Peristiwa di dalam Metro
Usai shalat, aku menyalami Syaikh Ahmad. Nama
lengkapnya Syaikh Ahmad Taqiyyuddin Abdul Majid. Imam muda yang selama
ini sangat dekat denganku. Beliau tidak pernah
menyembunyikan senyumnya setiap kali berjumpa denganku. Beliau masih
muda, umurnya baru tiga puluh satu, dan baru setengah tahun yang lalu ia
meraih Magister Sejarah Islam dari Universitas Al Azhar. Anaknya baru
satu, berumur dua tahun. Kini beliau bekerja di Kementerian Urusan Wakaf
sambil menempuh program doktoralnya. Beliau juga menjadi dosen Sejarah
Islam di Ma’had I’dadud Du’at17 yang dikelola oleh Jam’iyyah Syar’iyyah
bekerjasama dengan Fakultas Dakwah, Universitas Al Azhar. Di seluruh
Mesir sampai sekarang ma’had ini baru ada dua: di Ramsis dan di Hadayek
Helwan.
Meskipun masih muda, namun kedalaman ilmu agama dan
kefashihannya membaca serta mentafsirkan Al-Qur’an membuat masyarakat
memanggilnya “Syaikh”. Kerendahan hati, dan komitmennya yang tinggi
membela kebenaran membuat sosoknya dicintai dan dihormati semua lapisan
masyarakat Hadayek Helwan dan sekitarnya. Yang menarik, dia dekat dengan
kawula muda. Panggilan ‘Syaikh’ tidak membuatnya lantas merasa canggung
untuk ikut sepak bola setiap Jum’at pagi bersama anak-anak muda. Jika
Maria adalah gadis Koptik yang aneh. Aku merasa Syaikh Ahmad adalah
ulama muda yang unik.
“Akh18 Fahri, mau ke mana?” tanya Syaikh
ramah dengan senyum menghiasi wajahnya yang bersih. Jenggotnya tertata
rapi. Kutatap wajah beliau sesaat. Sejatinya Syaikh Ahmad memang tampan.
Tak kalah dengan Kazem Saheer, penyanyi tenar asal Irak yang
digandrungi gadis-gadis remaja seantero Timur Tengah. Nada suaranya juga
indah berwibawa. Tak heran jika beliau disayangi semua orang.
Seandainya suara indah Kazem Saheer digunakan untuk membaca Al-Qur’an
seperti Syaikh Ahmad mungkin akan lain cerita belantika selebritis
Mesir.
“Seperti biasa Syaikh, ke Shubra,” jawabku datar.
Beliau langsung paham aku mau ke mana dan mau apa. Sebab Syaikh Ahmad
dulu juga belajar qiraah sab’ah pada Syaikh Utsman di Shubra. Sesekali
bahkan masih datang ke sana.
“Cuacanya buruk. Sangat panas.
Apa tidak sebaiknya istrirahat saja? Jarak yang akan kau tempuh itu
tidak dekat. Pikirkan juga kesehatanmu, Akh,” lanjut beliau sambil
meletakkan tangan kanannya dipundak kiriku.
“Semestinya memang
begitu Syaikh. Tapi saya harus komitmen dengan jadwal. Jadwal adalah
janji. Janji pada diri sendiri dan janji pada Syaikh Utsman untuk
datang.”
“Masya Allah, semoga Allah menyertai langkahmu.”
“Amin,” sahutku pelan sambil melirik jam dinding di atas mihrab.
Waktunya sudah mepet.
“Syaikh, saya pamit dulu,” kataku sambil bangkit berdiri. Syaikh Ahmad
ikut berdiri. Kucangklong tas, kupakai topi dan kaca mata.
Syaikh Ahmad tersenyum melihat penampilanku.
“Dengan topi dan kaca mata hitammu itu kau seperti bintang film Hong
Kong saja. Tak tampak sedikit pun kau seorang mahasiswa pascasarjana Al
Azhar yang hafal Al-Qur’an.”
“Syaikh ini bisa saja,” sahutku sambil tersenyum, “mohon doanya. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam warahmatullah wa barakatuh.”
Di luar masjid, terik matahari dan gelombang angin panas langsung
menyerang. Cepat-cepat kuayunkan kaki, berlari-lari kecil menuju
mahathah metro yang berada tiga puluh lima meter di hadapanku. Ups,
sampai juga akhirnya. Aku langsung menuju loket penjualan tiket.
“Ya Kapten, wahid Shubra!” seruku pada penjaga loket berkepala botak
dan gemuk. Wajahnya penuh keringat, meskipun tepat di belakangnya ada
kipas angin kecil berputar-putar. Ia tampak berkenan kusapa dengan
kapten. Memang untuk menyapa lelaki yang tidak dikenal cukup memakai ‘ya
kapten’ bisa juga ‘ya basya’ atau kalau agak tua ‘ya ammu’. Jika
kira-kira sudah haji memakai ‘ya haj’.”
“Masyi ya Andonesy,”20
jawab penjaga loket sambil mengulurkan karcis kecil warna kuning
kepadaku. Ia mengambil uang satu pound yang kuberikan dan memberi
kembalian 20 piesters. Di pintu masuk karcis aku masukkan untuk membuka
pintu penghalang. Setelah melewati pintu penghalang karcis itu kuambil
lagi. Sebab tanpa karcis itu saya tidak akan bisa keluar di Shubra
nanti. Dan jika ada pemeriksaan di dalam metro karcis itu harus aku
tunjukkan. Jika tidak bisa menunjukkan, akan kena denda. Biasanya
sepuluh pound. Itu pun setelah dimaki-maki oleh petugas pemeriksa.
Bagi penduduk Mesir, khususnya Cairo, metro bisa dikatakan transportasi
kebanggaan. Lumayan canggih. Mahattah bawah tanah yang ada di Attaba,
Tahrir dan Ramsis kelihatan modern dan canggih. Itu wajar. Sebab
arsiteknya, semuanya orang Perancis.
Orang-orang Mesir sering menyombongkan diri begini,
‘Kalau Anda berada di mahattah metro Tahrir atau Ramsis itu sama saja Anda berada di salah satu mahattah metro kota Paris.’
Benarkah?
Aku tidak tahu, sebab aku tidak pernah pergi ke Paris. Tapi aku pernah
membaca sebuah majalah, memang ada stasiun bawah tanah di kota Paris
yang dibuat bernuansa Mesir kuno. Dinding-dindingnya diukir dengan
Hieroglyph, huruf-huruf Mesir kuno. Beberapa sisinya dihiasi dengan
patung-patung dan simbol-simbol Mesir kuno, seperti tugu Alexandria,
kunci pyramid yang sekilas tampak seperti salib, patung Tutankhmoun,
Tutmosis, Ramses III, Amenophis III, Cleopatra dan lain sebagainya.
Nuansa seperti itu sangat kental di mahattah metro Anwar Sadat-Tahrir,
yang berada tepat di jantung kota Cairo.
Sebuah metro biru
kusam datang. Pintu-pintunya terbuka perlahan. Beberapa orang turun.
Setelah itu, barulah para penumpang yang menunggu naik. Aku masuk
gerbong nomor lima. Aku yakin sekali akan dapat tempat duduk. Dalam
cuaca panas seperti ini pasti penumpang sepi. Begitu sampai di dalam,
aku langsung mengedarkan pandangan mencari tempat duduk. Sayang, semua
tempat duduk telah terisi. Bahkan ada lima penumpang yang berdiri.
Sungguh mengherankan, bagaimana mungkin ini terjadi? Di hari-hari biasa
yang tidak panas saja seringkali ada tempat duduk kosong.
Aku mengerutkan kening.
Dapat tempat duduk adalah juga rizki. Jika tidak dapat tempat duduk
berarti belum rizkinya. Aku menggeser diri ke dekat pintu di mana ada
kipas angin berputar-putar di atasnya. Namun kipas itu nyaris tak
berguna. Udara panas yang diputar tetap saja panas. Metro melaju
kencang. Udara yang masuk dari jendela juga panas. Padang pasir seperti
mendidih. Semua penumpang basah oleh air peluh.
Seorang pemuda
berjenggot tipis yang berdiri tak jauh dari tempat aku berdiri
memandangi diriku dengan tersenyum. Aku membalas senyumnya. Ia mendekat
dan mengulurkan tangannya.
“Ana akhukum, 21 Ashraf,” ia
memperkenalkan diri dengan sangat sopan. Ia menggunakan kalimat
‘akhukum’ berarti ia sangat yakin aku seorang muslim seperti dirinya.
“Ana akhukum, Fahri,” jawabku.
“Min Shin?”
Orang Mesir terlalu susah membedakan orang Asia Tenggara dengan orang
China.
“La. Ana Andonesy.”
Kami pun lantas berbincang-bincang. Mula-mula aku memancingnya dengan
masalah bola. Orang Mesir paling suka berbicara masalah bola. Terutama
membicarakan persaingan tiga klub besar Mesir yaitu Ahli, Zamalek dan
Ismaili. Ia ternyata pendukung Zamalek. Dengan bangga ia berkata,
“Syaikh Muhammad Jibril juga pendukung setia Zamalek.” Aku hanya
tersenyum. Aku tidak perlu mempertanyakan lebih lanjut kebenaran
kata-katanya. Tidak penting. Pendukung fanatik sebuah klub akan mencari
banyak data untuk mendukung klub kesayangannya. Maka aku langsung
menyambungnya dengan memuji kehebatan beberapa pemain andalan Zamalek.
Terutama Hosam Hasan. Ia tampak senang. Tujuanku memang membuat dia
merasa senang. Tak lebih. Aku merasa tak rugi membaca buku-buku Syaikh
Abbas As-Sisi tentang bagaimana caranya mengambil hati orang lain.
Pembicaraan terus melebar ke mana-mana. Ia sangat
senang ketika
tahu bahwa aku mahasiswa pascasarjana Al Azhar. Lebih kaget ketika ia
tahu aku hendak ke Shubra untuk talaqqi pada Syaikh Utsman.
Ia berkata,
“Di Helwan saya belajar qiraah riwayat Imam Hafsh pada Syaikh Hasan
yang tak lain adalah murid Syaikh Utsman. Berkali-kali Syaikh Hasan
memintaku untuk ikut belajar qiraah sab’ah langsung pada Syaikh Utsman,
tapi aku tak ada waktu. Aku sudah terlalu sibuk dengan pekerjaan dan
keluarga. Jadi, kau termasuk orang yang beruntung, orang Indonesia.”
Metro terus berjalan. Tak terasa sudah sampai daerah Thakanat Maadi.
“Akh Ashraf, kamu mau turun di mana?” tanyaku ketika metro perlahan berhenti dan beberapa orang bersiap turun.
“Sayyeda Zaenab. Insya Allah.”
Pintu metro terbuka. Beberapa orang turun. Dua kursi kosong. Kalau mau,
aku bisa mengajak Ashraf mendudukinya. Namun ada seorang bapak setengah
baya masih berdiri. Dia memandang ke luar jendela, tidak melihat ada
dua bangku kosong. Kupersilakan dia duduk. Dia mengucapkan terima kasih.
Kursi masih kosong satu. Sangat dekat denganku. Kupersilakan Ashraf
duduk. Dia tidak mau, malah memaksaku duduk. Tiba-tiba mataku menangkap
seorang perempuan berabaya biru tua, dengan jilbab dan cadar biru muda
naik dari pintu yang satu, bukan dari pintu dekat yang ada di dekatku.
Kuurungkan niat untuk duduk. Masih ada yang lebih berhak. Perempuan
bercadar itu kupanggil dengan lambaian tangan. Ia paham maksudku. Ia
mendekat dan duduk dengan mengucapkan, “Syukran!”
Metro atau kereta listrik terus melaju.
Ashraf kembali mengajakku berbincang. Kali ini tentang Amerika. Ia
geram sekali pada Amerika. Seribu alasan ia beberkan. Kata-katanya
menggebu seperti Presiden Gamal Abdul Naser berorasi memberi semangat
dunia Arab dalam perang 1967.
“Ayatollah Khomeini benar,
Amerika itu setan! Setan harus dienyahkan!” katanya berapi-api. Orang
Mesir memang suka bicara. Kalau sudah bicara ia merasa paling benar
sendiri. Aku diam saja. Kubiarkan Ashraf berbicara sepuas-puasnya. Hanya
sesekali, pada saat yang tepat aku menyela. Sesekali aku menyapukan
pandangan melihat keadaan sekeliling. Juga ke luar jendela agar tahu
metro sudah melaju sampai di mana. Sekilas ujung mataku menangkap
perempuan bercadar biru mengeluarkan mushaf dari tasnya, dan membacanya
dengan tanpa suara. Atau mungkin dengan suara tapi sangat lirih sehingga
aku tidak mendengarnya. Orang-orang membaca Al-Qur’an di metro, di bis,
di stasiun dan di terminal adalah pemandangan yang tidak aneh di Cairo.
Apalagi jika bulan puasa tiba.
Metro sampai di Maadi, kawasan
elite di Cairo setelah Heliopolis, Dokki, El-Zamalek dan Mohandesen.
Sebagian orang malah mengatakan Maadi adalah kawasan paling elite. Lebih
elite dari Heliopolis. Tidak terlalu penting membandingkan satu sama
lain. Nama-nama itu semuanya nama kawasan elite. Masing-masing punya
kelebihan. Dokki terkenal sebagai tempatnya para diplomat tinggal.
Mohandesen tempatnya para pengusaha dan selebritis.
Sedangkan
Maadi mungkin adalah kawasan yang paling teratur tata kotanya. Dirancang
oleh kolonial Inggris. Jalan-jalannya lebar. Setiap rumah ada tamannya.
Dan dekat sungai Nil. Tinggal di Maadi memiliki prestise sangat tinggi.
Prestise-nya seumpama tinggal di Paris dibandingkan dengan tinggal di
kota-kota besar lainnya di Eropa. Itu keterangan yang aku dapat dari
Tuan Boutros, ayahnya Maria yang bekerja di sebuah bank swasta di Maadi.
Masalah prestise memang sangat subjektif. Orang yang tinggal di kawasan
agak kumuh Sayyeda Zaenab merasa lebih prestise dibandingkan dengan
tinggal di kawasan lain di Cairo. Alasan mereka karena dekat dengan
makam Sayyeda Zaenab, cucu Baginda Nabi Saw. Demikian juga yang tinggal
di dekat masjid Amru bin Ash. Mereka merasa lebih beruntung dan selalu
bangga bisa tinggal di dekat masjid pertama yang didirikan di benua
Afrika itu.
Begitu pintu metro terbuka, beberapa penumpang
turun. Lalu beberapa orang naik-masuk. Mataku menangkap ada tiga orang
bule masuk. Yang seorang nenek-nenek. Ia memakai kaos dan celana pendek
sampai lutut. Wajahnya tampak pucat. Mungkin karena kepanasan. Ia
diiringi seorang pemuda dan seorang perempuan muda. Mungkin anaknya atau
cucunya. Keduanya memakai ransel. Pemuda bule itu memakai topi
berbendera Amerika dan berkaca mata hitam. Ia juga hanya berkaos sport
putih dan celana pendek sampai lutut. Yang perempuan memakai kaos ketat
tanpa lengan, you can see. Dan bercelana pendek ketat. Semua bagian
tubuhnya menonjol. Lekak-lekuknya jelas. Bagian pusarnya kelihatan. Ia
seperti tidak berpakaian. Mereka berdua mengitarkan pandangan. Mencari
tempat duduk. Sayang, tak ada yang kosong. Beberapa orang justru berdiri
termasuk diriku.
Aku tersenyum pada Ashraf sambil berkata,
“Ashraf kau mau titip pesan pada Presiden Amerika nggak?”
“Apa maksudmu?”
“Itu, mumpung ada orang Amerika. Minggu depan mereka mungkin sudah
kembali ke Amerika. Kau bisa titip pesan pada mereka agar presiden
mereka tidak bertindak bodoh seperti yang kau katakan tadi.”
Ashraf menoleh ke kanan dan memandang tiga bule itu dengan raut tidak senang. Tiba-tiba ia berteriak,
“Ya Amrikaniyyun, la’natullah ‘alaikum!”
Kontan para penumpang yang mendengar perkataan Ashraf itu melongok ke
arah tiga bule yang baru masuk itu. Gerakan persis anak-anak ayam yang
kaget atas kedatangan musang di kandangnya. Kusisir wajah orang-orang
Mesir. Raut-raut kurang simpati dan tidak senang. Apalagi pakaian
perempuan muda Amerika itu bisa dikatakan tidak sopan. Orang-orang Mesir
memang menganggap Amerika sebagai biang kerusakan di Timur Tengah.
Orang-orang Mesir sangat marah pada Amerika yang mencoba mengadu domba
umat Islam dengan umat Kristen Koptik. Amerika pernah menuduh pemerintah
Mesir dan kaum muslimin berlaku semena-mena pada umat Koptik. Tentu
saja tuduhan itu membuat gerah seluruh penduduk Mesir. Bapa Shnouda,
pemimpin tertinggi dan kharismatik umat Kristen Koptik serta merta
memberikan keterangan pers bahwa tuduhan Amerika dusta belaka. Sebuah
tuduhan yang bertujuan hendak menghancurkan sendi-sendi persaudaraan
umat Islam dan umat Koptik yang telah kuat mengakar berabad-abad lamanya
di bumi Kinanah.
Untung ketiga orang Amerika itu tidak bisa
bahasa Arab. Mereka kelihatannya tidak terpengaruh sama sekali dengan
kata-kata yang diucapkan Ashraf. Memang, kalau sedang jengkel orang
Mesir bisa mengatakan apa saja. Di pasar Sayyeda Zainab aku pernah
melihat seorang penjual ikan marah-marah pada isterinya. Entah karena
apa. Ia menghujani isterinya dengan sumpah serapah yang sangat kasar dan
tidak nyaman di dengar telinga. Di antara kata-kata kasar yang kudengar
adalah: Ya bintal haram, ya syarmuthah, ya bintal khinzir...!26 Bulu
romaku sampai berdiri. Ngeri mendengarnya. Sang isteri juga tak mau
kalah. Ia membalas dengan caci maki dan serapah yang tak kalah keras dan
kotornya. Dan sumpah serapah yang mengandung laknat adalah termasuk
paling kasar.
Telingaku paling tidak suka mendengar caci
mencaci, apalagi umpatan melaknat. Tak ada yang berhak melaknat manusia
kecuali Tuhan. Manusia jelas-jelas telah dimuliakan oleh Tuhan. Tanpa
membedakan siapa pun dia. Semua manusia telah dimuliakan Tuhan
sebagaimana tertera dalam Al-Qur’an, Wa laqad karramna banii Adam. Dan
telah Kami muliakan anak keturunan Adam! Jika Tuhan telah memuliakan
manusia, kenapa masih ada manusia yang mencaci dan melaknat sesama
manusia? Apakah ia merasa lebih tinggi martabatnya daripada Tuhan?
Tindakan Ashraf melaknat tiga turis Amerika itu sangat aku sesalkan.
Tindakannya jauh dari etika Al-Qur’an, padahal dia tiap hari membaca
Al-Qur’an. Ia telah menamatkan qiraah riwayat Imam Hafsh. Namun ia
berhenti pada cara membacanya saja, tidak sampai pada penghayatan ruh
kandungannya. Semoga Allah memberikan petunjuk di hatinya.
Yang aku herankan, dalam kondisi panas seperti ini, kenapa bule-bule itu
ada di dalam metro. Seandainya mau bepergian kenapa tidak memakai
limousin atau taksi yang ber-AC. Dalam hati aku merasa kasihan pada
mereka. Mereka seperti tersiksa. Basah oleh keringat. Wajah dan kulit
mereka kemerahan. Yang paling kasihan adalah yang nenek-nenek. Beberapa
kali ia menenggak air mineral. Mukanya tetap saja pucat. Mereka tidak
biasa kepanasan seperti ini. Aku jadi teringat Majidov, teman dari
Rusia. Ia sangat tidak tahan dengan panasnya Mesir. Ia tinggal di
Madinatul Bu’uts, atau biasa disebut Bu’uts saja. Yaitu asrama mahasiswa
Al Azhar dari seluruh penjuru dunia. Di Bu’uts tidak ada AC-nya. Jika
musim panas tiba dia akan hengkang dari Bu’uts dan menyewa flat bersama
beberapa temannya di kawasan Rab’ah El-Adawea. Mencari yang ada AC-nya.
Tapi tidak semua mahasiswa dari Rusia seperti Majidov. Banyak juga yang tahan dengan musim panas.
Tak ada yang bergerak mempersilakan nenek bule itu untuk duduk. Ini
yang aku sesalkan. Beberapa lelaki muda atau setengah baya yang masih
kuat tetap saja tidak mau berdiri dari tempat duduk mereka. Biasanya,
begitu melihat orang tua, apalagi nenek-nenek, beberapa orang langsung
berdiri menyilakan duduk. Tapi kali ini tidak. Lelaki bule itu mengajak
bicara seorang pemuda Mesir berbaju kotak-kotak lengan pendek yang duduk
di dekatnya. Sekilas di antara deru metro kutangkap maksud perkataan si
bule. Ia minta kepada pemuda Mesir itu memberi kesempatan pada ibunya
yang sudah tua untuk duduk. Mereka bertiga akan turun di Tahrir. Tapi
pemuda Mesir itu sama sekali tidak menanggapinya. Entah kenapa. Apa
karena dia tidak paham bahasa Inggris, atau karena ketidaksukaannya pada
orang Amerika? Aku tidak tahu.
Nenek bule itu kelihatannya
tidak kuat lagi berdiri. Ia hendak duduk menggelosor di lantai. Belum
sampai nenek bule itu benar-benar menggelosor, tiba-tiba perempuan
bercadar yang tadi kupersilakan duduk itu berteriak mencegah,
“Mom, wait! Please, sit down here!”
Perempuan bercadar biru muda itu bangkit dari duduknya. Sang nenek
dituntun dua anaknya beranjak ke tempat duduk. Setelah si nenek duduk,
perempuan bule muda berdiri di samping perempuan bercadar. Aku melihat
pemandangan yang sangat kontras.
Sama-sama perempuan. Yang
satu auratnya tertutup rapat. Tak ada bagian dari tubuhnnya yang membuat
jantung lelaki berdesir. Yang satunya memakai pakaian sangat ketat,
semua lekak-lekuk tubuhnya kelihatan, ditambah basah keringatnya bule
itu nyaris seperti telanjang.
“Thank you. It’s very kind of you!” Perempuan bule muda mengungkapkan rasa terima kasih pada perempuan bercadar.
“You’re welcome,” lirih perempuan bercadar. Bahasa Inggrisnya bagus.
Sama sekali tak kuduga. Keduanya lalu berkenalan dan berbincang-bincang.
Perempuan bercadar minta maaf atas perlakuan saudara seiman yang
mungkin kurang ramah. Ternyata lebih dari yang kunilai. Perempuan
bercadar itu benar-benar berbicara sefasih orang Inggris. Biasanya orang
Mesir sangat susah berbahasa Inggris dengan fasih. Kata ‘friend’ selalu
mereka ucapan ‘bren’. Huruf ‘f’ jadi ‘b’. Aku sering geli mendengarnya.
Tapi perempuan bercadar ini sungguh fasih. Lebih fasih dari pembaca
berita Nile TV. Perempuan bule tersenyum dan berkata,
“Oh not
at all. It’s all right. Cuaca memang panas dan melelahkan. Semuanya
lelah. Dalam keadaan lelah terkadang susah untuk mengalah. Dan itu
sangat manusiawi.”
“Busyit! Hei perempuan bercadar, apa yang kau lakukan!”
Pemuda berbaju kotak-kotak bangkit dengan muka merah. Ia berdiri tepat
di samping perempuan bercadar dan membentaknya dengan kasar. Rupanya ia
mendengar dan mengerti percakapan mereka berdua.
Perempuan
bercadar kaget. Namun aku tidak bisa menangkap raut kagetnya sebab
mukanya tertutup cadar. Yang bisa kutangkap adalah gerakan kepalanya
yang terperangah, kedua matanya yang sedikit menciut, kulit putih antara
dua matanya sedikit mengkerut, alisnya seperti mau bertemu.
“Hal a..ana khata’?” Ucap perempuan bercadar tergagap. Ia memakai bahasa
fusha28, bukan bahasa ‘amiyah.29 Maksudnya bisa dipahami, tapi
susunannya janggal. Apakah mungkin karena dirinya terlalu kaget atas
bentakan pemuda Mesir itu.
Mendengar jawaban seperti itu si
pemuda malah semakin naik pitam. Ia kembali membentak dan memaki-maki
secara kasar dengan bahasa ‘amiyah,
“Yakhrab baitik!30 Kau
telah menghina seluruh orang Mesir yang ada di metro ini. Kau sungguh
keterlaluan! Kelihatannya saja bercadar, sok alim, tapi sebetulnya kau
perempuan bangsat! Kau kira kami tidak tahu sopan-santun apa? Sengaja
kami mengacuhkan orang Amerika itu untuk sedikit memberi pelajaran.
Ee..bukannya kau mendukung kami. Kau malah mempersilakan setan-setan
bule itu duduk. Dan seolah paling baik, kau sok jadi pahlawan dengan
memintakan maaf atas nama kami semua. Kau ini siapa, heh?”
Pemuda itu sudah keterlaluan. Aku berharap ada yang bertindak. Ashraf
dan seorang lelaki setengah baya berpakaian abu-abu mendekati pemuda dan
perempuan bercadar. Aku sedikit lega.
“Kau memang sungguh
kurang ajar perempuan! Kau membela bule-bule Amerika yang telah membuat
bencana di mana-mana. Di Afganistan. Di Palestina. Di Irak dan di
mana-mana. Mereka juga tiada henti-hentinya menggoyang negara kita. Kau
ini muslimah macam apa, hah!?” Ashraf marah sambil menuding-nuding
perempuan bercadar itu.
Aku kaget bukan main. Aku tak mengira Ashraf akan berkata sekasar itu. Kelegaanku berubah jadi kekecewaan mendalam.
“Meski kau bercadar dan membawa mushaf ke mana-mana, nilaimu tak lebih
dari seorang syarmuthah!”31 umpat lelaki berpakaian abu-abu.
Ini sudah keterlaluan. Menuduh seorang perempuan baik-baik sehina pelacur tidak bisa dibenarkan.
Aku membaca istighfar dan shalawat berkali-kali. Aku sangat kecewa pada
mereka. Perempuan bercadar itu diam seribu bahasa. Matanya
berkaca-kaca. Bentakan, cacian, tudingan dan umpatan yang ditujukan
padanya memang sangat menyakitkan. Aku tak bisa diam. Kucopot topi yang
menutupi kopiah putihku. Lalu aku mendekati mereka sambil mencopot kaca
mata hitamku.
“Ya jama’ah, shalli ‘alan nabi, shalli ‘alan
nabi!”32 ucapku pada mereka sehalus mungkin. Cara menurunkan amarah
orang Mesir adalah dengan mengajak membaca shalawat. Entah riwayatnya
dulu bagaimana. Di mana-mana, di seluruh Mesir, jika ada orang
bertengkar atau marah, cara melerai dan meredamnya pertama-tama adalah
dengan mengajak membaca shalawat. Shalli ‘alan nabi, artinya bacalah
shalawat ke atas nabi. Cara ini biasanya sangat manjur.
Benar,
mendengar ucapanku spontan mereka membaca shalawat. Juga para penumpang
metro lainnya yang mendengar. Orang Mesir tidak mau dikatakan orang
bakhil. Dan tiada yang lebih bakhil dari orang yang mendengar nama nabi,
atau diminta bershalawat tapi tidak mau mengucapkan shalawat. Begitu
penjelasan Syaikh Ahmad waktu kutanyakan ihwal cara aneh orang Mesir
dalam meredam amarah. Justru jika ada orang sedang marah lantas kita
bilang padanya, La taghdhab! (yang artinya: jangan marah!) terkadang
malah akan membuat ia semakin marah.
Lalu aku menjelaskan pada
mereka bahwa yang dilakukan perempuan bercadar itu benar. Bukanya
menghina orang Mesir, justru sebaliknya. Dan umpatan-umpatan yang
ditujukan padanya itu sangat tidak sopan dan tidak bisa dibenarkan. Aku
beberkan alasan-alasan kemanusiaan. Mereka bukannya sadar, tapi malah
kembali naik pitam. Si pemuda marah dan mencela diriku dengan sengit.
Juga si bapak berpakaian abu-abu. Sementara Ashraf bilang, “Orang
Indonesia, sudahlah, kau jangan ikut campur urusan kami!”
Aku
kembali mengajak mereka membaca shalawat. Aku nyaris kehabisan akal.
Akhirnya kusitir beberapa hadits nabi untuk menyadarkan mereka. Tapi
orang Mesir seringkali muncul besar kepalanya dan merasa paling menang
sendiri.
Pemuda Mesir malah menukas sengak, “Orang Indonesia,
kau tahu apa sok mengajari kami tentang Islam, heh! Belajar bahasa Arab
saja baru kemarin sore. Juz Amma entah hafal entah tidak. Sok pintar
kamu! Sudah kau diam saja, belajar baik-baik selama di sini dan jangan
ikut campur urusan kami!”
Aku diam sesaat sambil berpikir
bagaimana caranya menghadapi anak turun Fir’aun yang sombong dan keras
kepala ini. Aku melirik Ashraf. Mata kami bertatapan. Aku berharap dia
berlaku adil. Dia telah berkenalan denganku tadi. Kami pernah akrab
meskipun cuma sesaat. Kupandangi dia dengan bahasa mata mencela. Ashraf
menundukkan kepalanya, lalu berkata,
“Kapten, kau tidak boleh
berkata seperti itu. Orang Indonesia ini sudah menyelesaikan licence-nya
di Al Azhar. Sekarang dia sedang menempuh program magisternya. Walau
bagaimana pun, dia seorang Azhari. Kau tidak boleh mengecilkan dia. Dia
hafal Al-Qur’an. Dia murid Syaikh Utsman Abdul Fattah yang terkenal
itu.”
Pembelaan Ashraf ini sangat berarti bagiku. Pemuda berbaju
kotak-kotak itu melirik kepadaku lalu menunduk. Mungkin dia malu telah
berlaku tidak sopan kepadaku. Tetapi lelaki berpakaian abu-abu
kelihatannya tidak mau menerima begitu saja.
“Dari mana kau tahu? Apa kau teman satu kuliahnya?” tanyanya.
Ashraf tergagap, “Tidak. Aku tidak teman kuliahnya. Aku tahu saat berkenalan dengannya tadi.”
“Kau terlalu mudah percaya. Bisa saja dia berbohong. Program magister
di Al Azhar tidak mudah. Jadi murid Syaikh Utsman juga tidak mudah.”
Lelaki itu mencela Ashraf. Dia lalu berpaling ke arahku dan berkata,
“Hei orang Indonesia, kalau benar kau S.2. di Al Azhar mana kartumu!?”
Lelaki itu membentak seperti polisi intel. Berurusan dengan orang awam
Mesir yang keras kepala memang harus sabar. Tapi jika mereka sudah
tersentuh hatinya, mereka akan bersikap ramah dan luar biasa bersahabat.
Itulah salah satu keistimewaan watak orang Mesir. Terpaksa kubuka tas
cangklongku. Kuserahkan dua kartu sekaligus. Kartu S.2. Al Azhar dan
kartu keanggotaan talaqqi qiraah sab’ah dari Syaikh Utsman. Tidak hanya
itu, aku juga menyerahkan selembar tashdiq33 resmi dari universitas.
Tasdiq yang akan kugunakan untuk memperpanjang visa Sabtu depan.
Lelaki setengah baya lalu meneliti dua kartu dan tashdiq yang masih
gres itu dengan seksama. Ia manggut-manggut, kemudian menyerahkannya
pada pemuda berbaju kotak-kotak yang keras kepala yang ada di
sampingnya.
“Kebetulan saat ini saya sedang menuju masjid Abu
Bakar Ash-Shiddiq untuk talaqqi. Kalau ada yang mau ikut menjumpai
Syaikh Utsman boleh menyertai saya.” Ujarku tenang penuh kemenangan.
Kulihat wajah mereka tidak sepitam tadi. Sudah lebih mencair. Bahkan
ada gurat rasa malu pada wajah mereka. Jika kebenaran ada di depan mata,
orang Mesir mudah luluh hatinya.
“Maafkan kelancangan kami,
Orang Indonesia. Tapi perempuan bercadar ini tidak pantas dibela. Ia
telah melakukan tindakan bodoh!” kata pemuda Mesir berbaju kotak-kotak
sambil menyerahkan kembali dua kartu dan tashdiq kepadaku.
33
Tashdiq adalah surat keterangan resmi dari Universitas, bahwa pemiliknya
benar-benar mahasiswa pada fakultas, jurusan dan program tertentu di
universitas itu. Tashdiq biasanya diperlukan untuk urusan-urusan resmi.
Misalnya perpanjangan visa belajar, pengambilan visa haji, meminta atau
memperpanjang beasiswa pada suatu lembaga dan lain sebagainya.
Aku menghela nafas panjang. Metro melaju kencang menembus udara panas. Sesekali debu masuk berhamburan.
“Terus terang, aku sangat kecewa pada kalian! Ternyata sifat kalian
tidak seperti yang digambarkan baginda Nabi. Beliau pernah bersabda
bahwa orang-orang Mesir sangat halus dan ramah, maka beliau
memerintahkan kepada shahabatnya, jika kelak membuka bumi Mesir
hendaknya bersikap halus dan ramah. Tapi ternyata kalian sangat kasar.
Aku yakin kalian bukan asli orang Mesir. Mungkin kalian sejatinya
sebangsa Bani Israel. Orang Mesir asli itu seperti Syaikh Muhammad
Mutawalli Sya’rawi yang ramah dan pemurah,” ucapku datar. Aku yakin akan
membuat hati orang Mesir yang mendengarnya bagaikan tersengat aliran
listrik.
“Maafkan kami, Orang Indonesia. Kami memang emosi
tadi. Tapi jangan kau katakan kami bukan orang Mesir. Jangan pula kau
katakan kami ini sebangsa Bani Israel. Kami asli Mesir. Kami satu moyang
dengan Syaikh Sya’rawi rahimahullah,” lelaki setengah baya itu tidak
terima. Syaikh Sya’rawi memang seorang ulama yang sangat merakyat.
Sangat dicintai orang Mesir. Hampir semua orang Mesir mengenal dan
mencintai beliau. Mereka sangat bangga memiliki seorang Sya’rawi yang
dihormati di seantero penjuru Arab.
“Yang aku tahu, selama
ini, orang Mesir asli sangat memuliakan tamu. Orang Mesir asli sangat
ramah, pemurah, dan hatinya lembut penuh kasih sayang. Sifat mereka
seperti sifat Nabi Yusuf dan Nabi Ya’qub. Syaikh Sya’rawi, Syaikh Abdul
Halim Mahmud, Syaikh Muhammad Ghazali, Syaikh Muhammad Hasan, Syaikh
Kisyk, Syaikh Muhammad Jibril, Syaikh Athea Shaqr, Syaikh Ismail Diftar,
Syaikh Utsman dan ulama lainnya adalah contoh nyata orang Mesir asli
yang berhati lembut, sangat memuliakan tamu dan sangat memanusiakan
manusia. Tapi apa yang baru saja kalian lakukan?! Kalian sama sekali
tidak memanusiakan manusia dan tidak punya rasa hormat sedikit pun pada
tamu kalian. Orang bule yang sudah nenek-nenek itu adalah tamu kalian.
Mereka bertiga tamu kalian. Tetapi kenapa kalian malah melaknatnya. Dan
ketika saudari kita yang bercadar ini berlaku sebagai seorang muslimah
sejati dan sebagai seorang Mesir yang ramah, kenapa malah kalian cela
habis-habisan!? Kalian bahkan menyumpahinya dengan perkataan kasar yang
sangat menusuk perasaan dan tidak layak diucapkan oleh mulut orang yang
beriman! ”
“Tapi Amerika sudah keterlaluan! Apa salah jika kami
sedikit saja mengungkapkan kejengkelan kami dengan memberi pelajaran
sedikit saja pada orang-orang Amerika itu?!” Lelaki setengah baya masih
berusaha membenarkan tindakannya. Aku tidak merasa aneh. Begitulah orang
Mesir, selalu merasa benar. Dan nanti akan luluh jika berhadapan dengan
kebenaran yang seterang matahari.
“Kita semua tidak menyukai
tindak kezhaliman yang dilakukan siapa saja. Termasuk yang dilakukan
Amerika. Tapi tindakan kalian seperti itu tidak benar dan jauh dari
tuntunan ajaran baginda Nabi yang indah.”
“Lalu kami harus
berbuat apa dan bagaimana? Ini mumpung ada orang Amerika. Mumpung ada
kesempatan. Dengan sedikit pelajaran mereka akan tahu bahwa kami tidak
menyukai kezhaliman mereka. Biar nanti kalau pulang ke negaranya mereka
bercerita pada tetangganya bagaimana tidak sukanya kami pada mereka!”
“Justru tindakan kalian yang tidak dewasa seperti anak-anak ini akan
menguatkan opini media massa Amerika yang selama ini beranggapan orang
Islam kasar dan tidak punya perikemanusiaan. Padahal baginda Rasul
mengajarkan kita menghormati tamu. Apakah kalian lupa, beliau bersabda,
siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hormatilah tamunya.
Mereka bertiga adalah tamu di bumi Kinanah ini. Harus dihormati
sebaik-baiknya. Itu jika kalian merasa beriman kepada Allah dan hari
akhir. Jika tidak, ya terserah! Lakukanlah apa yang ingin kalian
lakukan. Tapi jangan sekali-kali kalian menamakan diri kalian bagian
dari umat Islam. Sebab tindakan kalian yang tidak menghormati tamu itu
jauh dari ajaran Islam.”
Lelaki setengah baya itu diam. Pemuda
berbaju kotak-kotak menunduk. Ashraf membisu. Para penumpang yang lain,
termasuk perempuan bercadar juga diam. Metro terus berjalan dengan
suara bergemuruh, sesekali mencericit.
“Coba kalian jawab
pertanyaanku ini. Kenapa kalian berani menyakiti Rasulullah?!” tanyaku
sambil memandang ketiga orang Mesir bergantian. Mereka agak terkejut
mendengar pertanyaanku itu.
“Akhi, mana mungkin kami berani menyakiti Rasulullah yang kami cintai,” jawab Ashraf.
“Kenapa kalian kelak di hari akhir berani berseteru di hadapan Allah melawan Rasulullah?” tanyaku lagi.
“Akhi, kau melontarkan pertanyaan gila. Kita semua di hari akhir kelak
mengharap syafaat Rasulullah, bagaimana mungkin kami berani berseteru
dengan beliau di hadapan Allah!” jawab Ashraf.
“Tapi kalian
telah melakukan tindakan sangat lancang. Kalian telah menyakiti
Rasulullah. Kalian telah menantang Rasulullah untuk berseteru di hadapan
Allah kelak di hari akhir!” ucapku tegas sedikit keras.
Lelaki setengah baya, Ashraf, pemuda berbaju kotak-kotak dan beberapa
penumpang metro yang mendengar ucapanku semuanya tersentak kaget.
“Apa maksudmu, Andonesy? Kau jangan bicara sembarangan!” jawab lelaki setengah baya sedikit emosi.
“Paman, aku tidak berkata sembarangan. Aku akan sangat malu pada diriku
sendiri jika berkata dan bertindak sembarangan. Baiklah, biar aku
jelaskan. Dan setelah aku jelaskan kalian boleh menilai apakah aku
berkata sembarangan atau bukan. Harus kalian mengerti, bahwa ketiga
orang bule ini selain tamu kalian mereka sama dengan ahlu dzimmah. Tentu
kalian tahu apa itu ahlu dzimmah. Disebut ahlu dzimmah karena mereka
berada dalam jaminan Allah, dalam jaminan Rasul-Nya, dan dalam jaminan
jamaah kaum muslimin. Ahlu dzimmah adalah semua orang non muslim yang
berada di dalam negara tempat kaum muslimin secara baik-baik, tidak
ilegal, dengan membayar jizyah dan mentaati peraturan yang ada dalam
negara itu. Hak mereka sama dengan hak kaum muslimin. Darah dan
kehormatan mereka sama dengan darah dan kehormatan kaum muslimin. Mereka
harus dijaga dan dilindungi. Tidak boleh disakiti sedikit pun. Dan
kalian pasti tahu, tiga turis Amerika ini masuk ke Mesir secara resmi.
Mereka membayar visa. Kalau tidak percaya coba saja lihat paspornya.
Maka mereka hukumnya sama dengan ahlu dzimmah. Darah dan kehormatan
mereka harus kita lindungi. Itu yang diajarkan Rasulullah Saw. Tidakkah
kalian dengar sabda beliau, ‘Barangsiapa menyakiti orang zhimmi (ahlu
zhimmah) maka aku akan menjadi seterunya. Dan siapa yang aku menjadi
seterunya dia pasti kalah di hari kiamat.
Beliau juga
memperingatkan, ‘Barangsiapa yang menyakiti orang dzimmi, dia telah
menyakiti diriku dan barangsiapa menyakiti diriku berarti dia menyakiti
Allah.’35 Begitulah Islam mengajarkan bagaimana memperlakukan non muslim
dan para tamu asing yang masuk secara resmi dan baik-baik di negara
kaum muslimin. Imam Ali bahkan berkata, ‘Begitu membayar jizyah, harta
mereka menjadi sama harus dijaganya dengan harta kita, darah mereka sama
nilainya dengan darah kita.’ Dan para turis itu telah membayar visa dan
ongkos administrasi lainnya, sama dengan membayar jizyah.
Mereka menjadi tamu resmi, tidak ilegal, maka harta, kehormatan dan
darah mereka wajib kita jaga bersama-sama. Jika tidak, jika kita sampai
menyakiti mereka, maka berarti kita telah menyakiti baginda Nabi, kita
juga telah menyakiti Allah. Kalau kita telah lancang berani menyakiti
Allah dan Rasul-Nya, maka siapakah diri kita ini? Masih pantaskan kita
mengaku mengikuti ajaran baginda Nabi?”
Lelaki setengah baya
itu tampak berkaca-kaca. Ia beristighfar berkali-kali. Lalu mendekati
diriku. Memegang kepalaku dengan kedua tangannya dan mengecup kepalaku
sambil berkata, “Allah yaftah ‘alaik, ya bunayya! Allah yaftah ‘alaik!
Jazakallah khaira!”36 Ia telah tersentuh. Hatinya telah lembut.
Setelah itu giliran Ashraf merangkulku.
“Senang sekali aku bertemu dengan orang sepertimu, Fahri!” katanya.
Aku tersenyum, ia pun tersenyum. Pemuda berbaju kotak-kotak lalu
mempersilakan pria bule yang berdiri di dekat neneknya untuk duduk di
tempat duduknya. Dua pemuda Mesir yang duduk di depan nenek bule berdiri
dan mempersilakan pada perempuan bercadar dan perempuan bule untuk
duduk.
Begitulah.
Salah satu keindahan hidup di Mesir
adalah penduduknya yang lembut hatinya. Jika sudah tersentuh mereka akan
memperlakukan kita seumpama raja. Mereka terkadang keras kepala, tapi
jika sudah jinak dan luluh mereka bisa melakukan kebaikan seperti
malaikat. Mereka kalau marah meledak-ledak tapi kalau sudah reda
benar-benar reda dan hilang tanpa bekas. Tak ada dendam di belakang yang
diingat sampai tujuh keturunan seperti orang Jawa. Mereka mudah
menerima kebenaran dari siapa saja.
Metro terus melaju. Tak
terasa sudah sampai mahattah Mar Girgis. Ashraf mendekatkan diri ke
pintu. Ia bersiap-siap. Mahattah depan adalah El-Malik El-Saleh, setelah
itu Sayyeda Zeinab dan ia akan turun di sana. Aku menghitung masih ada
tujuh mahattah baru sampai di Ramsis. Setelah itu aku akan pindah metro
jurusan Shubra El-Khaima. Perjalanan masih jauh. Metro kembali berjalan.
Pelan-pelan lalu semakin kencang. Tak lama kemudian sampai di
El-Malik El-Saleh. Metro berhenti. Pintu dibuka. Beberapa orang turun.
Lelaki setengah baya hendak turun. Sebelum turun ia menyalami diriku dan
mengucapkan terima kasih sambil mulutnya tiada henti mendoakan diriku.
Aku mengucapkan amin berkali-kali.
Topi dan kaca mata hitamku
kembali aku pakai. Tak jauh dariku, perempuan bercadar nampak asyik
berbincang dengan perempuan bule. Sedikit-sedikit telingaku menangkap
isi perbincangan mereka. Rupanya perempuan bercadar sedang menjelaskan
semua yang tadi terjadi. Kejengkelan orang-orang Mesir pada Amerika.
Kekeliruan mereka serta pembetulan-pembetulan yang aku lakukan.
Perempuan bercadar juga menjelaskan maksud dari hadits-hadits nabi yang
tadi aku ucapkan dengan bahasa Inggris yang fasih. Perempuan bule itu
mengangguk-anggukkan kepala. Sampai di Sayyeda Zeinab, Ashraf turun
setelah terlebih dahulu melambaikan tangan padaku. Seorang ibu yang
duduk di samping nenek bule turun. Kursinya kosong. Aku bisa duduk di
sana kalau mau. Tapi kulihat seorang gadis kecil membawa tas belanja
masuk. Langsung kupersilakan dia duduk.
Metro kembali melaju.
Perempuan bercadar dan perempuan bule masih berbincang-bincang dengan
akrabnya. Tapi kali ini aku tidak mendengar dengan jelas apa yang mereka
perbincangkan. Angin panas masuk melalui jendela. Aku memandang ke
luar.
Rumah-rumah penduduk tampak kotak-kotak tak teratur
seperti kardus bertumpukan tak teratur. Metro masuk ke lorong bawah
tanah. Suasana gelap sesaat. Lalu lampu-lampu metro menyala. Tak lama
kemudian metro sampai mahattah Saad Zaghloul dan berhenti. Beberapa
orang turun dan naik. Tiga bule itu bersiap hendak turun, juga perempuan
bercadar. Berarti mereka mau turun di Tahrir. Perempuan bercadar masih
bercakap dengan perempuan bule.
Keduanya sangat dekat
denganku. Aku bisa mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan.
Tentang asal mereka masing. Perempuan bercadar itu ternyata lahir di
Jerman, dan besar juga di Jerman. Namun ia berdarah Jerman, Turki dan
Palestina. Sedangkan perempuan bule lahir dan besar di Amerika. Ia
berdarah Inggris dan Spanyol. Keduanya bertukar kartu nama.
Perempuan bule tepat berada di depanku. Wajahnya masih menghadap
perempuan bercadar. Metro bercericit mengerem. Gerbong sedikit goyang.
Tubuh perempuan bule bergoyang. Saat itulah dia melihat diriku. Ia
tersenyum sambil mengulurkan tangannya kepadaku dan berkata,
“Hai Indonesian, thank’s for everything. My name’s Alicia.”
“Oh, you’re welcome. My name is Fahri,” jawabku sambil
menangkupkan kedua tanganku di depan dada, aku tidak mungkin menjabat tangannya.
“Ini bukan berarti saya tidak menghormati Anda. Dalam ajaran Islam,
seorang lelaki tidak boleh bersalaman dan bersentuhan dengan perempuan
selain isteri dan mahramnya.” Aku menjelaskan agar dia tidak salah
faham.
Alicia tersenyum dan berseloroh, “Oh, never mind. And this is my name card, for you.” Ia memberikan kartu namanya.
“Thank’s,” ujarku sambil menerima kartu namanya.
“It’s a pleasure.”
Metro berhenti.
Alicia, neneknya dan saudaranya mendekati pintu hendak keluar.
Perempuan bercadar masih berdiri di tempatnya. Ia melihat ke arah
orang-orang yang hendak turun. Perlahan pintu dibuka. Ketika orang-orang
mulai turun, perempuan bercadar itu bergerak melangkah, ia menyempatkan
untuk menyapaku,
“Indonesian, thank you.”
Aku teringat dia orang Jerman. Aku iseng menjawab dengan bahasa Jerman,
“Bitte!”
Agaknya perempuan bercadar itu kaget mendengar jawabanku dengan bahasa
Jerman. Ia urung melangkah ke pintu. Ia malah menatap diriku dengan
sorat mata penuh tanda tanya.
“Sprechen Sie Deutsch?” tanyanya
dengan bahasa Jerman. Ia mungkin ingin langsung meyakinkan dirinya
bahwa apa yang tadi ia dengarkan dariku benar-benar bahasa Jerman. Bahwa
aku bisa berbahasa Jerman. Bahwa ia tidak salah dengar.
“Ja,
ein wenig.38 Alhamdulillah!” jawabku tenang. Kalau sekadar bercakap
dengan bahasa Jerman insya Allah tidak terlalu susah. Kalau aku disuruh
membuat tesis dengan bahasa Jerman baru menyerah.
“Sind Sie Herr Fahri?”
Aku tersenyum mendengar pertanyaannya. Ia bertanya seperti itu. Berarti
ia benar-benar mendengarkan dengan baik pendebatanku dengan tiga orang
Mesir tadi sehingga tahu namaku. Atau dia mendengarkan aku berkenalan
dengan Alicia.
“Ja. Mein name ist Fahri.” Jawabku.
“Mein name ist Aisha,” sahutnya sambil menyerahkan kartu nama. Ia lalu menyodorkan buku notes kecil dan pulpen.
“Bitte, schreiben Sie ihren namen!” katanya.
Kuterima buku notes kecil dan pulpen itu. Aku paham maksud Aisha, tentu
tidak sekadar nama tapi dilengkapi dengan alamat atau nomor telpon.
Masinis metro membunyikan tanda alarm bahwa sebentar lagi pintu metro
akan ditutup dan metro akan meneruskan perjalanan. Aku hanya menuliskan
nama dan nomor handphone-ku. Lalu kuserahkan kembali padanya. Aisha
langsung bergegas turun sambil berkata,
“Danke, auf wiedersehn!”
“Auf wiedersehn!” jawabku.
Metro kembali berjalan. Ada tempat kosong. Saatnya aku duduk. Sudah
separuh perjalanan lebih. Sudah setengah dua lebih lima menit. Waktu
masih cukup. Insya Allah sampai di hadapan Syaikh Utsman tepat pada
waktunya. Kalaupun terlambat hanya beberapa menit saja. Masih dalam
batas yang bisa dimaafkan. Dengan duduk aku merasa lebih tenang. Ini
saatnya aku mengulang dan memperbaiki hafalan Al-Qur’an yang akan aku
setorkan pada Syaikh Utsman.
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar