Sabtu, 13 September 2014

Mahkota Cinta oleh Habiburrahman El Shirazy (Bag.II)

Menjelang Maghrib bus Trans Nasional memasuki
kota Kuala Lumpur. Zul menikmati pemandangan senja
di Kuala Lumpur dengan seksama. Jalan tol yang lebar
dan melingkar. Gedung-gedung tinggi. Hutan kota yang
masih terjaga. la harus mengakui, Kuala Lumpur jauh
lebih rapi dari Jakarta. la mencari-cari gedung yang
menjadi simbol Kuala Lumpur. la melongok-longok,
mencari-cari Menara Kembar. la tidak melihatnya.

"Menara Kembarnya mana ya Mbak, kok tidak
kelihatan?" tanyanya pada Mari.

"Kamu jangan memandang ke arah situ. Pandanglah
ke arah sana. Di sela gedung menjulang itu. Itulah
Menara Kembar," jawab Mari sambil menunjuk ke arah
Menara Kembar.

"Wah iya. Saya penasaran ingin lihat dari dekat."

"Jangan tergesa-gesa. Nanti kau akan punya waktu
yang cukup untuk melihatnya. Kau bahkan bisa makan
di sana. Kau juga bisa refreshing di sana. Di bawah
menara itu ada tamannya yang rapi dan indah. Namanya
taman KLCC. Taman itu terbuka untuk umum dan
gratis."

Zul langsung membayangkan nyamannya berjalanjalan
di bawah Menara Kembar dan nyantai di taman
KLCC. Tiba-tiba ia teringat Najibah. Gadis satu desa
dengannya yang pernah menjadi tambatan hatinya.

Najibah pernah minta padanya untuk rekreasi ke Taman
Kiai Langgeng. Dan ia berjanji pada gadis itu akan
mengajaknya ke Taman Kiai Langgeng suatu kali.
Namun sampai saat ini ia tidak bisa memenuhi janji itu.
Dan tidak mungkin rasanya memenuhi janjinya itu.

Sebab, gadis yang punya lesung pipi indah itu, kini telah
menikah dengan orang lain. Ah, seandainya ia kaya,
tentulah ia bisa menikahi gadis itu dan mengajaknya
jalan-jalan ke Taman Kiai Langgeng. Bahkan mengajaknya
ke Kuala Lumpur dan berjalan-jalan di taman

KLCC itu.


Karena kemiskinannyalah, akhirnya Najibah
memutuskan menikah dengan orang lain setelah tiga kali.
Itu pun setelah Najibah memintanya untuk segera
menikahinya dan ia merasa tidak mampu. Ia minta
ditangguhkan beberapa tahun lagi. Ia tidak bisa memberi
jawaban pasti. Dan Najibah merasa tidak bisa bergantung
pada ketidakpastian.

"Maaf, Mas Zul, bukan saya tidak cinta sama Mas.

Orang tua saya minta saya segera menikah. Tahun ini.
Jika Mas mau ya tahun ini. Jika tidak ya anggap saja
kita tidak berjodoh. Ini demi kebaikan saya dan Mas."

Itulah kata-kata Najibah yang masih ia ingat terus. Katakata
yang tidak mungkin ia lupakan, karena saat itu ia
tidak berdaya apa-apa sebagai seorang lelaki. Ia sama
sekali tidak bisa memenuhi harapan orang yang
dicintainya. Jangankan biaya untuk menikah, biaya
untuk makan sehari-hari saja ia sering tidak punya. Ia
benar-benar merasakan betapa susah jadi orang tidak
punya. Sampai untuk menikahi orang yang dicintai saja
tidak bisa. Ia benar-benar sedih dan menderita jika
mengingatnya.

Sesungguhnya Najibah itu bukanlah gadis yang
materialistis, ia tidak minta apa-apa, selain akad nikah.
Namun akad nikah itu ada biayanya. Dan itu yang ia
tidak punya saat itu. Ia benar-benar tidak punya. Ia
merasa dirinya adalah orang paling miskin papa sedunia.

Ah, ia berusaha melupakan peristiwa itu. Namun
belum juga bisa. Bahkan sampai ia sudah di Kuala
Lumpur pun peristiwa itu masih saja teringat olehnya. Ia
yang mengalami peristiwa yang tak setragis Mari saja
masih dibayangi oleh peristiwa itu, apalagi Mari. Wajar
jika perempuan muda itu sampai mengalami trauma.

"Heh, melamun apa! Kita sudah sampai di Purduraya!
Ayo siap-siap turun!"

Zul kaget dan tersadar dari lamunannya.

"Kita sudah sampai Mbak?"

"Iya. Ayo turun. Itu orang-orang sudah pada turun."
Mereka berdua lalu turun dari bus. Lalu naik ke lantai
dua. Tempat dimana para penumpang berkumpul
menunggu bus. Tempat dimana penumpang datang dan
pergi. Di lantai dualah puluhan waning penjual oleh-oleh
dan makanan dibuka. Juga di lantai dualah puluhan agen
bus membuka konter.

"Mbak ini sudah Maghrib ya?" tanya Zul.

"Iya sudah. Gini saja. Kita shalat dulu gantian. Tempat
shalat dan tandas ada di lantai tiga. Kita naik ke sana."

"Tandas itu apa Mbak."

"Toilet. Kalau bahasa orang Demak kakus."

"Wah kok nadanya agak menghina orang Demak
thoMbak."

"Kamu ini lelaki kok sentimentil begitu. Ayo kita naik!"
Mereka berdua lalu naik ke lantai tiga. Mereka ke
tandas dahulu, baru ke surau. Mereka shalat bergantian.
Selesai shalat Zul bingung. la baru sadar kalau ia tidak
memiliki tujuan yang jelas. Mari hanyalah teman
bertemu di perjalanan.

"Inilah Kuala Lumpur Dik Zul. Ya selamat datang
di Kuala Lumpur. Semoga nasibmu berubah di sini.
Berubah jadi baik. Tidak sebaliknya. O ya, jadi kau mau
menginap di mana?"

"Wah jujur saja Mbak. Saya tidak tahu harus
menginap di mana."

"Katanya kau mengantongi sebuah nama dan nomor
telpon itu bagaimana?"

"Ya, saya coba telpon dulu Mbak."

"Pakai hp saya saja Dik, tak usah pakai telpon umum.

Tuh telpon umum antrenya kayak gitu," Mari mengulurkan
hand phone-nya..

Zul menerima hand phone itu dengan tangan
kanannya. Sementara tangan kirinya merogoh saku celananya.
Ia mengeluarkan sobekan kertas. Lalu memanggil
nomor yang tertulis di kertas itu. Beberapa saat ia
menunggu tidak ada jawaban. Lalu ia ulangi lagi. Empat
kali ia memanggil dan tidak ada yang mengangkat.

"Bagaimana Dik?"

"Tidak ada yang mengangkat Mbak."

"Mungkin sedang shalat. Kalau gitu ayo kita cari
makan dulu. Saya lapar. Setelah makan ditelpon lagi."

"Boleh."

Mari berjalan di depan. Ia sangat hafal seluk beluk
Terminal Purduraya. Dan bisa dipastikan bahwa
pekerja Indonesia yang bekerja di sekitar Kuala
Lumpur sangat akrab dengan terminal bus paling
padat di Kuala Lumpur ini. Mari memilih makan di
Kak Long Cafe. Sebuah cafe milik seorang Muslimah
keturunan China.

"Bisa jadi kita nanti akan sulit bertemu. Bahkan
mungkin akan tidak bertemu. Namun siapa tahu adik
perlu bertemu dengan saya suatu hari nanti. Atau perlu
bantuan saya. Saya akan kasih nomor telpon saya. Bisa
ditulis?" kata Mari selesai makan.

"Bisa Mbak. Terima kasih ya atas segalanya. Berapa
Mbak nomornya?" jawab Zul.

"0176767676. Bacanya mudah 01 terus tujuh enam
empatkali."

"Wah mudah diingat Mbak."

"Coba orang yang kautuju itu dikontak lagi."

Zul langsung menelpon nomor yang ia telpon
sebelumnya. Beberapa kali ia telpon tapi tidak juga
berhasil.

"Tetap tidak ada yang mengangkat Mbak."

"Mmm...." gumam Mari sambil mengerutkan
keningnya.

"Saya coba lagi Mbak."

Zul kembali melakukan panggilan. Tidak juga
berhasil.

"Bagaimana, tidak berhasil juga?" tanyaMari.

"Iya."

"Kau di sini asing. Kalau tidak ada teman kasihan.
Kalau kau mau kau bisa ikut saya menginap di tempat
saya."

"Menginap di tempat Mbak?"

"Iya. Jangan berpikir yang tidak-tidak. Di tempat
saya ada tiga kamar. Kau bisa menginap di salah satu
kamarnya. Paling tidak untuk sekadar melepas lelah.
Besok kau bisa mencari orang yang kautuju itu. Itu kalau
kau mau."

Zul terdiam sesaat. Ia memang tidak kenal siapasiapa
di Kuala Lumpur ini. Nama yang ada dalam
sobekan kertasnya pun sebenarnya tidak kenal. Nama
itu adalah nama kenalan Pak Hasan. Katanya ia adik
kelas Pak Hasan sewaktu kuliah di Jogja yang sekarang
bekerja di Kuala Lumpur. Dan jujur ia memang perlu
istirahat. Perjalanan dari Batam sampai Kuala Lumpur
cukup membuatnya lelah. Apalagi dua hari sebelum
berangkat ia kerja lembur di sebuah bengkel.

"Bagaimana Dik? Kalau kau mau ayo kita berangkat.

Mumpung belum terlalu malam. Atau kau mau tidur di
bangku itu, ya tidak apa-apa. Tapi jangan kaget kalau
nanti ada operasi polisi dan kau dianggap gelandangan.
O ya bisa juga kau menginap di hotel Purduraya ini.

Tinggal kau jalan ke atas. Tapi ongkosnya ya lumayan."
Mari menjelaskan beberapa pilihan untuk Zul.

Zul masih belum mantap menentukan salah satu
pilihan. Hati kecilnya ingin menginap di hotel. Tapi uang
yang ia miliki benar-benar pas-pasan. Ia sebisa mungkin
harus menghemat.

"Sudahlah Dik ayo ikut saya saja. Besok kau bisa
pergi ke mana kau suka. Ayo!" Kata Mari dengan tegas
seraya bergegas ke luar terminal. Ketegasan kata-kata
Mari membuat Zul seolah menemukan pilihan terbaik.
Ia pun mengikuti langkah Mari. Mereka keluar
menyeberangi jalan raya. Mari berjalan dengan cepat
meskipun ia harus menyeret tas kopornya. Zul berusaha
mengimbangi di sampingnya.

"Kita mampir di supermarket sebentar. Lalu kita ke
Terminal Pasar Seni cari bus Rapid KL yang ke Subang."

"Iya Mbak. O iya Mbak ini hand phone-nya nanti
lupa."

"Ayo cepat.dikit."

Mereka berjalan menyusuri trotoar. Mari masuk
sebuah supermarket dan belanja makanan, sikat gigi,
odol, dan sabun mandi cair. Zul menunggu di depan
supermarket. Tak lama kemudian mereka kembali
berjalan. Sepuluh menit kemudian mereka sudah sampai
di Pasar Seni. Mari langsung naik Rapid KL jurusan
Subang. Zul ikut di belakangnya. Setelah membayar
karcis mereka duduk. Bus berjalan perlahan.

"Jangan kaget, nanti kau akan tinggal di tengahtengah
tenaga kerja wanita. Artinya penghuni rumah itu
semuanya wanita. Saya salah satu di antaranya. Rumah
saya dihuni enam orang. Ada tiga kamar. Satu kamar
berdua. Kebetulan ada dua orang yang sedang pulang
ke Indonesia. Jadi saat ini dihuni empat orang. Kau nanti
bisa tidur di kamar saya saja. Kebetulan di kamar saya
ada kamar mandinya. Jadi kau tidak akan mengganggu
teman-teman saya yang lain."

Mari menjelaskan kondisi rumahnya. Zul mendengarkan
dengan seksama. la merasa sudah terlalu
banyak berhutang budi pada perempuan muda yang
baru dikenalnya itu.

"Mbak baik sekali. Entah bagaimana saya harus
membalas budi Mbak. Saya malu pada Mbak."

"Jangan berpikir begitu. Kita ini sebagai manusia
sudah semestinya saling tolong menolong. Iya tho.
Manusia tidak bisa hidup sendirian. Iya tho Dik. Apalagi
kita sama-sama orang Jawa, dan sama-sama orang Indonesia
dan sama-sama orang Islam. Sudah jadi kewajibanku
membantu adik. Ya anggap saja aku ini kakakmu."

"Iya Mbak. Terima kasih Mbak."

Rapid KL membelah kota Kuala Lumpur. Karena
kelelahan Zul tertidur. Cukup pulas. Mari mengamati
dengan seksama, anak muda yang duduk di sampingnya
itu. Wajah polos khas Jawa. Wajah yang tampak begitu
muda. Ada guratan derita di sana. Namun ada juga gurat
keberanian dan kenekatan. Mari memperkirakan umur
pemuda ini lima tahun lebih muda darinya. la telah
masuk dua puluh tujuh. la perkirakan Zul tak lebih dari
dua puluh dua.

Setelah satu jam berjalan akhirnya mereka sampai
di Subang. Mari membangunkan Zul. Zul bangun
dengan tergagap,

"Sudah sampai tho Mbak?"

"Sudah Dik."

Mari turun diikuti Zul.

"Kita perlu jalan kira-kira dua ratus meter baru tiba
di rumah. Tak apa ya?"

"Tidak apa Mbak."

Mereka berjalan memasuki kawasan Taman Subang
Permai. Selama dalam perjalanan Mari bercerita tentang
teman-temannya.

"Rumah saya rumah teras. Rumah teras artinya ya
rumah biasa seperti rumah-rumah di Indonesia yang ada
terasnya. Bukan rumah apartemen. Saya menyewa
bersama teman-teman dari orang China. Rumah itu ada
tiga kamar. Kamar paling depan ditempati oleh Linda
dan Sumiyati. Linda asli Sukabumi, ia lahir di Amsterdam.

Linda ini belum bersuami dan cantik. Kau hati-hati jangan
sampai ada apa-apa dengan dia ya. Jangan
membuat masalah di negeri orang. Awas ya, kau harus
jaga iman kalau berhadapan dengannya! Terus teman
sekamarnya adalah Sumiyati, asli Blitar. Sumiyati juga
sudah bersuami. Kamar tengah saya yang menempati.

Saya sekamar dengan Iin. Kami memanggilnya Iin.

Nama aslinya Mutmainah. la asli Pati. Iin sudah bersuami
dan punya dua anak di Pati. Kamar yang paling belakang
saat ini kosong. Yang tinggal di situ adalah Reni dan
Watik. Keduanya sedang pulang kampung. Mereka
berasal dari satu kampung di Kendal Jawa Tengah.

Sebetulnya kau bisa tidur di kamar Reni dan Watik yang
kosong. Tapi di kamar itu tidak ada kamar mandinya.
Lebih baik nanti kau tidur di kamar saya saja. Biar saya
dan Iin yang tidur di kamar Reni."

"Iya Mbak."

"O ya jangan kaget ya. Jika nanti mereka itu banyak
bicara. Mereka itu perempuan-perempuan yang paling
suka ngobrol dan banyak cerita. Jika kau tidak ingin
ngobrol kau nanti langsung saja tidur."

"Iya Mbak."

Lima belas menit berjalan akhirnya mereka sampai
di sebuah rumah, yang tak jauh berbeda dengan
perumahan di Indonesia. Hanya pintunya dirangkapi
dengan pintu besi. Mari langsung membuka pintu. Dan
begitu ia masuk ia langsung disambut histeris temantemannya.

"Oi, Mbak Mar pulang!" teriak seorang perempuan
muda yang hanya mengenakan celana pendek dan kaos
oblong.

"Hei kau bawa teman ya Mar?" tanya perempuan
berdaster panjang.

"Iya. Ini, anggap saja adik saya. Namanya Zul. Dia
mungkin numpang cuma semalam saja/' jelas Mari.

"Adik apa adik?" ledek perempuan bercelana pendek.
Mari hanya tersenyum kecut.

"Kenalkan saya Zul, dari Demak."

"Saya Sumiyati, dari Blitar." Sahut perempuan bercelana
pendek.

"Aku Iin. Soko Pati Mas."1 Perempuan berdaster
memperkenalkan diri denganbahasa Jawa. "Yo anggep
wae, iki ning ngomahe dewe. Anggep wae ning ngomahe
keluargane dewe."

"Inggih matur nuwun Mbak." Jawab Zul.

"Si Linda mana?" tanya Mari.

"Seperti biasa Mbak ke KL. Seperempat jam yang lalu ia
dijemput sama si Chong Tong," jelas Sumiyati.

"Tak ada kapoknya anak itu!" sahut Mari dengan
nada tidak suka.

"Yo mugo-mugo4 Gusti Allah membukakan jalan
baginya untuk taubat," lirih Iin.

"Amin!"tukas Mari.

"E... Mas Zul kok berdiri di situ saja. Silakan duduk
Mas. Monggo Mas." Sumiyati mempersilakan Zul untuk
duduk di kursi.

"Ya Mbak terima kasih." Jawab Zul seraya duduk.

Sumiyati lalu bergegas ke dapur membuat minuman.

Sementara Mari dan Iin masuk ke kamar mereka. Mari
meminta Iin membantu merapikan kamar dan tempat
tidur. Dan menjelaskan sebaiknya Zul tidur di kamar
yang ada kamar mandi di dalamnya. Iin sepakat. Dengan
cepat mereka merapikan dan menyimpan pakaian dan
perkakas milik kaum perempuan yang tidak sepatutnya
dilihat kaum lelaki. Setelah mereka lihat rapi dan mereka
teliti tidak ada yang tidak patut, mereka kembali ke
ruang tamu dan mempersilakan Zul membawa tasnya
ke kamar.

Zul menurut. Ia membawa tasnya ke kamar. Ia masuk
dan menutup pintu. Zul mencium bau wangi di kamar
itu. Kamar yang bersih dan rapi. Jauh sekali bedanya
dengan kamarnya dan teman-temannya saat bekerja di
Batam. Zul mencopot jaketnya. Beberapa menit
kemudian kamarnya diketuk.

Ternyata Mari. Membawa nampan berisi teh hangat
dan satu piring roti donat yang tadi dibeli di supermarket.

"Istirahat saja. Ini minumnya. Di kamar mandi ada
sikat gigi yang masih baru, juga sabun cair, bisa kamu
pakai jika mau mandi. Handuknya sudah saya siapkan
di kamar mandi." Jelas Mari sambil meletakkan nampan
itu di atas meja rias.

"Terima kasih Mbak."

"Jika perlu apa-apa bisa mengetuk kamar belakang.
Saya ada di sana."

"Iya Mbak."

"Baik. Selamat istirahat." Kata Mari dengan tersenyum.
Ia keluar dari kamar dan menutup pintu kamar
dengan pelan.

Zul merebahkan tubuhnya di kasur yang empuk itu.
Terasa nyaman. Tapi ia merasa kulitnya seperti lengket
dengan pakaiannya. Sangat tidak nyaman. Ia lalu
beranjak ke kamar mandi dan mandi. Air yang
mengguyur sekujur tubuhnya itu serasa meremajakan
seluruh syaramya. Barulah setelah mandi iabisa istirahat
dengan nyaman. Sesaat sebelum tidur kilatan senyum
Mari yang tulus terbayang di mata. Ia tersenyum. Tibatiba
ia teringat perkataan Mari tadi siang,

"Jujur saja Dik ya, hampir di semua mata lelaki ada
binar liar serigala ketika melihat perempuan. Untuk itulah
menurut saya kenapa kaum lelaki diminta oleh Tuhan
untuk menjaga pandangan."

Ia kembali tersenyum. Lalu terlelap tidur.

BERSAMBUNG

Dikutip dari: facebook.com/IloveOriginalKawanimut 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar