Sudah sepuluh jam Zul di Perpustakaan AkademiPengajian Islam Universiti Malaya. Sejak jam delapan
pagi sampai jam lima sore. Matanya terasa berat.
Kepalanya seperti berdenyut. Inilah hari kelima ia
memenjarakan diri di perpustakaan. Empat hari
sebelumnya di Perpustakaan Fakulti Pendidikan.
Hari ini ia berada di Perpustakaan Akademi Pengajian
Islam untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan kecil
penulisan ayat dan hadis. Ia menulis tentang pendidikan
pesantren dan dampaknya terhadap kedewasaan berpikir
masyarakat Indonesia. la menyempitkan wilayah
kajiannya pada pesantren-pesantren di Pati. la sudah
bertekad tesisnya harus selesai ia perbaiki dalam satu
minggu. Para guru besar yang menilai tesisnya memberi
catatan agar ia memperbaiki tesisnya dalam waktu satu
bulan.
Perpustakaan Akademi Pengajian Islam itu telah sepi.
Di lantai dua hanya tinggal dirinya saja. Petugas
perpustakaan telah mengumumkan dua puluh menit lagi
perpustakaan tutup. Zul berdiri sejenak. Ia menggerakkan
tubuhnya dengan memutar kedua tangan ke
kiri dan ke kanan. Kepalanya ia jatuhkan ke kiri dan ke
kanan. Setelah itu ia merapikan buku-buku yang baru
saja ia baca. Kertas-kertas berisi catatan-catatan penting
untuk memperbaiki tesisnya ia periksa sesaat. Lalu ia
masukkan ke dalam map plastiknya. Setelah merasa tidak
ada yang ganjil ia turun ke bawah.
Di bawah, keadaan sudah sepi. Yang ada adalah
petugas perpustakaan empat orang dan dua orang gadis
melayu yang juga sedang berkemas dan siap pergi. Che
Mazlan, petugas perpustakaan paling ramah menyapanya
dengan tersenyum,
"Sudah ketemu semua yang dicari Ustadz?"
Karena memakai kopiah putih Zul dipanggil Ustadz.
Ia hanya menjawab dengan senyum dan menganggukkan
kepala dengan ramah. Kepalanya mulai terasa pening. Ia
berjalan ke tempat meletakkan tas. Mengambil tasnya.
Memasukkan map plastiknya ke dalam tas. Dan
melangkah keluar. Ia lihat jam tangannya.
"Ashar baru mau masuk."
la merasa harus segera mengisi perutnya yang sejak
pagi hanya terisi sepotong roti canai dan segelas air putih.
Ia bergegas turun ke tempat parkir. Sepeda motor tuanya
begitu setia menunggunya. la ambil helm. Dan beberapa
jurus kemudian dengan pelan namun pasti Honda butut
itu membawanya meluncur ke kanlin kolej.
Sore itu kantin kolej padat pengunjung. Kantin yang
dikenal paling murah di seluruh kawasan Univesiti Malaya
itu begitu hidup. Padat bergairah, namun tetap rapi dan
bersih. Ada lima belas cafe dan kedai. Sore itu semua buka.
Bisa dipastikan sembilan puluh sembilan persen
Pengunjungnya adalah mahasiswa. Termasuk dirinya. la memilih
SR Cafe, atau Sila Rasa Cafe. la ambil nasi, sayur kangkung,
ayam goreng dan sambal. Seorang penjaga SR Cafe
berkerudung coklat muda bertanya, "Minum apa Dik?"
"Teh O panas Kak." Jawabnya sambil meletakkan
piringnya yang penuh nasi dan lauk. la memang
mengambil nasi dengan porsi banyak. Sebab ia merasa
sangat lapar. Sepuluh jam duduk serius di perpustakaan
telah membuat tenaganya terasa terkuras habis.
"Berapa Kak? Tambah minum Teh O panas,"
tanyanya pada kasir.
"Empat ringgit dua puluh sen."
Ia keluarkan lima ringgit. Lalu kasir berwajah bulat
berkerudung putih itu memberinya uang kembali. Tiga
keping uang logam. Lima puluh sen, dua puluh sen, dan
sepuluh sen. Total delapan puluh sen.
Zul melangkah mencari tempat yang kosong. Ia
lemparkan pandangan matanya ke segenap arah.
Hampir semuanya terisi. Di pojok sebelah kanan tampak
sepasang mahasiswa China meninggalkan tempatnya.
Ia segera bergegas ke sana. Ia melangkah cepat. Jika tidak
ia kuatir akan didahului orang lain. Piring bekas makan
mahasiswa China ia singkirkan dengan tangan kiri.
Sementara tangan kanannya masih memegang piringnya.
Seorang petugas kantin agaknya tahu ketidaknyamanannya.
Petugas itu dengan sigap langsung membersihkan
meja itu. Ia letakkan tasnya di atas meja, lalu
piringnya. Meja berwarna putih itu dikelilingi empat kursi
alumunium. Ketika hendak menyantap ia teringatbelum
mengambil minumannya. Ia kembali ke SR Cafe dan
mengambil Teh O-nya. Mejanya masih utuh, belum ada
yang menempati.
Zul mulai makan dengan lahap. Ia merasakan
kenikmatan luar biasa.
"Hmm benar kata pepatah China, rasa lapar adalah
koki paling hebat di dunia." Lirihnya pada diri sendiri.
Sesekali ia melongokkan kepala memandang ke kiri dan
ke kanan. Melemparkan pandangan kalau-kalau ada
mahasiswa Indonesia yang ia kenal. Namun ia rasa agak
aneh, sore itu dari sekian pengunjung tidak ada satu pun
mahasiswa Indonesia yang ia kenal. Bahkan si Edy, si
Gugun, si Rizal dan si Emil yang biasanya ada di kantin
Kolej 12 pada jam seperti itu pun tidak ada.
Ia terus makan. Seorang mahasiswi berwajah India
hendak minta ijin untuk