir dengan teratur ke selokan-selokan yang diatur
rapi. Paru-paru kota yang ada di hampir setiap sudut
kota menyerap air hujan dengan segera. Tak ada banjir
tak ada air menggenang. Zul boleh salut pada tata kota
Kuala Lumpur. Bus melaju dengan kecepatan sedang dan
sampai di Subang Jaya pukul sepuluh siang.
Zul turun dari bus. Hujan masih turun rintik-rintik.
Ia menutup kepalanya dengan tas hitamnya. Iaberjalan
sambil mengingat-ingat jalan menuju rumah Mari.
Sambil berjalan ia meraba saku celananya untuk meyakinkan
bahwa kunci yang dulu dipinjamkan oleh Linda telah terbawa.
Ia meraba dan menemukannya. Ia melangkah dengan cepat. Ia
telah memasuki kawasan Taman Subang Permai. Ia ingat jalan
depan belok kanan.
Rumah keempat dari ujung jalan itulah rumah Mari.
Tiba-tiba hatinya berdegup kencang. Ia teringat
Linda. Yang ada di rumah itu pada waktu siang biasanya
adalah Linda. Yang lain pergi kerja. Dan hujan-hujan
begini ia akan mengetuk rumah itu dan bertemu Linda.
Yang bisa jadi ia akan mengenakan pakaian yang tidak
menjaga susila seperti dulu lagi. Ia jadi ragu. Antara
meneruskan langkah atau pulang. Sementara rinai hujan
masih terus turun. Akhirnya ia nekat tetap maju
meneruskan langkah. Niatnya adalah mengembalikan
kunci, mengambil barang-barangnya, dan menyampaikan
rasa terima kasih. Bukan yang lain. Ia meniatkan
diri untuk tidak lama di rumah itu. Mungkin cuma dua
atau tiga menit saja. Ia bisa beralasan sibuk pada Linda.
Sejurus kemudian Zul sudah sampai di depan rumah
Mari. Ada mobil Proton Saga berwarna merah hati di
depan gerbang. Pintu besi rumah itu terbuka. Namun
pintu kayunya tertutup rapat. Artinya ada orang di dalam.
Tiba-tiba ia mendengar suara barang dibanting.
Seperti piring. Hujan kembali turun semakin lebat. Ia
mempercepat langkah menuju teras. Bersama suara
guntur yang menggelegar ia mendengar suara perempuan
menjerit-jerit minta tolong dari dalam rumah. Ia
kaget. Spontan ia lari ke pintu. Ia menggedor-gedor
pintu. Pintu terkunci.
Ia ingat, bahwa ia membawa kunci rumah itu. Suara
perempuan dari dalam rumah kembali menjerit-jerit
minta tolong.
"Toloong, tolooong! Jangan! Jangan!"
Halilintar kembali menyambar. Ia menyangka suara
itu adalah suara Linda yang mungkin hendak dianiaya
oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Walaupun ia
tidak suka dengan perbuatan dan cara berpikir Linda,
tapi ia merasa perempuan itu tetap harus ditolong. la
membuka pintu. Dan...
Alangkah terkejutnya ia. Di ruang tamu itu ia melihat
Mari tengah bergelut melawan seorang lelaki gundul
bertubuh besar yang hendak merogolnya.11 Mari merontaronta
sekuat-kuatnya. Kedua kakinya menendangnendang.
Pakaiannya bagian atas tidak sempurna lagi
menutupi tubuhnya. Ia melihat Mari mati-matian
mempertahankan
celana jeansnya yang hendak dilepas paksa.
Melihat kemungkaran itu emosi Zul tidak tertahankan
lagi. Darahnya mendidih. Ia langsung membentak
dengan sekeras-kerasnya,
"Hai bajingan! Berhenti kau! Kurang ajar!"
Bersama dengan meluncurnya bentakan keras dari
mulutnya ia langsung melompat menendang lelaki itu,
tepat saat lelaki itu kaget dan menoleh ke arahnya.
Tendangan itu mengenai muka lelaki gundul itu. Tepat
di hidungnya. Tak ayal tubuh lelaki gundul itu
terpelanting dari atas tubuh Mari. Mari langsung bangkit
dan lari ke pojok ruangan sambil mendekap tubuhnya
yang gemetar ketakutan.
"Bangsat! Siapa kau berani mencampuri urusanku!"
Lelaki itu berdiri dengan amarah memuncak di ubunubunnya.
Ia memegangi hidungnya yang terasa sakit.
Zul tidak gentar. Ia pernah dikeroyok oleh preman Pulo
Gadung dan tidak mat! meskipun saat itu tidak bisa
dikatakan ia menang atau kalah. Yang jelas ia tidak mati.
Zul balik menggertak,
"Justru seharusnya aku yang harus bertanya. Siapa
kau bajingan berani kurang ajar sama kakakku!"
"Apa? Mari itu kakakmu! Dasar penjahat. Rupanya
kau ya yang membawa lari Mari kemari. Ketahuilah aku
adalah Warkum, suami Mari yang sah. Aku ingin
membawa dia kembali ke rumahku!"
"Dasar bajingan iblis! Kau bukan suamiku lagi! Aku
tidak sudi melihatmu apalagi kembali padamu!"
"Tutup mulutmu perempuan sundal! Mau tidak mau
kau tetap isteriku! Dan kau kucing alas, jangan ikut
campur urusan rumah tangga orang lain ya! Atau...."
"Atau apa? Aku sudah tahu semuanya. Kau dan Mari
tidak ada hubungan apa-apa lagi. Kau boleh bawa Mari
ke mana saja asal bisa melangkahi mayatku!"
"Kurang ajar!"
Lelaki botak itu mengayunkan pukulan tangannya
dengan sekuat tenaga. Jika pukulan itu mengenai dada
Zul, bisa jadi dada yang tipis itu akan rontok. Tapi Zul
yang sudah pernah belajar karate saat kuliah dan pernah
berkelahi dengan preman dengan tenang mengelit sambil
menyarangkan tendangan ke perut Warkum. Warkum
terhuyung. Emosinya semakin menghebat.
"Setan alas!"
Ia langsung mengambil kursi plastik dan mengayunkan ke
kepala Zul. Zul menghindar. Warkum terus
memburu. Satu sabetan Warkum mengenai pelipis Zul.
Langsung berdarah. Di pojok ruangan Mari menjerit
histeris. Zul berusaha tetap tenang. Ia mencopot
sandalnya yang ia rasa mengganggu gerakannya. Ia mencari
peluang untuk menyarangkan serangan yang
telak. Warkum terus memburunya dengan ganas.
Melihat darah mengalir di pelipis Zul, semangat
Warkum untuk membunuh semakin membara. Pada saat
Warkum merasa bisa menghantam Zul dengan kursi
plastiknya ia langsung mengerahkan segenap tenaganya.
Sabetan itu sangat keras. Pada saat menyabet kaki
Warkum tidak kokoh menapak di bumi. Dengan gesit
Zul mengelak dengan menjatuhkan diri ke lantai. Lalu
ia melakukan tendangan memutar sekeras-kerasnya ke
arah kemaluan Warkum. Tendangan itu sangat cepat dan
keras. Tendangan itu yang tak lain adalah jurus buaya
mengibaskan ekor yang pernah ia pelajari dari Mbah
Tarmidi yang dikenal sebagai guru silat di desanya.
Kekuatan yang digunakan menyerang dalam tendangan
itu adalah kekuatan putaran kaki dan senjata untuk
melakukan serangan adalah kerasnya tumit kaki.
Tendangan Zul sangat akurat.
Akibatnya...
"Plakk!"
Tendangan Zul tepat mengenai sasaran. Tumitnya
menghantam kemaluan Warkum dengan sekeraskerasnya.
Warkum langsung terjengkang dan mengerang
kesakitan. Kursi plastik itu terlepas dari tangan
Warkum. Zul tidak mau membuang kesempatan. Ia
langsung menyarangkan tendangan keras ke rahang
Warkum. Warkum kembali mengaduh.' Ia berusaha
bangkit. Namun Zul langsung memukulnya dengan
kursi kayu sekeras-kerasnya. Warkum mengerang sambil
mengucapkan kata-kata kotor. Zul melihat televisi yang telah
hancur. la angkat televisi itu dan ia tumpukkan ke
muka Warkum. Muka itu langsung luka dan berdarah.
Seketika itu Warkum mengaum minta ampun.
"Sudan aku mengaku kalah! Aku tidak akan
mengganggu kalian lagi. Tolong maafkan aku!" teriak
Warkum sambil memegangi kemaluannya.
Zul melihat ke arah Mari.
"Mbak mau memaafkan dia?" tanya Zul.
Mari menggelengkan kepala.
Zul melangkah ke kamar Mari yang terduduk
gemetar di pojok ruangan. Ia pernah melihat ada palu di
bawah meja rias. Jika tidak dipindah palu itu pasti masih
ada di sana. Dan benar palu itu masih ada di sana. Zul
langsung memungutnya. Sementara Mari masih
mematung di pojok ruang tamu. Warkum berusaha
bangkit. Pada saat ia mau bangkit Zul telah kembali ke
ruang itu dan langsung menendang kepala Warkum
yang gundul itu sekeras-kerasnya. Warkum langsung
mengaduh,
"Ampun tolong. Aku mengaku kalah! Biar aku pergi!
Ampuni aku!"
Kini tangan kanan Zul memegang palu erat-erat.
"Bagaimana Mbak Mari, mau mengampuni penjahat
ini?"
Mari menggelengkan kepala.
Begitu melihat Mari menggelengkan kepala, Zul
langsung memukulkan palu yang ada di tangan
kanannya itu ke jari kaki kanan Warkum sekeraskerasnya.
Zul memukulnya dengan cepat tiga kali
berturut-turut. Warkum merasakan tulang jari kakinya
remuk. Ia menjerit sekuat-kuatnya minta ampun.
"Bagaimana Mbak Mari mau memberi ampun?"
tanya Zul.
Mari diam saja. Warkum memandang Zul yang saat
itu berwajah sangat dingin. Ia berusaha menyeret
tubuhnya ke belakang.
"Berhenti di tempat! Atau aku pukul gundulmu
sampai pecah. Aku tahu kau bajingan dan punya anak
buah banyak. Tapi kau harus tahu aku ini tahu
bagaimana cara memecah dan meremuk tulang kepala
seorang penjahat seperti kamu. Tahu!" Zul membentak.
Warkum seketika diam tak berani bergerak. Ia sudah
benar-benar tidak berdaya.
"Bagaimana Mbak Mari, mau mengampuni penjahat
ini?" Zul kembali bertanya pada Mari.
Mari kembali menggelengkan kepala. Zul langsung
mendekati Warkum. Warkum mengaduh minta ampun.
"Letakkan tangan kananmu di lantai!" Perintah Zul.
Warkum malah menggenggam tangan kanannya
dan tangan kirinya seolah-olah hendak melindunginya.
"Dengar, sekali lagi letakkan tangan kananmu di lantai
atau aku akan menghancurkan kemaluanmu dan kau
akan mampus saat ini juga!" Gertak Zul dengan muka
merah padam. Warkum yang tak punya nyali itu dengan
tubuh gemetar meletakkan tangan kanannya di lantai.
"Hmm itu ya tangan yang selama ini digunakan
untuk menjahati dan menodai kaum perempuan. Baik
nihrasakan!"
Zul memukulkan palunya ke jari-jari Warkum
dengan keras beberapa kali. Warkum merasakan sakit
luar biasa. Sampai ia tidak bisa lagi menjerit.
"Ini pertanyaan saya terakhir, Mbak Mari mau
mengampuni penjahat ini? Jika tidak palu ini akan
mengeluarkan otak penjahat ini dari batok kepalanya.
Biar dia mampus di sini dan tidak akan mengganggu
Mbak Mari lagi!"
Mendengar kata-kata itu Warkum kembali memohon
ampun. Warkum melihat bahwa ancaman Zul bukan
gertak sambal saja. Ia melihat pemuda kurus yang
menghajarnya ini punya nyali yang luar biasa dan jika
nekat matanya seolah buta.
"Mari, to... tolong maafkan aku! Aku tak ingin mari.
A... aku khilaf. A... aku janji tidak akan mengganggumu
lagi dan tidak akan menampakkan wajah di hadapanmu
lagi!" Kata Warkum mengiba dengan suara terbata-bata.
"Bagaimana Mbak Mari? Ini pertanyaan saya
terakhir!" tanya Zul dengan wajah dingin.
Mari bangkit dan melangkah lalu meludahi Warkum.
"Saat ini aku belum bisa memaafkan dia Zul. Tapi
biarkan dia pergi. Biarkan dia hidup. Jika kau bunuh dia
nanti urusannya panjang!"
"Aku tahu dunia preman. Urusannya tidak akan
panjang Mbak. Kalau mau biar kubereskan dia. Sampah
seperti dia inilah yang merusak kesucian anak gadis di
mana-mana. Dia tak pantas hidup!"
"Biarkan dia pergi Zul!"
"Baik Mbak."
Warkum langsung berkata,
"Te... terima kasih Mari!"
"Hei, cepat pergi. Sebelum aku berubah pikiran!
Ingat, hari ini kau berhutang nyawa pada Mbak Mari.
Sebab jika tidak karena dia menyuruh membiarkanmu
pergi, gundulmu itu pasti sudah hancur! Cepat pergi!"
Bentak Zul dengan mata dipelototkan.
Dengan susah payah Warkum bangkit. Zul mengambil
kain penutup meja dan melempar ke muka Warkum.
"Hei, usap lukamu dengan ini!"
Warkum berdiri. Ia mengusap darah yang mengalir
dimukanya. Juga darah yang keluar dari jari-jari tangan
kanannya yang hancur. Dengan langkah pincang tertatihtatih
ia berjalan keluar rumah. Di luar hujan tinggal
menyisakan gerimis. Zul mengikuti sampai di pintu. Ia
mengamati Warkum dengan pandangan dingin. Susah
payah Warkum masuk ke dalam mobilnya. Ia lalu
menghidupkan mesin mobilnya dan meninggalkan
rumah itu. Begitu deru mobil itu tidak terdengar lagi Zul
masuk dan langsung duduk di sofa.
Mari langsung menghambur bersimpuh menangis
di kaki Zul. Mari menangis terisak-isak mengucapkan
rasa terima kasih dengan terbata-bata. Zul terpana sesaat
seakan hilang kesadaran. Ia mematung tak tahu harus
berbuat apa menerima luapan keharuan Mari yang
ditumpahkan sepenuhnya kepadanya. Beberapa saat
kemudian kesadarannya pulih kembali.
"Mbak Mari sudahlah. Tolong Mbak bangkit ke
kamar dan merapikan pakaian Mbak!" Ucap Zul pelan.
Mari menghentikan isakannya. la melihat tubuhnya
sendiri. Barulah ia menyadari ada bagian tubuhnya yang
seharusnya tertutupi tapi tidak tertutupi. Baju yang
seharusnya menutupi aurat itu sobek. Dan penutup aurat
di bawah baju telah putus dan tidak lagi menempel di
badannya. Ia tidak menyadari hal itu sebelumnya karena
ketegangan dan ketakutan luar biasa.
Begitu sadar muka dan perasaannya berubah
seketika, dari haru menjadi malu. Mari langsung
melindungi bagian itu dengan menutupkan bajunya
yang sobek, lalu menyilangkan kedua tangannya ke
dada. Kemudian ia bangkit dan bergegas ke kamarnya.
Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam, menunjukkan
bahwa ia malu luar biasa.
Zul menarik nafas dalam-dalam. Ia memejamkan
kedua matanya. Punggungnya ia sandarkan sepenuhnya
ke sofa. Ia tak membayangkan akan pernah berkelahi
dengan penjahat yang hendak memperkosa seorang
wanita seperti yang baru saja terjadi. Ia jadi teringat
keinginannya yang sangat kuat untuk pergi ke rumah
ini. Keinginan yang tidak bisa ditepisnya sama sekali.
Rupanya ia harus datang untuk membela orang yang
pernah berbuat baik padanya.
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar