“Melihatmu”
seperti sedang melukis sebuah gambar. Awalnya hanya titik, ini kuartikan
sebagai potret saat pertama kali melihatmu. Kemudian menjadi garis tipis,
ketika sosokmu mulai menjadi pasar malam dalam otakku; ramai. Selanjutnya
mengarsir bagian yang kosong, ketika bisa memandangimu dari kejauhan dan
intensitas bertemu sepihak mulai bertambah, ini membuat suasana baru yang
manis. Lalu berkembang menjadi gradasi-gradasi halus, ketika mulai mencari tahu
siapa kau sebenarnya. Begitu seterusnya sampai aku bisa menebalkannya dengan rapi,
ini kubaca sebagai percakapan kami yang mulai dekat, meski hanya dalam ribuan
pesan terkirim. Mungkin aku tak yakin, karena frekuensi pesan terkirimlah yang
mendukung kami. Mengingat pertemuan nyata hanya sesekali terjadi (Ini bukan
sepihak lagi).
Tetapi,
setiap gambarpun tak selalu mulus sesuai harapan. Selalu ada rintangan dan
kesalahan. Ketika aku begitu menginginkan sebuah gambar yang bagus, kuhapus
berulang kali hingga akhirnya bukan gambar indah yang kudapatkan, tapi
sebaliknya; semua tak rapi lagi dan kertas yang kupunya hanya satu. Artinya,
mungkin aku mengingkari janji yang tak ada, melihat keluar batas perasaan dan
tanpa sadar mengubahnya menjadi ego, hingga akhirnya kesempatan tunggalku tak
dapat kuraih dengan baik. Aku mengawalinya sejak awal, dan tanpa akhir aku
memulainya kembali, detik ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar