Oktober tahun lalu aku ditakdirkan untuk
mengawali semuanya. Segala tindakan yang tak pernah kulakukan sebelumnya,
terjadi begitu saja. Hampir semua hari kukumpulkan tanda dan arti dari setiap
rekaman mata ketika kita bertemu sepihak, melihat sepihak, tersenyum sembunyi
sepihak, dan segalanya yang sepihak itu adalah aku.
Hari-hari kulakukan seperti sedang
melukis sebuah gambar. Awalnya hanya titik, ini kuartikan sebagai potret saat
pertama kali melihatmu. Kemudian menjadi garis tipis, ketika sosokmu mulai
menjadi pasar malam dalam otakku; ramai. Selanjutnya mengarsir bagian yang
kosong, ketika bisa memandangimu dari kejauhan dan intensitas bertemu sepihak
mulai bertambah, ini membuat suasana baru yang manis. Lalu berkembang menjadi
gradasi-gradasi halus, ketika mulai mencari tahu siapa kau sebenarnya. Begitu
seterusnya sampai aku bisa menebalkannya dengan rapi, ini kubaca sebagai percakapan
kami yang mulai dekat, meski hanya dalam ribuan pesan terkirim. Mungkin aku tak
yakin, karena frekuensi pesan terkirimlah yang mendukung kami. Mengingat
pertemuan nyata hanya sesekali terjadi (Ini bukan sepihak lagi).
Tetapi, setiap gambarpun tak selalu
mulus sesuai harapan. Selalu ada rintangan dan kesalahan. Ketika aku begitu menginginkan
sebuah gambar yang bagus, kuhapus berulang kali hingga akhirnya bukan gambar
indah yang kudapatkan, tapi sebaliknya; semua tak rapi lagi dan kertas yang
kupunya hanya satu. Artinya, mungkin aku mengingkari janji yang tak ada,
melihat keluar batas perasaan dan tanpa sadar mengubahnya menjadi ego, hingga
akhirnya kesempatan tunggalku tak dapat kuraih dengan baik. Aku mengawalinya
sejak awal, dan tanpa akhir aku memulainya kembali, detik ini.
06/11/2013
@mayastikasalma