Sabtu, 13 September 2014

Mahkota Cinta oleh Habiburrahman El Shirazy (Bag.III)

Pukul tujuh pagi, Zul baru bangun tidur. la kaget karena
bangun terlalu siang. Sinar matahari telah menerobos
jendela dan masuk ke dalam kamarnya. la langsung
bangkit dan mengambil air wudhu dengan tergesa-gesa. la
belum shalat Subuh. Ketika hendak shalat ia bingung arah
kiblat. Terpaksa ia keluar kamar untuk menanyakan arah
kiblat. Di ruang tamu yang sekaligus menjadi ruang santai,
Sumiyati dan Iin sedang asyik nonton televisi.

"Waduh arah kiblat mana ya? Waduh kok saya tidak
dibangunkan. Jadi terlambat shalat Subuh!" Kata Zul setengah
menggerutu. Tidak jelas kepada siapa kata-kata
itu ia tujukan. Pada Sumiyati atau pada Iin, atau pada
kedua-duanya.

"Maaf Dik, kami segan mau membangunkan. Kiblat
ke arah jendela Dik." Jawab Iin kalem sambil memandang
ke arah Zul yang masih jelas bekasnya dari tidur.

Zul kembali ke kamar dan shalat. Setelah itu ia
kembali ke ruangan tamu. Ia tidak melihat Mari.

"Lha Mbak Mar ke mana? Apa masih tidur juga?"

"Ya tidak. Mbak Mar itu orang paling disiplin di
rumah ini. Ia sudah bangun sejak jam empat tadi.
Biasanya shalat Tahajjud. Terus nyuci pakaian. Tadi
setelah shalat Subuh ia langsung berangkat kerja." Jelas
Sumiyati santai sambil mengambil kacang tanah yang
ada di depannya. Lalu mengeluarkan isinya dan
memasukkan ke dalam mulutnya.

"O ya sebelum berangkat tadi Mar nitip pesan. Kalau
kamu sudah bisa menghubungi orang yang kamu tuju
dan mau pergi pagi ini atau siang ini tidak apa-apa. Kalau
masih betah dan mau menginap barang satu dua hari
lagi ya tidak apa-apa. Hanya saja Mar minta kalau siang
ini orang itu tidak juga bisa kauhubungi kau sebaiknya
menginap semalam lagi. Siang ini dia akan mencoba
mencarikan informasi tentang tempat yang lebih pas,
sekaligus informasi tentang pekerjaan jika ada/' Iin
menyahut.

"Sebaiknya, siang ini Mas istirahat saja dulu di sini.
Kan baru datang. Sambil menunggu informasi dari Mbak
Mar jika nanti ia kembali," sambung Sumiyati memberi
saran.

"Saya mau keluar sebentar Mbak. Sekalian lihat-lihat
lingkungan. Saya mau coba telpon orang yang harus saya
hubungi itu sekali lagi," kata Zul.

"Ya, hati-hati Dik. Jangan lupa bawa
paspor ya,"
tukas Iin
Zul keluar mencari telpon. Lima puluh meter dari
rumah itu ia menemukan warung kelontong, namun di
situ tertulis kedai runcit. Di warung itu ada wartelnya.
Dari wartel itu ia mencoba menelpon nomor yang ia catat
dari Pak Hasan. Berulang-ulang ia menelpon, tapi tidak
juga berhasil. Ia mencoba menelpon Pak Hasan yang ada
di Batam juga tidak berhasil. Nomor Pak Hasan sedang
tidak aktif. Ia kembali ke rumah dan mendapati dua
perempuan itu telah rapi dan siap pergi.

"Dik kami harus berangkat kerja. Ini kunci rumah,
siapa tahu kamu mau keluar. Jika nanti kamu mau pergi
meninggalkan rumah, tolong rumah dikunci. Dan
kuncinya letakkan saja di bawah pot bunga itu. Oh ya
sarapannya sudah kami siapkan di dapur. Makan saja
yang banyak. Maaf seadanya." Dengan lembut Iin
menjelaskan.

"O ya Mas, kalau mau lihat film-film Malaysia.
Nyalakan saja DVD player itu. DVD-nya ada di rak biru
itu," sahut Sumiyati. "Kami pergi dulu ya. Yah demi
mencari sesuap nasi Mas." Imbuhnya sambil membuka
pintu. Mereka berdua lalu bergegas meninggalkan
rumah. Ketika mereka sampai di halaman hendak
membuka pintu gerbang, sebuah mobil sedan Proton
Wira berhenti tepat di hadapan mereka. Seorang
perempuan berpakaian sangat ketat keluar dari mobil itu. la
melambaikan tangan pada pengendara mobil yang
bermata sipit.

"Baru pulang Lin?" sapa Iin.

"Iya Mbak. Tadi ketiduran di hotel," jawab perempuan
itu santai.

Zul melihat dari pintu yang masih terbuka.

"Kamu itu mbok ya ingat akhirat meskipun sedikit-sedikitlah
Lin? Ingatlah hari akhir kelak Lin!" Iin
menasihati dengan suara lembut.

"Aduh Mbak, kalau mau ceramah di masjid saja.
Saya sedang capek nih. Sory ya Mbak. Saya harus
istirahat. Lha itu kok ada cowok di rumah kita. Siapa
dial?" ketus Linda.

"Itu adik saya dari Demak," jawab Iin.

"Orangnya baik kok Lin. Namanya Zul. Jangan takut
santai saja," timpal Sumiyati.

"Siapa yang takut. Saya tak pernah takut sama lelaki.
Apalagi lelaki Indonesia kurus kaya gitu. Lelaki dari
Amerika, Rusia bahkan Nigeria sekalipun saya tidak
pernah takut! Kenapa kalian masih mematung saja di
sini. Nanti kalian terlambat didamprat sama majikan baru
tahu rasa!" sengit Linda.

"Ya udah kami berangkat dulu. Jaga rumah baikbaik
ya Lin."

"Ya," jawab Linda singkat sambil beranjak masuk
rumah.

Ketika masuk rumah dan melewati Zul yang berdiri
di samping pintu Linda menyapa datar,

"Halo Mas, baru datang dari Indonesia ya?"

"Iya," jawab Zul singkat.

Linda langsung masuk ke dalam kamarnya.

Sementara Zul masih berdiri di samping pintu memandang
lurus ke depan, ke halaman dan jalan. la mendengar
dengan jelas percakapan tiga perempuan itu. Dan ia bisa
meraba, kira-kira apa pekerjaan perempuan muda
bernama Linda yang baru saja menyapanya itu. Dan
siang itu ia bisa jadi hanya akan berdua bersama Linda
di rumah yang sepi itu. Ia berpikir apa yang akan ia
kerjakan seharian di rumah itu. Apakah ia akan hanya
tidur di kamar? Bagaimana kalau Linda mengajak
berbincang-bincang? Apakah ia akan bersikap cuek saja
terhadap Linda? Ataukah ia akan berpura-pura bersikap
baik kepadanya. Sebab ia paling tidak suka dengan
perempuan yang memiliki tanda-tanda sebagai perempuan
tidak benar. Dari cara Linda berpakaian dan dari
pembicaraan yang baru saja ia dengar, ia memiliki firasat
kuat bahwa Linda adalah jenis perempuan tidak benar.
Zul mengambil nafas panjang. Ia belum bisa memutuskan
akan bersikap bagaimana.

"Mas pintunya ditutup saja. Di sini tidak lazim
membuka pintu lama-lama." Seru Linda dari kamarnya
yang hanya berjarak beberapa meter dari
tempat Zul berdiri. Secara reflek Zul menengok ke arah
suara. Pintu kamar Linda terbuka lebar dan Linda
merebahkan tubuhnya begitu saja di tempat tidurnya,
dengan sepatu hak tingginya masih terpasang di kedua
kakinya. Zul merasakan getaran dalam dadanya. Ia
langsung menutup pintu dan bergegas masuk ke
dalam kamarnya.

Sementara Iin dan Sumi masih berjalan ke arah
hentian bus. Dalam hati Iin memanjatkan doa agar Linda
kembali ke jalan yang benar. Ada yang meleleh dari
kedua matanya yang berkaca-kaca. la sangat sayang
pada gadis cantik—yang sudah tidak gadis lagi—itu. la
ingat bagaimana awal perjumpaannya dengan Linda di
pagi yang cerah di KBRI Kuala Lumpur. Linda yang
berwajah Indo itu memperkenalkan diri sebagai
karyawati sebuah kantor maskapai penerbangan di
Kuala Lumpur. Pagi itu Linda ada sedikit urusan di
bagian konsuler. la tidak menanyakan detil urusan Linda
sebenarnya. la sendiri punya urusan yang membuatnya
pusing, gajinya selama lima bulan tidak dibayar oleh
majikan. la hendak melaporkan hal itu ke pihak KBRI.
Dari yang tak lebih dari dua puluh menit itu ia tahu Linda
memiliki cita-cita yang tinggi. Linda bercerita tentang
keinginannya melanjutkan kuliah sampai S.3 di negeri
tempat ia dilahirkan, yaitu Belanda.

"Saya harus cari uang dulu. Ibu saya tidak mungkin
membiayai saya kuliah. Ayah saya, saya tidak mengenalnya
sejak kecil. Ibu hanya cerita ia orang Belanda dan
sudah menikah lagi di sana. Sudah jadi orang penting di
Belanda. Ibu saya tidak meridhai jika saya minta uang
sepeser pun pada ayah saya. Kata ibu saya, saya boleh
ke Belanda, tapi tidak boleh mengemis pada ayah saya,
atau keluarga ayah saya. Ibu saya sangat dendam pada
ayah saya, dan dendamnya itu telah diwariskan pada
saya. Saya tidak akan menceritakan perihal dendam itu.
Pokoknya dendam yang sangat menyakitkan. Intinya
ayah saya pernah memperlakukan ibu saya dengan
sangat tidak manusiawi di Belanda. Dan itu saat mengandung
saya.

"Ya alhamdulillah, berkat peluh dan keringat ibu
saya, akhirnya saya bisa selesai kuliah di Jakarta dan
langsung mendapat pekerjaan. Sekarang saya bisa kerja
di Kuala Lumpur ini dengan gaji yang lumayan. Saya
akan menabung. Kalau bisa saya akan lanjut kuliah S.2
di sini baru nanti S.3 di Belanda. Jika saya sudah sukses,
kaya dan bermartabat, saya akan ajak ibu saya menemui
ayah saya dengan kepala tegak. Bahkan saya bercitacita
harus kaya hingga saya nanti bisa punya perusahaan
besar di Belanda. Harus lebih kaya dari Mr. Van
Braskamp.

"Van Braskamp itulah nama ayah saya. Dia seorang
Belanda. Tapi saya sama sekali tidak kenal budaya
Belanda. Saya sejak umur dua tahun sudah di Sunda.
Hidup bersama kakek dan nenek saya. Ayah saya tidak
meninggalkan apa-apa kepada saya kecuali warna
kulitnya yang membuat saya lebih putih dari ibu saya.
Itu saja. Tapi saya akan membuktikan pada ayah saya
itu, suatu saat saya bisa lebih terhormat dari ayah saya
di negeri ayah saya. Itulah cita-cita saya Mbak Iin. Kalau
Mbak Iin punya cita-cita apa? Untuk apa kerja di
Malaysia ini?"

Iin masih ingat saat itu ia hanya menggelengkan
kepala lalu menjawab,

"Saya tidak punya cita-cita yang tinggi seperti Dik
Linda. Saya hanya ingin dapat uang. Bisa membiayai
suami saya yang sedang sakit dan bisa membiayai dua
anak saya yang masih kecil-kecil yang sekarang diasuh oleh
adik saya. Itu saja. Juga punya tabungan untuk buka
warung di kampung. Itu saja Dik Linda."
Saat itu Linda tersenyum dan mengangkat kedua
tangannya seraya berdoa,

"Semoga cita-cita Mbak Iin dikabulkan oleh Allah.
Amin."

Dalam hati ia ikut mengamini.

Di pertemuan yang singkat itu, ia sempat bertukar
nomor hand phone dengan Linda. Linda yang memberi
nomornya dulu.

"Mbak ini nomor hape saya. Siapa tahu Mbak atau
teman Mbak ada yang ingin pulang liburan. Bisa pesan
tiket ke saya."

Sejak itulah ia sering berkomunikasi dengan Linda.
Beberapa kali ia bertemu dengan Linda tanpa sengaja di
Menara Kembar Petronas KLCC. Seringkali Linda
mentraktirnya makan. Selesai makan biasanya mengajak
shalat di surau yang ada di sana. Ia melihat Linda begitu
agamis. Dan dalam balutan jilbab muka Indo itu bagai
bidadari surga yang turun ke bumi. Ia sangat takjub pada
keelokan dan kebaikan Linda. Dari rasa takjub itulah rasa
sayangnya pada Linda terbit.

Sejak kenal dengan Linda, ia sering membayangkan
alangkah enaknya bisa kerja seperti Linda. Duduk tenang
di kantor yang ber-AC dengan bayaran yang tinggi.

Kerjanya cuma mengangkat telpon. Lihat layar
komputer. Dan nulis nota. Tidak seperti dirinya yang
harus kerja di Warung Runcit6 dengan majikan yang kasar dan
pelit. Itulah yang ia pikirkan pada waktu itu.

Dan ia merasa alangkah beruntungnya Linda. Cantik,
pintar, masih sangat muda, dan berpenghasilan tinggi.
Tapi ia segera menyadari siapakah dirinya dan siapakah
Linda. Dirinya tak lebih hanya lulusan MTs dengan
penampilan sangat biasa, sementara Linda sudah sarjana
dan cantik pula. Pekerjaan kantor sepertinya tidak boleh
dikerjakan oleh orang desa—dengan wajah pas-pasan—
yang hanya lulusan MTs seperti dirinya.

Tapi jika melihat kehidupan Linda saat ini, ia yang
hanya orang desa dan cuma lulusan MTs seperti dirinya
merasa lebih bahagia daripada Linda. Buat apa pandai,
sarjana dan cantik jika hanya menjadi budak nafsu dan
setan. Dan hidup dalam lembah kehinaan.

Baginya, sebagai wanita, kehormatan diri dan
kesucian diri adalah harta paling berharga setelah iman
kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Entah sudah berapa
kali ia berusaha mengingatkan Linda, baik dengan cara
yang paling halus maupun cara yang sangat terangterangan.
Baik dengan sindiran maupun ancaman siksa
neraka jahanam. Tapi ia melihat Linda sama sekali tidak
ada perubahan. Bahkan shalat pun sudah ia tinggalkan.
Ia sudah jarang melihat wajah blesteran Sunda Belanda
itu berbalut mukena putih. Ia merasa bidadari surga yang
turun ke bumi itu telah hilang.

Jika menghayati apa yang terjadi pada Linda,
hatinya sering miris dan merinding. Betapa berbedanya
Linda yang dulu dengan sekarang. Alangkah mudahnya
ketakwaan itu sirna dan iman itu hilang lenyap di akhfr
zaman seperti sekarang. Tidak sedikit orang yang dulu dikenal
karena ketakwaannya tiba-tiba dalam waktu tak
lama dikenal karena kedurhakaannya.

"Na'udzubillahi min dzalik. Ya Rabbi, jauhkanlah
hamba dari itu semua. Jangan Kaubiarkan iman ini lepas
dari hati hamba sedetik pun." Doanya dalam hati sambil
mengusap airmatanya.

"Kenapa menangis Mbak Iin?" tanya Sumiyati.

"Tidak apa-apa. Aku hanya kasihan sama Linda.

Jauh-jauh merantau ke sini, siang malam hanya untuk
menjual kehormatan dan bermaksiat. Kalau tidak mau
bertaubat sungguh kasihan. Rugi di dunia, rugi di
akhirat."

"Iya Mbak. Aku masih ingat awal-awal Linda hidup
bersama kita, ia masih shalat dan masih mau membaca
Yasin. Tapi sekarang sepertinya dia tidak memiliki Tuhan."

"Hus. Jangan bilang begitu Sum!" bentak Iin,

"Semoga saja semaksiat-maksiatnya Linda, dia masih
mengakui Allah sebagai Tuhannya," lanjutnya.

"Semoga saja Mbak. Hidup di perantauan seperti kita
ini memang tidak mudah. Keimanan kita benar-benar
dipertaruhkan. Mbak tolong doakan saya ya. Itu, si Karan
kawan kerja saya di restoran sering menggoda saya. Saya
takut tergoda Mbak."

"Kau harus kuat Sum. Imanmu harus terus kaupupuk.
Kita harus sating menguatkan dan mengingatkan.

Kita harus sating mengingatkan bahwa
perzinahan itu termasuk dosa besar. Dan sekali orang
berzina, orang itu akan sulit lepas dari belenggu dosa
itu. Sangat memungkinkan ia akan melakukan yang kedua,
ketiga dan seterusnya. Dan itulah yang dikehendaki
setan. Jangan kita biarkan diri kita terperangkap
oleh kesempatan melakukan dosa besar itu.

Sebisa mungkin kesempatan itu jangan dibiarkan ada.
Aku sendiri Sum, aku mengakui diriku tidak cantik.

Tetapi aku juga mengalami apa yang kaualami. Banyak
yang menggoda. Tapi aku berusaha untuk kuat dan
berusaha menjaga agar jangan sampai setan menciptakan
kesempatan melakukan perbuatan dosa besar itu. Sebab,
jika kesempatan itu tercipta, aku kuatir imanku tidak kuat
untuk mencegahnya. Di antara caraku menjaga diri
adalah dengan tidak pernah meladeni segala bentuk
keisengan mereka yang menggodaku. Termasuk SMS
yang hanya iseng. Aku selalu berangkat tepat waktu dan
begitu saatnya pulang aku langsung pulang. Tidak
berlama-lama ngobrol di tempat kerja."

"Gitu Mbak ya?"

"Iya."

"Wah, untung Mbak kasih tahu. Si Karan itu
inginnya ngajak ngobrol terus selesai kerja. Ia bahkan
sering ngajak nonton film."

"Kalau ingin selamat, jangan kautanggapi sedikit pun."

"Iya Mbak."

"Linda pernah cerita, ia menjadi seperti sekarang ini
bermula dari menanggapi SMS iseng teman kerjanya,
seorang pria muda asal Singapura."

"Cerita detilnya bagaimana Mbak?"

"Aku juga tidak tahu Sum. Linda hanya pernah
menyinggung bahwa semuanya bermula dari SMS iseng
seorang teman kerja asal Singapura. Seorang pria muda
yang menawan. Itu saja."

"Eh Mbak itu busnya datang. Ayo cepat!" teriak
Sumiyati.

"Wah iya Sum, itu bus kita! Sahut Iin dengan mata
berbinar.

Mereka berdua langsung mempercepat langkah. Bus
Rapid KL semakin mendekat, merapat di halte, lalu
menurunkan dan menaikkan penumpang. Kedua
perempuan itu mengejar dengan setengah berlari, takut
ketinggalan.

* * *

Zul tidur di kamarnya, yang tak lain adalah kamar
Mari. Kedua matanya memandang langit-langit kamar
yang berwarna putih bersih. Sementara pikirannya
melayang ke mana-mana. Melayang ke perjalanan dari
Batam hingga ketemu Mari. Dan sampai di rumah yang
sama sekali tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ia
masih juga berpikir apa yang harus ia lakukan siang itu.
Apakah tetap diam di rumah itu menunggu Mari pulang.
Sehingga ia bisa mendapat informasi dari Mari. Ataukah
ia nekat saja pergi dari rumah itu. Kenapa ia mesti
menunggu informasi dari Mari. Bukankah ia bisa nekat,
sebagaimana selama ini ia selalu nekat. Dan bukankah
sebenarnya ia pergi ke Malaysia juga berbekal nekat.

Kalau ia nekat pergi dari rumah itu, siang itu juga,
lalu ia mau pergi ke mana? Ia tidak hafal Kuala Lumpur
dan sekitarnya. Apa asal pergi saja. Yang penting jalan.
Seperti waktu ia dulu nekat ke Jakarta. Tapi ia nyaris mati di
Jakarta karena dikeroyok berandalan jalanan. Apa ia
akan mengulangi nasib yang sama. Dan jika ia nekat,
berapa lama ia akan bisa bertahan? Uang yang ia bawa
sangat pas-pasan. Tak lebih dari seratus lima puluh
ringgit. Berapa lama ia bisa bertahan dengan seratus lima
puluh ringgit?

Ia lalu berpikir realistis, apa salahnya menunggu
Mari pulang. Ia bisa dapat informasi yang lebih jelas.
Mungkin informasi ada pekerjaan yang membuatnya
bisa bertahan bahkan bisa memperbaiki nasib. Apa
salahnya menunggu sampai sore hari. Ia bisa tidur
seharian di kamar itu dengan pintu terkunci. Toh di kamar
itu ada kamar mandi dan WC-nya. Ia tidak perlu keluar.
Juga, tidak baik rasanya meninggalkan rumah itu tanpa
terlebih dulu pamitan pada Mari, yang begitu baik
padanya. Ia akhirnya mantap untuk tetap di rumah itu
siang itu, sampai Mari pulang. Jika Mari pulang dan ia
telah mendapatkan informasi dan petunjuk yang
mungkin sangat penting baginya, maka ia bisa pergi.

Zul mencoba berkonsentrasi memejamkan kedua
matanya, ia ingin tidur lagi. Namun konsentrasinya
buyar begitu telinga mendengar suara orang mandi. Ia
langsung yakin yang mandi itu adalah Linda. Sejurus
kemudian ia mendengar televisi dinyalakan. Ia lalu
mendengar lagu-lagu India dibunyikan dengan sedikit
keras. Ia benar-benar tidak bisa memejamkan kedua
matanya.

Ia lalu bangkit dari kasur. Ia yakin tidak bisa tidur.
Ia lalu melihat-melihat isi kamar itu, ia mencari sesuatu
yang bisa dibacanya. Di samping meja rias ia melihat setumpuk
majalah dan koran. Juga ada beberapa buku.

Ia lihat buku-buku itu. Buku-buku ekonomi berbahasa
Inggris. Ia ambil satu. Judulnya International Monetary
and Financial Economics. Ia buka buku itu. Di halaman
paling depan ia menemukan nama pemilik buku itu
tertulis dengan tinta biru. Liew Su Ying. Nama China.
Di bawah buku itu ada buku bersampul biru tua. Ia
ambil. Terbitan Oxford University Press. Judulnya Game
Theory with Applications to Economics. Ia
menggelenggelengkan
kepala. Orang yang bisa memahami buku
seperti itu pastilah bahasa Inggrisnya mantap. Ia buka
halaman depan. Nama pemilik buku dan tanda
tangannya tertulis di situ. Laila Binti Abdul Majid, TTDI,
Kuala Lumpur. Ia yakin itu nama perempuan Melayu.

Ia jadi bertanya-tanya, kenapa buku ekonomi seperti
itu bisa ada di dalam kamar Mari dan Iin? Siapakah yang
selama ini membaca buku itu? Mari kah? Atau Iin kah?
Apakah mungkin mereka berdua bisa memahami buku
berbahasa Inggris? Tiba-tiba ia tersenyum, mengapa ia
bisa sebodoh itu. Bisa jadi orang China yang namanya
tertulis sebagai pemilik buku itu adalah orang yang
memiliki rumah ini. Bukankah ini rumah sewa? Dan
bukankah Mari mengatakan pemiliknya adalah orang
China? Ia menduga pemiliknya adalah orang China yang
menikah dengan perempuan Melayu.

Sangat mungkin, pemilik rumah itu tidak mengemasi
bukunya dan membiarkan buku-bukunya tergeletak
begitu saja di kamar itu. Lalu Mari dan Iin menatanya
jadi satu dengan majalah dan koran di samping meja ,
rias. Atau entahlah, yang jelas ia menafikan jika yang
punya dan yang membaca buku-buku ekonomi
berbahasa Inggris itu adalah Mari atau Iin. Melihat
tampang dan penampilan mereka sangat meragukan,
dan sangat tidak meyakinkan.

la lalu melihat-lihat beberapa majalah. Ada yang
terbitan Indonesia, Malaysia, Singapura dan bahkan
Hongkong. la mengambil yang terbitan Indonesia. la
bawa ke kasur. la baca sambil tiduran. Tak berapa lama
kemudian ia merasa mengantuk. Entah kenapa setiap
kali ia membaca rasa kantuk itu menyerang dengan
cepat. Saat ia berada di antara sadar dan tidak sadar
karena mulai masuk ridur, sayup-sayup ia mendengar
pintu kamarnya diketuk beberapa kali. Ia tidak jadi
memejamkan mata.

"Mas! Mas! Halloo! Buka dong!"

Itu jelas suara Linda.

"Iya. Sebentar!" sahutnya sambil bangkit menuju
pintu.

Begitu pintu ia buka, tampaklah wajah Linda yang
sangat berbeda dengan wajah yang tadi ia lihat saat
Linda baru datang. Wajah Linda yang ada di hadapannya
tampak segar, dan menawan. Linda menyungging
senyum yang membuat dadanya berdesir. Ia sepertinya
belum pernah melihat pesona sesegar wajah Indo yang
ada di hadapannya.

"Hallo Mas, maaf mengganggu. Tadi kita belum
kenalan. Kenalkan namaku Linda. Lengkapnya Linda
Van Braskamp. Aku kerja di sebuah hotel berbintang di
Kuala Lumpur." Sapa Linda sambil mengacungkan
tangan kanannya mengajak berjabat tangan. Zul langsung
menjabat tangan itu sambil memperkenalkan
dirinya,

"E... nama saya Ahmad Zul. Saya berasal dari
Demak. Mbak Linda orang Belanda ya?"

"Ya. Ada darah Belanda. Tepatnya blesteran Sunda-
Belanda. Tapi aku tetap merasa sebagai orang Indonesia.
O ya kapan Mas Zul sampai?"

"Tadi malam."

"Berarti bareng Mbak Mar?"

"Ya."

"Tadi Mbak Iin cerita, Mas adiknya Mbak Iin,
benar?"

Zul tersenyum mendengarnya, ia lalu menjawab,

"Dikatakan adiknya Mbak Iinjuga boleh."

"Lho kok gitu. Kok ada juga bolehnya. Jadi

sebenarnya bukan adiknya Mbak Iin?"

"Ah itu tidak penting. Tadi baru pulang kerja ya?"

"Iya saat ini aku kena sif malam. Jadi manusia
kelelawar. Malam jadwalnya kerja, siang jadwalnya
istirahat."

"Jadi siang ini mau di rumah saja?"

"Lha iya lah. Kan harus istirahat. Tapi aku lapar sekali.
Mau keluar cari makanan rasanya malas sekali. Aku
tengok di dapur ada nasi goreng. Itu pasti disedikan
untuk Mas Zul. Boleh saya minta sedikit Mas. Atau kita
makan bareng. Bagaimana? Mas Zul belum sarapan
kan?"

"Belum."

"Ayo kalau begitu kita makan bersama. Kita makan
di ruang tamu saja. Sambil ngobrol. Oh ya Mas Zul mau
minum apa? Aku bikinkan."

"Teh panas boleh."

"Baik. Mas Zul tunggu di ruang tamu saja ya, sambil
nonton televisi."

"Baik."

Linda ke dapur membuat minuman dan mengambil
makanan. Zul melangkah ke ruang tamu lalu duduk di
sofa sambil membaca majalah yang tadi ia baca. Tak
lama kemudian Linda muncul dengan membawa
nampan berisi dua piring nasi goreng dan dua gelas teh
manis. Zul mendongakkan muka dan melihat ke arah
Linda yang datang. Barulah ia memperhatikan pakaian
yang dipakai Linda, yang tadi tidak ia perhatikan. Linda
memakai gaun yang hanya pantas dipakai di kamar
tidurnya saja. Zul seperti terpaku dan terbelenggu di
tempat duduknya. Tubuhnya terasa kaku.

Linda meletakkan nampan di meja dan langsung
duduk di samping Zul. Bau wangi parfum Linda tercium
jelas oleh hidung Zul. Zul tidak bisa konsentrasi makan,
ia masih menata pikirannya yang ia rasakan mulai kacau.

"Kok bengong saja Mas. Ayo dimakan. Tadi nasinya
sudah saya hangatkan. Kalau dingin tidak enak."

"E... iya Mbak."

Zul mengambil piring berisi nasi goreng dan mulai
menyantapnya pelan-pelan. Ia masih terus berjuang
menata kembali pikirannya yang mulai berpikir yang
"Rencana siang ini Mas Zul mau ke mana? Kalau tidak
ada rencana, di rumah saja menemani aku. Aku bawa film
Hollywood terbaru. Kita nonton berdua saja di rumah.
Kalau nonton film sendirian rasanya tidak seru."

"Saya belum ada rencana. Tidak tahulah. Saya
sebenarnya ingin jalan-jalan."

"Sebenarnya aku ingin sekali nemani jalan-jalan. Tapi
kurasa, aku harus istirahat dan nyantai di rumah. Kalau
Mas mau jalan-jalan sendiri tidak apa-apa. Kebetulan aku
ada kunci dobel. Sebentar ya."

Linda menghentikan makannya dan beranjak ke
kamarnya. Lalu keluar dengan membawa kunci.
"Ini bawa saja. Yang ini kunci gembok pintu besi dan
yang ini kunci pintu. Kalau Mas keluar dan saat pulang
aku sedang tidur tidak perlu membangunkan aku. Bawa
saja kunci ini selama Mas di sini."

"Terima kasih."

"O ya ngomong-ngomong Mas mau kerja di mana?
Sudah ada agen yang mengatur?"

"Belum tahu. Masih mencari."

"O jadi belum dapat kerja. Begini Mas, ini kalau Mas
mau. Bagaimana kalau kerja di hotel tempat aku kerja. Tapi
kerjanya malam sih. Kalau mau, bisa aku coba hubungkan
ke pihak personalia. Aku kenal baik dengan penanggung
jawabnya. Gajinya lumayan kok. Bagaimana?"

"Nanti saya pikirkan."

"Sejak jumpa pertama kali tadi, kulihat Mas memang
banyak berpikir dan merenung. Jangan terlalu dibuat
serius hidup ini Mas, cepat tua nanti. Itu Mbak Mar, coba
nanti kalau ketemu kauamati dia baik-baik, karena ia
juga terlalu serius memikirkan hidup jadi kelihatan jauh
lebih tua dari umurnya. Padahal ia hanya selisih satu
tahun saja dariku."

"Benarkah?"

"Serius. Mbak Mar itu terlalu banyak mikir.

Semuanya dia pikir. Mau makan saja dia mikir, ini halal
tidak, haram tidak. Kalau aku sih selama enak kenapa
tidak? Sekarang aku menemukan agama baru. "

"Agama baru?"

"Ya. Aku kasih nama agama enak. Pokoknya segala
yang enak-enak itu jadi ajarannya. Itulah agamaku
sekarang. Tuhannya adalah Tuhan yang maha membebaskan
manusia untuk berenak-enak."

"Astaghfirullah. Meskipun yang kelihatannya enak
itu dilarang agama."

"Agama yang mana? Kalau agamaku tadi ya jelas
tidak melarang. Kalau agama Islam seperti agamamu,
aku yakin kau Islam, ya aku tidak tahu."

"Wah itu namanya agama hawa nafsu."

"Terserah, aku tidak peduli. Yang jelas aku merasa
enak, merasa bebas, merasa merdeka."

"Kalau di KTP apa agamamu?"

"Ya Islam."

"Lho kok Islam?"

"Ya untuk formalitas saja. Biar tidak membuat sedih
banyak orang. Termasuk kakek dan nenek saya yang
sangat fanatik dengan agama Islamnya."

"Itu berarti kamu munafik."

"Kalau munafik itu enak kenapa tidak?"

Zul jadi pusing memikirkan makhluk di hadapannya.
la tidak mengira akan pernah menjumpai manusia seperti
itu dengan cara berpikir seperti itu.

"Baiklah Mas, saya akan cerita sedikit tentang
pekerjaan saya. Daripada nanti Mas mendengar cerita
yang sinis dari orang lain. Lebih baik Mas langsung
mendengar dari saya. Lebih baik saya jujur daripada saya
disebut munafik lagi. Sudah saya katakan agama saya
adalah agama enak. Pokoknya yang enak-enak itulah inti
ajarannya. Maka saya cari profesi adalah juga profesi yang
menurut saya paling enak. Dalam ajaran agama saya,
profesi saya tidaklah sebuah kejahatan. Tapi di agama lain
bisa jadi profesi saya disebut sebuah kejahatan bahkan
dosa besar. Aku tak peduli, aku punya agama sendiri.

"Profesi saya adalah menyenangkan orang-orang
penting. Orang-orang yang memerlukan hiburan.
Pekerjaan saya adalah menghiburnya. Tapi orang-orang
awam menyebut orang seperti saya ini sebagai pelacur. Ada
juga yang menyebut sebagai perempuan sundal.

Macam-macam lah
sebutannya. Tapi saya, berpegang pada
keyakinan saya, maka saya menyebut diri saya adalah
seniwati. Saya menjual jasa. Dan jasa saya adalah seni dan
keindahan. Itulah saya Mas. Bagaimana menurut Mas?"

"Aku hanya merasa kasihan padamu?"

"Kasihan, kenapa kasihan?"

"Entahlah, hanya merasa kasihan saja. Aku ini orang
awam juga. Tidak tahu apa-apa. Agama juga tidak tahu.
Hanya mendengar apa yang kaukatakan nuraniku
mengatakan orang seperti kamu ini sebenarnya bukan
hidup enak dan hidup senang. Tapi hidup dalam keadaan
sangat memprihatinkan. Dan perlu dikasihani."

"O ya?"

"Terserah. Cuma aku yakin, yang tadi bicara bukan
nuranimu tapi nafsumu. Nanti suatu ketika saat engkau
menderita sakit, coba aku ingin dengar apa yang akan
kaukatakan dan kauucapkan?"

"Kau ini jahat. Masak berharap aku sakit dan
menderita."

"Kau salah sangka. Sama sekali aku tidak berharap.
Tapi manusia yang normal terkadang ada saatnya sakit
juga. Saat sakit itulah manusia lebih banyak berbicara
dengan nuraninya daripada dengan nafsunya. Lha saya
ingin tahu apa yang akan kaukatakan saat kau dalam
keadaan seperti itu. Apakah berarti saat kau sakit kau
sudah tidak beragama lagi. Karena rasa enak itu sudah
tidak ada lagi. Atau bagaimana?"

"Saya akan bertahan dengan agama saya. Saya
yakin dengan temuan saya."

"Yah kalau begitu, bagimu agamamu dan bagiku
agamaku."




BERSAMBUNG

Dikutip dari: facebook.com/IloveOriginalKawanimut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar